Bioarkeologi: Integrasi Dinamis Antara Antropologi Biologis dan Arkeologi
Etty Indriati(1*)
(1) 
(*) Corresponding Author
Abstract
Artikel ini bertujuan untuk menguraikan informasi biologis yang terkandung dalam rangka dan gigi manusia dari situs arkeologis. Uraian substansi biologis dalam rangka penting sebagai bagian integratif antropologi biologis dan arkeologi untuk merekonstruksi budaya masyarakat lampau.
Pada penggalian situs arkeologis, seringkali temuan artifak disertai temuan tulang dan gigi. Temuan tulang ini, oleh antropologi biologis (antropologi ragawi) acapkali dipublikasikan terpisah dari laporan arkeologi, yang publikasi ini seringkali tidak terbaca oleh arkeologi. Dengan demikian, penelitian antropologi biologis menjadi out of context dari arkeologinya. Sebaliknya, arkeolog mempublikasikan hasil penelitian artifaknya terpisah dari pemeriksaan tulang temuan meskipun keduanya digali dari situs yang sama. Alat-alat seperti gerabah, alat batu, perunggu, dan besi dari situs arkeologis tidak ada dengan sendirinya, tetapi dibuat oleh manusia. Oleh karenanya, analisis produk budaya dan produktornya harus terintegrasi bila kita berupaya mempelajari budaya mereka. Pendekatan terintegrasi ini sekarang lazim dikenal dengan istilah bioarkeologi. Bioarkeologi pertama kali diperkenalkan di kalangan akademik pada tahun 1977 oleh Jane E. Buikstra pada simposium yang didesain untuk meningkatkan komunikasi dan kerja sama antara antropologi biologis dan arkeologi di Amerika Serikat bagian Tenggara yang kaya akan situs arkeologis. Simposium ini melahirkan buku Biocultural Adaptation in Prehistoric America, diterbitkan oleh University of Georgia Press (Blakeley et.al., 1977). Dalam bioarkeologi, data rangka manusia penting untuk menjawab pertanyaan kunci mengenai perkembangan budaya, misalnya efek perkembangan populasi menuju ke organisasi sosial yang kompleks, dan terminasi kultural karena penyakit endemik, dan adanya endogami atau exogami yang diperiksa dengan ciri metrik dan nirmetrik pada rangka.
Pada penggalian situs arkeologis, seringkali temuan artifak disertai temuan tulang dan gigi. Temuan tulang ini, oleh antropologi biologis (antropologi ragawi) acapkali dipublikasikan terpisah dari laporan arkeologi, yang publikasi ini seringkali tidak terbaca oleh arkeologi. Dengan demikian, penelitian antropologi biologis menjadi out of context dari arkeologinya. Sebaliknya, arkeolog mempublikasikan hasil penelitian artifaknya terpisah dari pemeriksaan tulang temuan meskipun keduanya digali dari situs yang sama. Alat-alat seperti gerabah, alat batu, perunggu, dan besi dari situs arkeologis tidak ada dengan sendirinya, tetapi dibuat oleh manusia. Oleh karenanya, analisis produk budaya dan produktornya harus terintegrasi bila kita berupaya mempelajari budaya mereka. Pendekatan terintegrasi ini sekarang lazim dikenal dengan istilah bioarkeologi. Bioarkeologi pertama kali diperkenalkan di kalangan akademik pada tahun 1977 oleh Jane E. Buikstra pada simposium yang didesain untuk meningkatkan komunikasi dan kerja sama antara antropologi biologis dan arkeologi di Amerika Serikat bagian Tenggara yang kaya akan situs arkeologis. Simposium ini melahirkan buku Biocultural Adaptation in Prehistoric America, diterbitkan oleh University of Georgia Press (Blakeley et.al., 1977). Dalam bioarkeologi, data rangka manusia penting untuk menjawab pertanyaan kunci mengenai perkembangan budaya, misalnya efek perkembangan populasi menuju ke organisasi sosial yang kompleks, dan terminasi kultural karena penyakit endemik, dan adanya endogami atau exogami yang diperiksa dengan ciri metrik dan nirmetrik pada rangka.
Full Text:
PDFDOI: https://doi.org/10.22146/jh.735
Article Metrics
Abstract views : 5089 | views : 2645Refbacks
- There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2012 Etty Indriati
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.