Date Log
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Jangka Benah: Alternatif Solusi Persoalan Keterlanjuran Kebun Kelapa Sawit Monokultur di Kawasan Hutan
Corresponding Author(s) : Ari Susanti
Jurnal Ilmu Kehutanan,
Vol 15 No 1 (2021): Maret
Abstract
Pada bulan Februari 2021 Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 23 tahun 2021 tentang penyelenggaraan kehutanan dan PP Nomor 24 tahun 2021 tentang tata cara pengenaan sanksi administratif dan tata cara penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari denda administratif di bidang kehutanan. Kedua PP tersebut merupakan peraturan turunan untuk sektor kehutanan dari UU Nomor 11 tahun 2021 tentang cipta kerja. Pada kedua PP tersebut disebutkan bahwa upaya penyelesaian persoalan “keterlanjuran” kebun rakyat dan “tumpang tindih” izin usaha perkebunan sawit di kawasan hutan dilakukan dengan menerapkan jangka benah. Klausul ini muncul pada PP nomor 23/2021 pasal 82(2) dan pasal 213 serta PP nomor 24/2021 pasal 27(4a) dan pasal 28 (3a).
Jangka benah merupakan periode waktu yang dibutuhkan untuk mencapai struktur hutan dan fungsi ekosistem yang diinginkan sesuai tujuan pengelolaan (Davis et al. 2005). Apabila dikaitkan dengan kondisi “keterlanjuran” kebun sawit monokultur di dalam kawasan hutan yang berdampak pada terganggunya struktur hutan dan fungsi ekosistem yang ada, maka jangka benah dapat diartikan sebagai periode waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan kondisi yang terganggu tersebut. Pemulihan tersebut dapat dilakukan melalui dua tahap yakni pada tahap pertama menuju kondisi kebun campur atau agroforestri kelapa sawit dan tahap kedua kondisi yang menyerupai hutan alam.
Hasil analisis data spasial menunjukkan bahwa terdapat sekitar 3,4 juta ha kebun kelapa sawit monokultur di dalam kawasan hutan dimana sekitar 22% dikelola oleh masyarakat dan 78% dikelola oleh korporasi (Auriga 2019). Keterlanjuran tersebut terjadi pada hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK), hutan produksi (HP), hutan produksi terbatas (HPT), hutan lindung (HL) dan kawasan suaka alam atau KSA/PA dimana lebih dari 40% berada pada HP. Luasan sebesar 3,4 juta ha ini mencakup sekitar 21% dari luas total kebun kelapa sawit berdasarkan data Kepmentan Nomor 833 tahun 2019 tentang penetapan luas tutupan kelapa sawit Indonesia tahun 2019. Besarnya luasan dan beragamnya tipologi keterlanjuran kebun rakyat dan tumpang tindih izin usaha di kawasan hutan ini maka implementasi perlu dukungan yang komprehensif dari aspek kebijakan, kelembagaan dan sosio-teknis di tingkat tapak.
Pada aspek kebijakan, PP nomor 23/2021 dan PP nomor 24/2021 merupakan payung hukum bagi implementasi jangka benah untuk menyelesaikan persoalan keterlanjuran kebun rakyat dan tumpang tindih izin usaha di kawasan hutan. Saat ini KLHK sedang menyusun rancangan Permen LHK tentang pengelolaan perhutanan sosial dimana pada rancangan Permen LHK tersebut pada BAB VII berisi tentang jangka benah kebun rakyat. Namun demikian, belum ada peraturan untuk implementasi jangka benah pada pelaku usaha yang mengalami tumpang tindih perizinan usaha di kawasan hutan seperti diamanatkan oleh PP nomor 24/2021 pasal 27(4a). Hal ini patut disayangkan karena sebagian besar dari keterlanjuran kebun sawit di kawasan hutan dikelola oleh korporasi, sehingga perlu disusun peraturan untuk pelaksanaan implementasi jangka benah pada pelaku usaha yang mengalami tumpang tindih perizinan usaha di kawasan hutan.
Implementasi jangka benah yang efektif perlu dukungan kelembagaan yang solid di semua level. Pada rancangan Permen LHK tentang pengelolaan perhutanan sosial, pasal 213 telah mengatur tentang dukungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam implementasi jangka benah dalam skema Perhutanan Sosial dalam bentuk: (a) bimbingan teknis jangka benah; (b) peningkatan kapasitas sumberdaya manusia; (c) bantuan penyediaan bibit tanaman kehutanan dan (d) monitoring dan evaluasi. Berdasarkan hal tersebut maka akan diperlukan sumberdaya manusia dan anggaran yang cukup banyak untuk mendukung internalisasi jangka benah dalam perencanaan pengelolaan di tingkat tapak, bimbingan teknis dalam implementasi jangka benah di tingkat tapak serta monitoring dan evaluasi dari implementasi jangka benah tersebut. Kurikulum pelatihan bagi para pengelola kawasan di tingkat tapak dan pendamping lapangan perlu diperkaya dengan materi-materi terkait dengan perencanaan, implementasi dan monitoring serta evaluasi jangka benah.
Di samping itu, adopsi jangka benah oleh petani dan para pelaku usaha yang mengalami keterlanjuran menjadi faktor yang menentukan keberhasilan implementasi jangka benah. Proses pengambilan keputusan petani dan pelaku usaha untuk mengadopsi suatu teknologi baru dalam hal ini adalah jangka benah akan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi (a) persepsi dan (b) motivasi, sedangkan faktor eksternal meliputi (a) karakteristik rumah tangga, (b) karakteristik biofisik dan (c) dukungan eksternal (Powlen & Jones 2019). Hasil penelitian terhadap persepsi petani tentang agroforestri sawit sebagai salah satu strategi implementasi jangka benah untuk menyelesaikan keterlanjuran kebun rakyat di kawasan hutan menunjukkan bahwa diperlukan contoh-contoh empiris di lapangan bagaimana jangka benah pada berbagai tipologi dapat diadopsi oleh petani dan pelaku usaha dalam rangka penyelesaian keterlanjuran kebun rakyat dan tumpang tindih izin usaha di kawasan hutan (Susanti et al. 2019).
Saat ini sudah dibangun demonstration plot (demplot) implementasi jangka benah oleh Fakultas Kehutanan UGM bekerjasama dengan Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI) dan para mitra seluas 67 ha di provinsi Jambi dan 93,1 ha di provinsi Kalimantan Tengah. Namun demikian, demplot tersebut hanya mewakili sebagian kecil dari tipologi yang ada. Untuk itu, perlu perluasan demplot jangka benah yang mewakili berbagai tipologi keterlanjuran. Di samping itu, perlu akselerasi produksi dan disseminasi pengetahuan tentang jangka benah terutama terkait dengan aspek sosio-teknis bagi petani dan pelaku usaha yang mengalami keterlanjuran tersebut. Ketersediaan contoh dan informasi tentang jangka benah yang cukup diharapkan akan dapat meningkatkan adopsi jangka benah sebagai salah satu alternatif solusi persoalan keterlanjuran kebun kelapa sawit monokultur di kawasan hutan.
Download Citation
Endnote/Zotero/Mendeley (RIS)BibTeX
- Auriga. 2019. Tipologi penguasaan lahan perkebunan sawit di dalam kawasan hutan dan strategi penyelesaiannya. Policy Paper. Jakarta - Indonesia.
- Davis LS, Johnson KN, Bettinger P, Howard T. 2005. Forest Management, 4th edition. McGraw-Hill Science/Engineering/Math.
- Powlen KA, Jones KW. 2019. Identifying the determinants of and barriers to landowner participation in reforestation in Costa Rica. Land Use Policy 84:216–225. Elsevier Ltd, Human Dimensions of Natural Resources, Colorado State University, Fort Collins, CO 80523, United States.
- Susanti A, Marhaento H, Permadi DB, Imron MA, Maimunah S, Susanto D, Bakhtiar I, Lembasi M. 2019. Smallholder farmers’ perception on oil palm agroforestry. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 449:1–7.