Pelajaran dari Pendidikan Kedokteran di Perancis

https://doi.org/10.22146/jkki.36358

Shita Dewi(1*)

(1) Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
(*) Corresponding Author

Abstract


Pendidikan kedokteran di Perancis cukup berat. Walaupun tidak ada pembatasan jumlah calon ma- hasiswa yang bisa diterima di fakultas kedokteran, namun kenyataannya terjadi proses eliminasi alami. Rata-rata, setiap tahun ada 550.000 mahasiswa kedokteran di tahun pertama, namun dari antara mereka hanya sekitar 7.500 mahasiswa yang bisa melanjutkan ke tahun kedua. Jumlah mereka yang bisa melanjutkan ke tahun ketiga akan kembali berkurang, dan seterusnya. Pada tahun keenam, mereka akan menjalani ujian ranking nasional (Examen Classant National/ECN). ECN dilaksanakan serentak di tujuh pusat ujian yang tersebar di seluruh negeri, berlangsung selama empat hari berturut-turut, dan terdiri dari dua macam test, yaitu test dalam bentuk case setting, dan test critical clinical reading. Test dalam bentuk case setting akan menguji mahasiswa mulai dari diagnostic awal, hypotheses, clinical dan diagnostic testing, prognosis dan monitoring pasien selama treatment. Test dalam bentuk critical clini- cal reading mengharuskan mereka membuat abstrak dari artikel klinis yang ditugaskan, dan mereka diha- ruskan mengkritisi metodologi yang digunakan serta hasilnya. Examen Classant National (ECN) akan menghasilkan ranking nasional untuk mahasiswa yang dianggap layak untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya. Berdasarkan ranking mereka inilah mere- ka diperbolehkan atau tidak memilih spesialisasi yang mereka inginkan. Jadi, persaingan untuk masuk ke spesialisasi yang diinginkan sangat ditentukan oleh hasil ECN. Spesialisasi yang menjadi favorit adalah ophthalmology, nephrology, radiology dan cardiology. Rata-rata, hanya 1 dari 3 mahasiswa yang bisa meneruskan ke spesialisasi yang benar- benar mereka inginkan. Mengapa demikian?

Karena setiap tahun, Kementrian Kesehatan mengeluarkan daftar jumlah dan jenis spesialisasi yang dibutuhkan. Jenis spesialisasi yang tersedia adalah: General Medicine, Medical Specialties (16 specialties), Surgical Specialties (5 specialties), Anesthesiology, Pediatrics, Obstetrics and Gynecology, Medical Gynecology, Psychiatry, Medical Biology, Occupational Medicine, Public Health. Ke- mudian untuk masing-masing spesialisasi terdapat pula daftar di daerah mana spesialisasi tersebut dibu- tuhkan. Daerah yang dimaksud adalah daerah yang menjadi catchment area dari rumah sakit pendidikan. Jadi, kombinasi antara hasil ECN dan daftar yang dikeluarkan Kementrian Kesehatan menentukan distribusi dan jumlah residen yang tersedia untuk tiap spesialisasi di masing-masing daerah.

Di Negara Perancis terdapat 28 rumah sakit pendidikan (Centre Hospitalier Universitaire/CHU), dan tahun lalu (2013-2014) ada 7.820 residen baru yang ditempatkan diseluruh rumah sakit pendidikan ini. Penugasan mereka adalah selama tiga tahun, biasanya didaerah peripheral. Misalnya, apabila pe- nugasan mereka di CHU Rennes (Rennes adalah semacam ibukota Propinsi) berarti mereka akan ditempatkan di Vannes, Lorient, Vitré atau Saint- Malo (semacam kota Kabupaten atau lebih kecil lagi). Selama menjadi residen, mereka melayani pasien, membuat diagnosis, menulis resep, melakukan tin- dakan operasi dan sebagainya, di bawah pengawas- an dokter senior. Mereka adalah mesin penggerak di rumah sakit pendidikan.

Apabila suatu jenis spesialisasi dibutuhkan dibe- berapa daerah sekaligus, residen diperbolehkan me- milih akan ditempatkan dimana, sejauh kuotanya belum terpenuhi. Sebuah survey cepat1 dilakukan untuk melihat preferensi residen dalam memilih CHU yang diinginkan, kemudian dibandingkan dengan survey cepat lain2 yang meneliti seberapa ‘menarik’ sebuah kota/daerah, biasanya diukur dari tingkat per- tumbuhan ekonomi, kenyamanan hidup, dan seba- gainya. Ternyata hasilnya cukup menarik. Tidak se- mua daerah yang terlihat ‘preferable’ menjadi pilihan utama para residen. Bahkan kota-kota besar seperti Paris dan Marseille, bukan merupakan daerah tujuan utama. Paris, misalnya, hanya berada di urutan ke- 8, ‘dikalahkan’ oleh Grenoble (kota dengan 155.000 penduduk).

Jawaban para residen mengindikasikan bahwa pilihan mereka merupakan kombinasi dari faktor kua- litas hidup secara umum, level remunerasi, persepsi terhadap kualitas spesialisasi tertentu di CHU terse- but, dan sebagainya, namun tidak selalu berbanding lurus dengan ‘seberapa menarik’ suatu kota/daerah. Kualitas hidup yang mereka maksud ternyata men- cakup hal-hal yang sifatnya sangat subyektif (misal- nya: daerah tersebut diminati karena dekat dengan pantai, atau merupakan daerah wisata pegunungan, atau karena kota tersebut kaya akan sejarah dan budaya, dan sebagainya), namun juga memiliki visi (misalnya: karena di kota tersebut terdapat pusat penelitian kanker terbesar di Eropa), dan kadang- kadang menyangkut faktor ‘lingkungan kerja yang manusiawi’ (misalnya: karena kepala departemen spesialisasi di CHU tersebut terkenal memperlaku- kan intern dengan baik). Faktor yang terakhir ini di- picu oleh kenyataan yang residen sadari akan hadapi selama menjalani tiga tahun masa penugasannya di CHU tersebut. Rata-rata jam kerja di Perancis adalah 48 jam/minggu, namun residen menyadari bahwa dalam kenyataannya ‘jam kerja’ mereka rata- rata adalah 60 jam/minggu (tepatnya: sekitar 66 jam/ minggu untuk spesialisasi obsgyn dan 69 jam/ming- gu untuk spesialisasi bedah), dan dapat berlangsung 20 hari berturut-turut tanpa akhir pekan. Level remu- nerasi juga penting, namun bukan yang utama, kare- na di Perancis level remunerasi untuk dokter dan spesialisasinya sudah memiliki range yang jelas dan standar. Lebih menariknya pula, secara umum, me- reka ini juga tetap tinggal di daerah/kota tersebut setelah mereka menyelesaikan pendidikannya. Menurut mereka factor potensi berkembangnya suatu daerah dan suatu CHU lebih penting dari fac- tor lainnya.

Dari uraian singkat ini, pembaca dapat menarik beberapa point pelajaran yang bisa diambil dari sistem pendidikan kedokteran di Perancis. Salah satu yang paling mencolok adalah bagaimana sektor pendidikan dan sektor kesehatan bekerjasama dalam memenuhi kebutuhan akan tenaga kesehatan. Jadi, kelengkapan dan ketersediaan tenaga kesehatan bukan tergantung semata-mata pada seberapa besar kemampuan rumah sakit ‘menarik minat’ tenaga ke- sehatan untuk bekerja di sana. Sisi penyedia (sektor pendidikan) tidak sekedar bertanggung jawab me- nyediakan sejumlah tenaga kesehatan, namun lebih jauh lagi sistemnya memastikan bahwa tersedia jumlah yang cukup untuk setiap jenis spesialisasi yang dibutuhkan oleh sisi pengguna (sektor kese- hatan). Namun, sistem ini juga hanya bisa berjalan apabila sisi pengguna (dalam hal ini, Kementrian Kesehatan) dapat secara rutin tahunan mengetahui peta kebutuhan spesialis disetiap daerah. Disisi lain, sektor ekonomi daerah juga berkembang sesuai po- tensinya untuk dapat menarik masyarakat berinves- tasi dan tinggal di daerah tersebut. Seberapa jauh pelajaran tersebut dapat diterapkan pula di Indone- sia? Tepatnya, perubahan dan kebijakan apa yang harus kita buat apabila kita menginginkan system serupa di Negara kita agar bisa mengatasi maldistri- busi tenaga kesehatan?


Full Text:

PDF


References

Survey dilakukan terhadap 5.000 residen pada tahun 2013.

Survey dilakukan oleh majalah L ’Express pada tahun 2013.



DOI: https://doi.org/10.22146/jkki.36358

Article Metrics

Abstract views : 945 | views : 646

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Copyright (c) 2018 Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia : JKKI

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.

Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia : JKKI [ISSN 2089 2624 (print); ISSN 2620 4703 (online)] is published by Center for Health Policy and Management (CHPM). This website is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. Built on the Public Knowledge Project's OJS 2.4.8.1.
 Web
Analytics View My Stats