KEBIJAKAN UNTUK DAERAH DENGAN JUMLAH TENAGA KESEHATAN RENDAH
Shita Listya Dewi(1*)
(1) 
(*) Corresponding Author
Abstract
Ketidakmerataan distribusi tenaga kesehatan
(khususnya, namun tidak terbatas pada dokter dan
dokter spesialis) di Indonesia merupakan salah satu
hambatan dalam upaya peningkatan akses terhadap
layanan kesehatan. Tenaga kesehatan menumpuk
di daerah urban sementara Daerah Terpencil, Perbatasan
dan Kepulauan (DTPK) mengalami resesi tenaga.
Pemerintah Indonesia telah mencoba mengatasi
hal ini dengan berbagai kebijakan. Situasi ini sebenarnya
tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Negara
maju seperti Prancis pun, fenomena ini terjadi.
Menteri Kesehatan Perancis menyebut beberapa
daerah di region-region pedalaman Perancis
mengalami “les déserts médicaux” (gurun pasir tenaga
kesehatan). Secara keseluruhan jumlah dokter
di Perancis memang bertambah 30% dalam 20 tahun
terakhir, ratio saat ini adalah 337 dokter per 100,000
penduduk. Perancis memiliki sistem gatekeeping
yang ketat dan sistem kesehatan difokuskan pada
akses terhadap dokter umum. Rata-rata jarak yang
ditempuh untuk menemukan dokter umum adalah 5
km (8 menit dengan kendaraan). Hanya di region
pedalaman tertentu saja (biasanya di daerah pegunungan)
dibutuhkan waktu tempuh 15 menit berkendara
untuk menemukan dokter umum, misalnya di
region Alps atau Pyrenees.
Namun tidak berarti Perancis bebas dari isu
distribusi tenaga medis. Densitas tertinggi ada di
region urban Île-de-France (367 dokter per 100,000
penduduk), sementara terendah ada di pedalaman,
misalnya di region Eure (118 dokter per 100,000 penduduk).
Perbandingannya rata-rata adalah 1:2 untuk
dokter umum (1 dokter di daerah pedalaman, 2
dokter di daerah urban), dan 1:8 untuk dokter
spesialis (1 dokter spesialis di daerah pedalaman,
8 dokter spesialis di daerah urban). Akibatnya adalah
tingginya antrian untuk konsultasi di daerah yang
termasuk dalam les déserts médicaux, dibutuhkan
waktu tunggu 18 hari untuk konsultasi dengan dokter
anak, 40 hari untuk konsultasi dengan dokter obsgyn,
dan 133 hari untuk dokter mata.
Hal ini diperparah dengan dua fakta, bahwa: 1)
25% dari jumlah dokter saat ini akan pensiun dalam
5 tahun ke depan, dan 2) hasil riset di kalangan mahasiswa
kedokteran menunjukkan 63% mahasiswa
kedokteran tidak berniat untuk bekerja di daerah
pedalaman. Pada bulan Desember 2012 lalu, Menteri
Kesehatan Perancis mengumumkan bahwa pemerintah
sedang membuat beberapa kebijakan baru untuk
mengatasi hal ini. Pengumuman ini disampaikan dihadapan
asosiasi walikota Perancis (AMF). Beberapa
kebijakan lama yang bersifat binding dikoreksi
dan akan diganti oleh kebijakan baru yang bersifat
memberi insentif. Misalnya: 1) Tersedia alokasi untuk
200 dokter pemula yang akan ditempatkan di
daerah pedalaman dengan gaji bersih €55,000/tahun
untuk kontrak dua tahun (bandingkan dengan gaji
bersih dokter pemula di rumah sakit yang adalah
€40,645/tahun), 2) Pengunaan véhicules santé pluriprofessionnels
yaitu tim multiprofesi (dokter umum,
ophthalmologists, cardiologists, perawat, physiotherapists)
yang akan melayani daerah-daerah dengan
akses terbatas, 3) Menciptakan profesi baru: Agent
Management And Interface (AGI) sebagai tenaga
administrative/kesekretariatan yang mengambil alih
beban administrasi dari dokter di pedalaman. Tenaga
AGI ini akan dibiayai sebagian oleh sécurité sociale
dan sebagian oleh dokter, dan 4) Pembentukan komite
nasional telemedicine untuk mendukung pelayanan
di daerah pedalaman.
Pengumuman ini mendapat sambutan baik dari
AMF. Sambutan baik juga datang dari berbagai asosiasi
profesi dan asosiasi mahasiswa kedokteran,
yang disampaikan melalui media social termasuk
akun twitter milik Menteri Kesehatan. Beberapa
minggu setelah itu, Menteri Kesehatan mengundang
berbagai asosiasi profesi dan asosiasi mahasiswa
kedokteran untuk melakukan dialog dan brainstorming
mengenai rumusan kebijakan tersebut. Dialog
tersebut, telah terkumpul beberapa usulan, antara
lain: 1) Usulan untuk disediakannya insentif bagi dokter
senior yang tertarik untuk pensiun di daerah pedalaman.
Beberapa dokter senior telah mengemukakan
keinginan mereka untuk memiliki kualitas hidup lebih
baik di pedalaman, karena mereka ingin mengurangi
beban kerja dan sudah tidak ingin lagi melayani 60-
70 pasien per hari, 2) Usulan untuk mendelegasikan
wewenang tindakan ke profesi tenaga kesehatan lain;
hal ini mengantisipasi kesulitan menempatkan 1
dokter di setiap desa, dan 3) Usulan perbaikan kondisi perumahan untuk dokter di daerah pedalaman,
dan fasilitas di rumah sakit daerah yang perlu
ditingkatkan (diusulkan untuk setara dengan rumah
sakit pendidikan).
AMF juga menekankan keinginan mereka untuk
dilibatkan dalam rencana implementasinya untuk
lebih me’lokal’kan beberapa pendekatan yang terdapat
dalam kebijakan nasional. AMF mengakui perlunya
peran mereka dalam meningkatkan perekonomian
lokal untuk lebih meluaskan lapangan kerja sehingga
suami/istri dokter bisa memperoleh pekerjaan
di daerah. Di sisi lain, AMF juga mengusulkan untuk
lebih membatasi kebebasan dokter di daerah perkotaan
untuk memilih skema dua (tariff di luar ambang
reimbursement oleh sécurité sociale) untuk mengurangi
kesenjangan pendapatan dokter di perkotaan
dan dokter di pedalaman.
Sebagai catatan, tarif yang dikenakan dokter
dan rumah sakit di Perancis untuk pelayanan apa
pun terdiri dari tiga pilihan: 1) skema 1, yaitu tarif
yang ditetapkan oleh sécurité sociale, artinya, pasien
akan menerima full reimbursement dari biaya yang
dikeluarkannya, 2) skema 2, yaitu tarif di atas ambang
yang ditetapkan oleh sécurité sociale, artinya,
pasien harus ditanggung sebagian oleh sécurité
sociale dan sebagian lagi oleh asuransi pribadi, dan
3) skema 3, yaitu tarif private, artinya, pasien tidak
menerima reimbursement apa pun dari sécurité
sociale. Kebebasan dokter untuk memilih skema 2
dibatasi oleh beberapa persyaratan yang telah ditetapkan
pada tahun 1998, tidak semua dokter diperbolehkan
mengenakan skema 2. Sebagai gambaran,
92.3% dari dokter umum berada di skema 1, 6,8%
berada di skema 2, dan hanya kurang dari 1% yang
berada di skema 3 (di luar sistem sécurité sociale).
Pada sisi lain, pemerintah juga akan mengambil
beberapa kebijakan pada tingkat Nasional untuk
memperbaiki sistem sécurité sociale di tahun 2013
ini. Sebagai contoh, harga obat dan pemeriksaan
lab akan turun sekitar 7%. Sécurité sociale juga mendorong
dokter dan rumah sakit untuk lebih banyak
menggunakan obat generik, dan one-day surgery.
Peningkatan anggaran untuk Sécurité Sociale akan
diambil dari kenaikan pajak tembakau dan pajak
miras. Pada awal bulan Februari 2013, muncul rekomendasi
pokja yang dibentuk di Senat untuk membahas
kebijakan mengatasi les déserts médicaux.
Rekomendasi tersebut bertolakbelakang dengan
usulan yang disampaikan oleh Menteri Kesehatan
pada bulan Desember 2012 lalu. Rekomendasi pokja
lebih mengambil pendekatan ‘coercive’, yaitu: 1)
Membatasi praktek pribadi dokter yang telah melebihi
jumlah tertentu di suatu daerah. Hal ini telah
diterapkan untuk profesi medis lain (perawat, farmasi,
fisioterapis, bidan, dll) dan telah terbukti meningkatkan
penempatan perawat di daerah sebanyak 30%
dalam 3 tahun terakhir, 2) Menetapkan wajib kerja
di daerah selama minimal 2 tahun untuk dokter spesialis
yang baru lulus, dan 3) Mulai mensosialisasi
kepada mahasiswa kedokteran bahwa mereka akan
menjalani wajib kerja di daerah apabila masalah les
déserts médicaux tidak teratasi.
Pada Minggu lalu, Perdana Menteri Perancis
telah menegaskan kembali komitmennya untuk
mengambil kebijakan mengatasi masalah les déserts
médicaux ini. Dari sudut pandang analisis kebijakan,
dinamika dan dialog kebijakan yang terjadi di Perancis
dalam hal ini cukup menarik untuk diikuti. Kita
melihat berbagai aktor yang terlibat dalam mencoba
mengatasi masalah les déserts médicaux di daerah
pedalaman. Menarik pula untuk melihat spectrum
kebijakan yang diambil dan saran yang diberikan
oleh para aktor kebijakan ini.
Pada edisi Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia
(JKKI) kali ini, beberapa artikel membahas
kebijakan untuk penempatan tenaga kesehatan di
daerah terpencil. Topik ini pula menjadi salah satu
topik yang diangkat dalam Annual Scientific Meeting
(ASM) di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada. Jelaslah bahwa kita semua menyadari pentingnya
mengambil langkah strategis untuk mengatasi
masalah ini.
*) Semua data diolah dari situs Kementrian Sosial
dan Kesehatan Perancis, dan dari Direction de la
recherche, des études, de l’évaluation et des
statistiques (DREES).
(khususnya, namun tidak terbatas pada dokter dan
dokter spesialis) di Indonesia merupakan salah satu
hambatan dalam upaya peningkatan akses terhadap
layanan kesehatan. Tenaga kesehatan menumpuk
di daerah urban sementara Daerah Terpencil, Perbatasan
dan Kepulauan (DTPK) mengalami resesi tenaga.
Pemerintah Indonesia telah mencoba mengatasi
hal ini dengan berbagai kebijakan. Situasi ini sebenarnya
tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Negara
maju seperti Prancis pun, fenomena ini terjadi.
Menteri Kesehatan Perancis menyebut beberapa
daerah di region-region pedalaman Perancis
mengalami “les déserts médicaux” (gurun pasir tenaga
kesehatan). Secara keseluruhan jumlah dokter
di Perancis memang bertambah 30% dalam 20 tahun
terakhir, ratio saat ini adalah 337 dokter per 100,000
penduduk. Perancis memiliki sistem gatekeeping
yang ketat dan sistem kesehatan difokuskan pada
akses terhadap dokter umum. Rata-rata jarak yang
ditempuh untuk menemukan dokter umum adalah 5
km (8 menit dengan kendaraan). Hanya di region
pedalaman tertentu saja (biasanya di daerah pegunungan)
dibutuhkan waktu tempuh 15 menit berkendara
untuk menemukan dokter umum, misalnya di
region Alps atau Pyrenees.
Namun tidak berarti Perancis bebas dari isu
distribusi tenaga medis. Densitas tertinggi ada di
region urban Île-de-France (367 dokter per 100,000
penduduk), sementara terendah ada di pedalaman,
misalnya di region Eure (118 dokter per 100,000 penduduk).
Perbandingannya rata-rata adalah 1:2 untuk
dokter umum (1 dokter di daerah pedalaman, 2
dokter di daerah urban), dan 1:8 untuk dokter
spesialis (1 dokter spesialis di daerah pedalaman,
8 dokter spesialis di daerah urban). Akibatnya adalah
tingginya antrian untuk konsultasi di daerah yang
termasuk dalam les déserts médicaux, dibutuhkan
waktu tunggu 18 hari untuk konsultasi dengan dokter
anak, 40 hari untuk konsultasi dengan dokter obsgyn,
dan 133 hari untuk dokter mata.
Hal ini diperparah dengan dua fakta, bahwa: 1)
25% dari jumlah dokter saat ini akan pensiun dalam
5 tahun ke depan, dan 2) hasil riset di kalangan mahasiswa
kedokteran menunjukkan 63% mahasiswa
kedokteran tidak berniat untuk bekerja di daerah
pedalaman. Pada bulan Desember 2012 lalu, Menteri
Kesehatan Perancis mengumumkan bahwa pemerintah
sedang membuat beberapa kebijakan baru untuk
mengatasi hal ini. Pengumuman ini disampaikan dihadapan
asosiasi walikota Perancis (AMF). Beberapa
kebijakan lama yang bersifat binding dikoreksi
dan akan diganti oleh kebijakan baru yang bersifat
memberi insentif. Misalnya: 1) Tersedia alokasi untuk
200 dokter pemula yang akan ditempatkan di
daerah pedalaman dengan gaji bersih €55,000/tahun
untuk kontrak dua tahun (bandingkan dengan gaji
bersih dokter pemula di rumah sakit yang adalah
€40,645/tahun), 2) Pengunaan véhicules santé pluriprofessionnels
yaitu tim multiprofesi (dokter umum,
ophthalmologists, cardiologists, perawat, physiotherapists)
yang akan melayani daerah-daerah dengan
akses terbatas, 3) Menciptakan profesi baru: Agent
Management And Interface (AGI) sebagai tenaga
administrative/kesekretariatan yang mengambil alih
beban administrasi dari dokter di pedalaman. Tenaga
AGI ini akan dibiayai sebagian oleh sécurité sociale
dan sebagian oleh dokter, dan 4) Pembentukan komite
nasional telemedicine untuk mendukung pelayanan
di daerah pedalaman.
Pengumuman ini mendapat sambutan baik dari
AMF. Sambutan baik juga datang dari berbagai asosiasi
profesi dan asosiasi mahasiswa kedokteran,
yang disampaikan melalui media social termasuk
akun twitter milik Menteri Kesehatan. Beberapa
minggu setelah itu, Menteri Kesehatan mengundang
berbagai asosiasi profesi dan asosiasi mahasiswa
kedokteran untuk melakukan dialog dan brainstorming
mengenai rumusan kebijakan tersebut. Dialog
tersebut, telah terkumpul beberapa usulan, antara
lain: 1) Usulan untuk disediakannya insentif bagi dokter
senior yang tertarik untuk pensiun di daerah pedalaman.
Beberapa dokter senior telah mengemukakan
keinginan mereka untuk memiliki kualitas hidup lebih
baik di pedalaman, karena mereka ingin mengurangi
beban kerja dan sudah tidak ingin lagi melayani 60-
70 pasien per hari, 2) Usulan untuk mendelegasikan
wewenang tindakan ke profesi tenaga kesehatan lain;
hal ini mengantisipasi kesulitan menempatkan 1
dokter di setiap desa, dan 3) Usulan perbaikan kondisi perumahan untuk dokter di daerah pedalaman,
dan fasilitas di rumah sakit daerah yang perlu
ditingkatkan (diusulkan untuk setara dengan rumah
sakit pendidikan).
AMF juga menekankan keinginan mereka untuk
dilibatkan dalam rencana implementasinya untuk
lebih me’lokal’kan beberapa pendekatan yang terdapat
dalam kebijakan nasional. AMF mengakui perlunya
peran mereka dalam meningkatkan perekonomian
lokal untuk lebih meluaskan lapangan kerja sehingga
suami/istri dokter bisa memperoleh pekerjaan
di daerah. Di sisi lain, AMF juga mengusulkan untuk
lebih membatasi kebebasan dokter di daerah perkotaan
untuk memilih skema dua (tariff di luar ambang
reimbursement oleh sécurité sociale) untuk mengurangi
kesenjangan pendapatan dokter di perkotaan
dan dokter di pedalaman.
Sebagai catatan, tarif yang dikenakan dokter
dan rumah sakit di Perancis untuk pelayanan apa
pun terdiri dari tiga pilihan: 1) skema 1, yaitu tarif
yang ditetapkan oleh sécurité sociale, artinya, pasien
akan menerima full reimbursement dari biaya yang
dikeluarkannya, 2) skema 2, yaitu tarif di atas ambang
yang ditetapkan oleh sécurité sociale, artinya,
pasien harus ditanggung sebagian oleh sécurité
sociale dan sebagian lagi oleh asuransi pribadi, dan
3) skema 3, yaitu tarif private, artinya, pasien tidak
menerima reimbursement apa pun dari sécurité
sociale. Kebebasan dokter untuk memilih skema 2
dibatasi oleh beberapa persyaratan yang telah ditetapkan
pada tahun 1998, tidak semua dokter diperbolehkan
mengenakan skema 2. Sebagai gambaran,
92.3% dari dokter umum berada di skema 1, 6,8%
berada di skema 2, dan hanya kurang dari 1% yang
berada di skema 3 (di luar sistem sécurité sociale).
Pada sisi lain, pemerintah juga akan mengambil
beberapa kebijakan pada tingkat Nasional untuk
memperbaiki sistem sécurité sociale di tahun 2013
ini. Sebagai contoh, harga obat dan pemeriksaan
lab akan turun sekitar 7%. Sécurité sociale juga mendorong
dokter dan rumah sakit untuk lebih banyak
menggunakan obat generik, dan one-day surgery.
Peningkatan anggaran untuk Sécurité Sociale akan
diambil dari kenaikan pajak tembakau dan pajak
miras. Pada awal bulan Februari 2013, muncul rekomendasi
pokja yang dibentuk di Senat untuk membahas
kebijakan mengatasi les déserts médicaux.
Rekomendasi tersebut bertolakbelakang dengan
usulan yang disampaikan oleh Menteri Kesehatan
pada bulan Desember 2012 lalu. Rekomendasi pokja
lebih mengambil pendekatan ‘coercive’, yaitu: 1)
Membatasi praktek pribadi dokter yang telah melebihi
jumlah tertentu di suatu daerah. Hal ini telah
diterapkan untuk profesi medis lain (perawat, farmasi,
fisioterapis, bidan, dll) dan telah terbukti meningkatkan
penempatan perawat di daerah sebanyak 30%
dalam 3 tahun terakhir, 2) Menetapkan wajib kerja
di daerah selama minimal 2 tahun untuk dokter spesialis
yang baru lulus, dan 3) Mulai mensosialisasi
kepada mahasiswa kedokteran bahwa mereka akan
menjalani wajib kerja di daerah apabila masalah les
déserts médicaux tidak teratasi.
Pada Minggu lalu, Perdana Menteri Perancis
telah menegaskan kembali komitmennya untuk
mengambil kebijakan mengatasi masalah les déserts
médicaux ini. Dari sudut pandang analisis kebijakan,
dinamika dan dialog kebijakan yang terjadi di Perancis
dalam hal ini cukup menarik untuk diikuti. Kita
melihat berbagai aktor yang terlibat dalam mencoba
mengatasi masalah les déserts médicaux di daerah
pedalaman. Menarik pula untuk melihat spectrum
kebijakan yang diambil dan saran yang diberikan
oleh para aktor kebijakan ini.
Pada edisi Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia
(JKKI) kali ini, beberapa artikel membahas
kebijakan untuk penempatan tenaga kesehatan di
daerah terpencil. Topik ini pula menjadi salah satu
topik yang diangkat dalam Annual Scientific Meeting
(ASM) di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada. Jelaslah bahwa kita semua menyadari pentingnya
mengambil langkah strategis untuk mengatasi
masalah ini.
*) Semua data diolah dari situs Kementrian Sosial
dan Kesehatan Perancis, dan dari Direction de la
recherche, des études, de l’évaluation et des
statistiques (DREES).
Full Text:
PDFDOI: https://doi.org/10.22146/jkki.v2i1.3221
Article Metrics
Abstract views : 11134 | views : 7145Refbacks
- There are currently no refbacks.
Copyright (c)
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia : JKKI [ISSN 2089 2624 (print); ISSN 2620 4703 (online)] is published by Center for Health Policy and Management (CHPM). This website is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. Built on the Public Knowledge Project's OJS 2.4.8.1.
View My Stats