Konselor sebaya untuk tingkatkan pemahaman reproductive health literacy santri di pondok pesantren Ash-Sholihah

https://doi.org/10.22146/bkm.45056

Zola Pradipta(1*)

(1) Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada
(*) Corresponding Author

Abstract


Masa remaja adalah masa dimana terjadi perubahan, perkembangan dan pertumbuhan pada anak-anak baik secara fisik, psikologi maupun secara intelektual. Berbagai masalah yang timbul bisa berupa masalah kesehatan fisik dan psikososial yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan, ekonomi, politik dan sosial. Data Riskesdas 2013 menjelaskan bahwa kehamilan pada umur <15 tahun, meskipun dengan proporsi yang sangat kecil (0,02%) terjadi di perdesaan (0,03%). Berdasarkan  data SDKI 2017, umur pertama kali berhubungan seksual pranikah ada pada kelompok umur 15 – 19 tahun dan kejadian tertinggi pada usia 17 tahun dengan presentasi 59% wanita dan 74% pria pernah melakukan hubungan seksual pranikah. Terkait data mengenai aborsi, 12,5% remaja yang menyetujui praktek aborsi tidak memiliki pemahaman mengenai kesehatan reproduksi, sementera 9% mereka yang memiliki pemahaman mengenai kesehatan reproduksi cenderung lebih kecil untuk menyetujui praktek aborsi. Untuk kasus HIV/AIDS sendiri, masih menjadi permasalahan dan kejadiannya cenderung meningkat. Persentase kumulatif tertinggi untuk kasus AIDS berada di kelompok umur 20-29 tahun yaitu 31,4% dan pada kelompok umur 15-19 tahun sebesar 2,7%. Badan Pusat Statistik & UNICEF tahun 2016 melaporkan sebanyak 85% anak perempuan di Indonesia mengakhiri pendidikan mereka setelah mereka menikah. Kecenderungan remaja untuk melakukan pernikahan dini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya ialah masalah pendidikan dan kurangnya pengetahuan remaja temasuk mengenai dampak dan bahaya dari pernikahan dini.

Penyebab perilaku seksual pranikah yang berdampak negatif dalam kehidupan remaja disebabkan karena kurangnya informasi tentang kesehatan reproduksi terhadap remaja. pengetahuan remaja tentang kesehatan seksual, IMS dan HIV/AIDS akan meningkatkan perilaku seksual berisiko pada remaja putri dengan tingkat pengetahuan yang rendah dibandingkan dengan remaja yang memiliki pengetahuan tinggi. Pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja mampu meningkatkan pengetahuan remaja mengenai perilaku seksual dan pentingnya kesehatan reproduksi. Hal ini bisa meningkatkan tanggung jawab remaja atas setiap keputusan yang akan mereka ambil mengenai perilaku seksual. Peran teman sebaya dirasa mampu untuk menambah pengetahuan siswa, karena dengan teman, mereka lebih leluasa saat berdiskusi dan lebih merasa nyaman menyampaikan pendapat mereka.

Santri di pondok cenderung lebih tertutup dan sungkan untuk menyampaikan pendapat mereka di depan forum. Dengan adanya program konselor sebaya yang dibentuk oleh puskesmas diharapkan santri bisa menyampaikan keluhan-keluhan yang mereka rasakan tanpa harus merasa takut dan malu karena mereka akan merasa lebih leluasa jika bercerita dengan teman sebaya mereka. Pengoptimalan pelaksanan konselor sebaya bisa menjadi salah satu solusi bagi pihak pesantren dalam meningkatkan pemahaman santri mengenai kesehatan reproduksi. Pelatihan dan pendampinga konselor sebaya bisa difokuskan pada materi mengenai kesehatan reproduksi disamping santri juga mendapatkan materi mengenai kesehatan secara umum. Konselor sebaya juga bisa menjadi perpanjangan tangan puskesmas dalam pelaksanaan kegiatan PKPR di puskesmas.

Keywords


kesehatan reproduksi; santri; konselor sebaya



References

  1. Badan Pusat Statistik and UNICEF (2016) ‘Kemajuan yang Tertunda : Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia’, Unicef Indonesia, (Analisis Data Perkawinan), pp. 1–100. doi: 978-978-064-963-6.
  2. Centers for Disease Control and Prevention (2018) Sexual Risk Behaviors: HIV, STD, & Teen Pregnancy Prevention. Available at: https://www.cdc.gov/healthyyouth/sexualbehaviors/ (Accessed: 21 October 2018).
  3. Miswanto (2014) ‘Pentingnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas pada Remaja’, 3(2), pp. 111–122.
  4. Needham, H. E. et al. (2010) ‘Relationship Between Health Literacy , Reading Comprehension , and Risk for Sexually Transmitted Infections in Young Women’, Journal of Adolescent Health. Elsevier Ltd, 46(5), pp. 506–508. doi: 10.1016/j.jadohealth.2009.11.195.
  5. Panova, O. V. et al. (2016) ‘Factors Associated with Unwanted Pregnancy among Adolescents in Russia’, Journal of Pediatric and Adolescent Gynecology, 29(5), pp. 501–505. doi: 10.1016/j.jpag.2016.04.004.
  6. Ramos, M. M. et al. (2017) ‘Measuring Unmet Needs for Anticipatory Guidance Among Adolescents at School-Based Health Centers’, Journal of Adolescent Health, 60(6), pp. 720–726. doi: 10.1016/j.jadohealth.2016.12.021.
  7. Riskesdas (2017) ‘Riset Kesehatan Dasar’, in. Sciortino, R. (1996) ‘Learning from Islam: Advocacy of reproductive rights in Indonesian Pesantren’, 8080. doi: 10.1016/S0968-8080(96)90305-5.
  8. Simbayi, L. C. (2015) Sexual Risk Behaviors. Second Edi, International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences. Second Edi. Elsevier. doi: 10.1016/B978-0-08-097086-8.14124-8.
  9. Tim SDKI 2017 (2018) Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017 : Kesehatan Reproduksi Remaja. Jakarta: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.



DOI: https://doi.org/10.22146/bkm.45056

Article Metrics

Abstract views : 803 | views : 689

Refbacks

  • There are currently no refbacks.




Copyright (c) 2019 Berita Kedokteran Masyarakat

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.

Berita Kedokteran Masyarakat ISSN 0215-1936 (PRINT), ISSN: 2614-8412 (ONLINE).

Indexed by:


Web
Analytics Visitor Counter