Cover Image

Tim Ingold: Manusia dan Hewan Semestinya saling Berbagi Kehidupan

https://doi.org/10.22146/balairung.v1i2.42058

Lukas Rainhard Sitohang(1*), Tim Ingold(2)

(1) Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada
(2) Department of Anthropology School of Social Science University of Aberdeen Aberdeen AB24 3QY Scotland, UK
(*) Corresponding Author

Abstract


Pada September 1986 di Southampton, 850 ahli dari berbagai disiplin ilmu menghadiri sebuah pertemuan bertajuk “World Archaeological Congress”. Kongres ini membahas empat tema besar, salah satunya adalah  "Cultural Attitudes to Animals, Including Birds, Fish and Invertebrates”. Tema tersebut diangkat untuk mengeksplorasi perkembangan aspek relasi manusia dengan hewan. Secara khusus, para ahli yang berdiskusi saat itu ingin melihat mengapa manusia tergabung dalam klasifikasi makhluk hidup yang disebut sebagai hewan. Hal ini tentunya bukan perkara yang mudah. Mengutip apa yang dikatakan P.J. Ucko, Direktur Institut Arkeologi di University College London, garis batas antara manusia dan hewan tidak akan pernah tegas dan jelas. Maka, manusia akan selalu melakukan usaha-usaha untuk mendefinisikan ulang dirinya berdasarkan eksistensi hewan. Hal ini ditunjukkan dari produk budaya masyarakat dalam kaitannya dengan relasi terhadap hewan.   

Meskipun begitu, sampai saat ini perilaku manusia terhadap hewan masih berbeda satu sama lain. Hal tersebut sesuai dengan konteks budaya masyarakat setempat. “The Cove” (2009) misalnya, film dokumenter yang disutradarai oleh Louie Psihoyos ini mengangkat isu pembantaian 23.000 lumba-lumba di Teluk Taiji, Jepang. Pembantaian lumba-lumba tersebut didasari atas kebutuhan ritual dan seleksi jual-beli lumba-lumba oleh nelayan. Namun bagi Psihoyos, dilihat dari perspektif etika lingkungan, hal ini sangat merugikan ekosistem. Malah berdasarkan artikel “Beyond The Cove: What Happened After the Oscar-winning Documentary?” (2018) di Guardian, masyarakat Amerika dan sebagian besar Eropa menganggap pembunuhan lumba-lumba dan ikan paus merupakan hal yang barbar dan tidak perlu dilakukan.

Perbedaan-perbedaan perlakuan terhadap hewan oleh manusia ini menarik untuk dibahas. Bahkan, antropologi pun saat ini menjadikan hewan sebagai isu penting yang harus dipelajari. Berangkat dari hal tersebut, pada tanggal 27 Juli 2018, BALAIRUNG berkesempatan mewawancarai Tim Ingold, Antropolog Inggris, dan Ketua Antropologi Sosial di Universitas Aberdeen. Ialah sang penginisiasi diskusi yang diadakan di Southampton 32 tahun silam. Dalam wawancara kali ini kami membahas mengenai bagaimana manusia dapat memahami hewan, permasalahan domestikasi, hingga perdebatan soal spesiesme.


Full Text:

PDF


References

-



DOI: https://doi.org/10.22146/balairung.v1i2.42058

Article Metrics

Abstract views : 3050 | views : 39699

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.


Diterbitkan oleh BPPM Balairung, Universitas Gadjah Mada
Kompleks Perumahan Dosen UGM, Bulaksumur B-21, Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Yogyakarta 55281.
email: balairungpress@gmail.com | LINE: @GSJ9240C | http://balairungpress.com
    
2018 BPPM BALAIRUNG UGM