Membaca Ulang Kultur Kepolisian Negara Republik Indonesia (Sebuah Refleksi Kritis Dari Dalam)
Barito Mulyo Ratmono(1*)
(1) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM
(*) Corresponding Author
Abstract
Pelekatan stigma terhadap kultur Polri oleh masyarakat masih terjadi, meskipun telah dilakukan reformasi struktural dan instrumental. Polri kerap memperdebatkan bahwa bukan kultur organisasinya yang tidak baik, melainkan ada sebagian aktor Polri yang memiliki perilaku bertentangan dengan nilai, norma, dan simbolisasi normatif kultur Polri (Tri Brata dan Catur Prasetya). Namun perilaku tersebut terus menerus diproduksi melintasi ruang dan waktu sehingga mereproduksi struktur yang merupakan metafora dari kultur Polri yang tidak baik.
Penelitian dilakukan sejak Februari 2011 sampai Oktober 2012 dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan metode etnografi kritis, yaitu mengeksplorasi fenomena sosial melalui penyajian bentuk-bentuk kontradiksi dari berbagai gagasan serta aktivitas yang mengkonstruksi kultur Polri saat ini. Informan yang dilibatkan sebanyak empatpuluh satu orang meliputi empat wilayah penelitian, yaitu: Mabes Polri, Akademi Kepolisian, Sekolah Polisi Negara Purwokerto, dan Polda Jawa Tengah. Data pendukung diperoleh dari foto, film, dokumen sejarah Polri, serta kliping koran yang memuat pemberitaan Polri (2009-2011). Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, pengamatan kegiatan pendidikan di Akpol dan SPN serta kegiatan kepolisian di jajaran Polda Jawa Tengah. Teori yang digunakan terdiri dari teori strukturasi (Giddens), teori hegemoni (Gramsci), dan teori kritis self reflextion (Habermas).
Ada tiga temuan dari hasil penelitian: (1) konstruksi struktur kultur organisasi tidak dilaksanakan dengan baik di pabrik aktor Polri dengan indikasi adanya kebijakan memutasikan aktor yang menyimpang ke pabrik aktor Polri, fenomena kontradiksi posisi aktor pendidik, konfigurasi pengetahuan profesionalisme tugas lebih banyak terdapat dalam narasi kurikulum dibandingkan gugus pengetahuan kultur normatif Polri, ada beberapa perkataan di lembaga pendidikan pembentukan yang memiliki makna tertentu dan dapat mempengaruhi kesadaran para calon aktor dalam memunculkan gagasan dan perilaku sebagai aktor Polri; (2) ada praktik hegemoni absolut dan hegemoni ala Gramsci dalam relasi antar aktor Polri yang bertarung dalam arena praktik-praktik kepolisian; dan (3) adanya struktur pertarungan kepentingan dan motivasi dalam konstruksi kultur Polri, yaitu pertarungan gagasan dan tindakan yang sesuai dan tidak sesuai dengan nilai, norma, dan simbolisasi normatif Polri.
Disimpulkan bahwa belum membaiknya kultur Polri hingga saat ini dikarenakan telah ada proses produksi yang cacat di pabrik aktor Polri, adanya penyalahgunaan jabatan dan kewenangan melalui proses hegemoni serta pertarungan kepentingan antar aktor Polri. Oleh karena itu, direkomendasikan perubahan kultur Polri harus dimulai dari lembaga pendidikan dan satuan kewilayahan secara bersamaan melalui proses hegemoni untuk menanamkan gagasan dan tindakan yang sesuai dengan nilai, norma, dan simbolisasi normatif kultur Polri.
Full Text:
PDFDOI: https://doi.org/10.22146/jps.v2i1.23409
Article Metrics
Abstract views : 3540 | views : 8028Refbacks
- There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2016 Jurnal Pemikiran Sosiologi
Jurnal Pemikiran Sosiologi Indexed by:
ISSN 2252-570X (Print), ISSN 2502-2059 (online).