IDEOLOGI APA YANG DIANUT OLEH KEBIJAKAN KESEHATAN DI INDONESIA?

https://doi.org/10.22146/jmpk.v13i04.2635

Laksono Trisnantoro(1*)

(1) 
(*) Corresponding Author

Abstract


Ada pertanyaan menarik: sebenarnya ideologi
apa yang dianut oleh pemerintah Indonesia dalam
penerapan kebijakan kesehatannya? Apakah
sosialisme, kapitalisme, etatisme, neoliberal, atau
Pancasila? Sebuah pertanyaan yang cukup sulit
dijawab karena ternyata dalam perjalanan sejarah
terjadi pergeseran bahkan pencampuran berbagai
ideologi. Hal ini nampak contohnya dalam kebijakan
pendirian rumah sakit swasta. Sejak jaman Belanda,
pihak swasta diberi peran yang cukup signifikan
untuk turut serta dalam membangun rumah sakit.
Dengan demikian, sejak awal berdirinya, sebenarnya
Indonesia sudah mempunyai ideologi yang berbasis
pasar. Hal ini juga tampak dari adanya kelas-kelas
(VIP, kelas 1, kelas 2, dan kelas 3) dalam rumah
sakit yang menunjukkan adanya pengakuan akan
struktur masyarakat yang didasarkan pada hierarki
sosial ekonomi.
Ideologi berbasis pasar ini semakin tampak
pada masa orde baru yang semakin lama semakin
mengurangi peran pemerintah. Contohnya
berkurangnya subsidi negara dan didorongnya
“kemandirian” dan peran serta masyarakat dalam
membiayai pengobatan sehingga RS boleh
memungut tarif dari masyarakat langsung. Dari tahun
ke tahun, tampak bahwa pembangunan RS swasta
yang berbentuk PT semakin meningkat. Antara tahun
2002 sampai dengan 2008, ada penambahan 25 RS
berbentuk PT yang tadinya berasal dari bentuk
Yayasan. Sebaliknya hanya 5 PT berubah bentuk
menjadi Yayasan. Tidak mengherankan bahwa RS
berbentuk PT ini melayani kelompok pasar
menengah atas.
Namun menarik untuk diamati bahwa dalam
beberapa tahun belakangan ini, terjadi penguatan
peran pemerintah yang mencerminkan ideologi yang
tidak menyerahkan ke pasar. Sebagai contoh adalah
program Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas) yang dananya berasal dari pemerintah
pusat dan berfungsi “membeli” premi asuransi
kesehatan bagi orang miskin. Kebijakan ini
menunjukkan bahwa pemerintah merasa perlu untuk
lebih berperan dalam pembiayaan kesehatan.
Adanya pemilihan presiden dan kepala daerah
langsung nampaknya juga berpengaruh terhadap
kebijakan yang cenderung mengandung ciri-ciri
“welfare-state” ini. Hal ini nampak pada janji janji
kampanye yang seringkali berupa “pengobatan
gratis”. Kemudian disusul dengan adanya program
Jaminan Persalinan (Jampersal) yang bahkan
membolehkan mereka yang tidak miskin untuk
digratiskan biaya persalinannya asal mau dirawat di
kelas 3 RS yang dikontrak. Pada saat yang sama
Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Kesehatan
menggulirkan 7 Reformasi Pembangunan Kesehatan
yaitu: 1) revitalisasi pelayanan kesehatan, 2)
ketersediaan, distribusi, retensi dan mutu
sumberdaya manusia, 3) mengupayakan
ketersediaan, distribusi, keamanan, mutu, efektivitas,
keterjangkauan obat, vaksin dan alkes, 4) Jaminan
kesehatan, 5) keberpihakan kepada daerah tertinggal
perbatasan dan kepulauan (DTPK) dan daerah
bermasalah kesehatan (DBK), 6) reformasi birokrasi,
dan 7) world class health care.
Bila dicermati dari ketujuh reformasi ini terdapat
ideologi berbasis pasar dan sosialis sekaligus. Butir
keberpihakan pada daerah tertinggal dan
pemerataan mencerminkan ideologi sosial liberal
namun “world class health care” cenderung berbasis
pada intervensi pemerintah terhadap pasar dengan
cara memberikan subsidi agar mampu bersaing
dalam pasar kesehatan Asia Tenggara yang semakin
bebas.
Penerapan beberapa ideologi dalam satu negara
ini berkembang menarik. Terdapat negara yang
menerapkan multi ideologi seperti Cina yang sistem
politiknya komunis dan sosialis ternyata sistem
ekonominya kapitalis. Amerika Serikat yang
kapitalis juga cenderung ke “kiri” atau “sosialis”
dengan UU reformasi kesehatan yang meningkatkan
peran pemerintah dalam kesehatan.
Ideologi sebagai pedoman penetapan
kebijakan dan pelaksanaanya
Kebijakan kesehatan memerlukan mekanisme
kontrol dan pola pengelolaan yang tepat. Dalam hal
ini ideologi dapat dipergunakan menjadi pedoman.
Sebagai gambaran dalam Jampersal diharapkan,
“jangan sampai orang kaya masuk VIP sebuah RS
lalu meminta Jampersal membiayai persalinannya
di kelas 3, dan dia membayar selisihnya”. Hal ini
penting ditekankan karena Indonesia yang sangat
luas ini mempunyai infrastruktur layanan kesehatan
yang amat beragam. Daerah NTT dan Papua
kekurangan dokter dan fasilitas kesehatan yang
memadai sehingga Jampersal atau pelayanan
kesehatan gratis tidak akan dirasakan manfaatnya
oleh masyarakat jika di daerahnya tidak ada fasilitas
kesehatan yang memadai dan tenaga kesehatan
yang cukup. Bila orang kaya menggunakan
Jampersal tanpa kontrol, maka akan ada kegagalan
Jampersal untuk meratakan pelayanan ke daerah
sulit. Dana Jampersal akan tersedot oleh masyarakat
kaya atau yang tinggal di dekat sarana dan SDM
kesehatan.
Untuk itu, sebenarnya Jamkesmas dan
Jampersal saja tidak cukup kalau tidak diiringi
pembangunan infrastruktur kesehatan. Pemerintah
harus juga memikirkan alokasi biaya investasi dan
pemerataan SDM kesehatan, bukan hanya biaya
operasional saja. Dengan pedoman ideologi,
kebijakan pemerintah dalam konteks Jampersal ini
dapat lebih terarah untuk membantu masyarakat
yang memang perlu dibantu. (Laksono Trisnantoro
dan Sigit Riyarto).




DOI: https://doi.org/10.22146/jmpk.v13i04.2635

Article Metrics

Abstract views : 11358 | views : 3580

Refbacks

  • There are currently no refbacks.