HISTMA https://jurnal.ugm.ac.id/v3/histma en-US <p><span style="font-weight: 400;">By publishing articles in the </span><em><span style="font-weight: 400;">Histma</span></em><span style="font-weight: 400;">, author(s) agree to transmit the publication right to </span><em><span style="font-weight: 400;">Histma</span></em><span style="font-weight: 400;"> under the </span><a href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/"><span style="font-weight: 400;">Creative Commons</span></a><span style="font-weight: 400;">. Thus, you are allowed to access, copy, transform and redistribute the articles under any lawful purposes by giving proper credit to the original author(s) and </span><em><span style="font-weight: 400;">Histma</span></em><span style="font-weight: 400;"> as well.</span></p> <p><em><span style="font-weight: 400;">Histma</span></em><span style="font-weight: 400;"> uphold the rights to store, convert or reformat media, manage within its database, maintain and publish article without the consent of the author with full acknowledgement of author rights as copyright owner.</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">The article is published in print and electronic form. The electronic form is open access for the purpose of education and research.</span></p> adwidya.s.yoga@mail.ugm.ac.id (Yoga Adwidyavvvv) Wed, 03 Sep 2025 22:03:54 +0700 OJS 3.1.2.0 http://blogs.law.harvard.edu/tech/rss 60 Pengantar Redaksi https://jurnal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/24179 Lenna Aurelia Amalia Copyright (c) 2025 HISTMA https://jurnal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/24179 Fri, 29 Aug 2025 10:19:01 +0700 Perkembangan Fasilitas Pariwisata di Telaga Sarangan, 1910-an hingga 1940-an https://jurnal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/24182 <p><strong>Abstrak</strong><br>Artikel ini membahas perkembangan fasilitas di Telaga Sarangan pada abad ke-20. Metode penelitian yang digunakan dalam artikel ini adalah metode penelitian sejarah dengan menelusuri sumber primer dan sekunder, seperti buku, surat kabar serta foto. Telaga Sarangan pada abad ke-20 menjadi salah satu tempat yang banyak dikunjungi wisatawan. Letaknya di lereng Gunung Lawu memberikan cuaca yang sejuk dan suasana yang tenang. Pada awal abad ke-20, fasilitas pariwisata di Telaga Sarangan berkembang secara signifikan. Perkembangan tersebut tidak sekadar satu aspek saja, melainkan dalam banyak aspek untuk menunjang kegiatan pariwisata. Di Sarangan berdiri sebuah asosiasi yang bernama V.O.S.O. (Vereeniging tot Opbloei Sarangan en Omgeving). Asosiasi ini memiliki peran untuk mengembangkan aktivitas pariwisata di kawasan Sarangan dan sekitarnya, khususnya dalam hal fasilitas pariwisata. Artikel ini akan melengkapi pembahasan perkembangan fasilitas di Telaga Sarangan yang telah dilakukan kajian akademis sebelumnya.</p> <p>&nbsp;</p> <p><strong>Abstract</strong><br>This article discusses the development of facilities at Telaga Sarangan in the 20th century. Telaga Sarangan in the 20th century became one of the places visited by many tourists. Its location on the slopes of Mount Lawu provides cool weather and a calm atmosphere. The 20th century provided a significant development of tourism facilities in Telaga Sarangan. The development not only happened in one aspect, but rather many aspects in order to support tourism activities. In Sarangan, there is an association called V.O.S.O. (Vereeniging tot Opbloei Sarangan en Omgeving). This association aimed to advance Sarangan’s tourism facilities and its surrounding. This article will complement the discussion of the development of facilities in Telaga Sarangan that has been done by previous academic studies. In compiling the article, the author is guided by historical research methods with contemporaneous newspapers, photos, and books being the main sources.</p> Fristilia Yuwana Putri Nur'aini Copyright (c) 2025 HISTMA https://jurnal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/24182 Fri, 29 Aug 2025 10:39:30 +0700 Pelukis Bali dalam Arus Pengaruh Eropa pada Seni Lukis Bali, 1920-an hingga 1940 https://jurnal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/24184 <p>Abstrak<br>Seni lukis Bali telah mengalami berbagai perkembangan yang signifikan dari masa ke masa. Tahun 1920-an menjadi tonggak perubahan gaya seni lukis di Bali menjadi “modern”. Hal ini terjadi karena munculnya dua pelukis Barat yang menjadi patron bagi pelukis-pelukis di sekitar Ubud, Batuan, dan sekitarnya. Hal ini pada akhirnya menciptakan gaya campuran antara klasik Kamasan dengan sentuhan Barat. Selain itu, alat dan teknik produksi seni yang digunakan pun mulai berubah. Percampuran ini menghasilkan gaya baru di Bali yang menjadi tren pada tahun 1930-an. Tulisan ini akan berfokus pada interaksi antara pelukis Bali dengan Barat ini yang menghasilkan perkumpulan Pita Maha. Perkumpulan ini sangat sukses sehingga mampu menyelenggarakan pameran di seluruh dunia. Sayangnya, Pita Maha tidak bertahan lama karena adanya Perang Dunia II. Akibatnya, aktivitas perkumpulan tersebut terhenti.</p> <p>&nbsp;</p> <p>Abstract<br>Balinese painting has undergone significant developments over time. The 1920s marked a turning point in the evolution of Balinese painting toward a “modern” style. This shift occurred due to the emergence of two Western painters who became patrons to artists in the Ubud, Batuan, and surrounding areas. This ultimately led to a fusion of the classical Kamasan style with Western influences. Additionally, the tools and techniques used in artistic production began to change. This fusion gave rise to a new style in Bali that became a trend in the 1930s. This article will focus on the interaction between Balinese and Western painters that led to the formation of the Pita Maha group. This group was highly successful, organizing exhibitions worldwide. Unfortunately, Pita Maha did not last long due to the outbreak of World War II, resulting in the cessation of its activities.</p> Athaya Grania Mindratno Copyright (c) 2025 HISTMA https://jurnal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/24184 Fri, 29 Aug 2025 11:10:00 +0700 Balapan Anjing Greyhound di Jakarta 1950-1956 https://jurnal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/24185 <p>Abstrak<br>Balapan anjing greyhound merupakan sebuah acara adu kecepatan bagi anjing-anjing jenis Greyhound dan Whippet milik anggota Perkumpulan Balapan Greyhound. Ajang adu kecepatan ini diselenggarakan di Kebun Binatang Djakarta yang berada di Cikini. Penyelenggara dari acara ini pada tahun 1950 hingga 1956 adalah Perkumpulan Balapan Greyhound, yang mana ini merupakan sebuah perkumpulan milik orang-orang Belanda yang masih ada di Jakarta. Fokus dari penelitian ini adalah pada bagaimana balapan anjing greyhound berjalan selama tahun 1950 hingga 1956 dan siapa saja yang terlibat di dalamnya. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang pada umumnya digunakan seperti pemilihan topik, pengumpulan sumber, kritik, interpretasi, dan yang terakhir adalah penulisan sejarah. Dari penelitian ini ditemukan data yang menunjukan bahwa balapan anjing greyhound dimulai pada tahun 1950 dengan inisiasi orang-orang Belanda yang masih menetap di Jakarta dan kemudian acara ini berhenti pada tahun 1956 yang disebabkan oleh kantor berita yang memberitakan tutup dan diambil alih oleh pemerintah.</p> <p>&nbsp;</p> <p>Abstract<br>Greyhound Racing is a speed event for Greyhound and Whippet dogs owned by members of the Greyhound Racing Association. This speed event was held at the Djakarta Zoo in Cikini. The organizer of this event in 1950 to 1956 was the Greyhound Racing Association, which was an association of Dutch people still in Jakarta. The focus of this research is on how Greyhound Racing ran from 1950 to 1956 and who was involved in it. This research uses historical methods that are generally used such as topic selection, source collection, criticism, interpretation, and finally historical writing. From this research, data was found showing that Greyhound Racing began in 1950 with the initiation of Dutch people who still lived in Jakarta and then this event stopped in 1956 due to the news agency that reported it closed and was taken over by the government.</p> Fido Orbi Yogaraksa Copyright (c) 2025 HISTMA https://jurnal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/24185 Fri, 29 Aug 2025 11:23:48 +0700 Interaksi Masyarakat Entikong dan Sarawak di Pos Perbatasan, 1989-1995 https://jurnal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/24187 <p>Abstrak<br>Pos perbatasan antara Indonesia dan Malaysia Timur yang pertama<br>terletak di Kecamatan Entikong, Kalimantan Barat dan Distrik Tebedu, Sarawak. Pos perbatasan ini menjadi pintu gerbang bagi kedua negara untuk melakukan interaksi agar saling terhubung guna mencapai tujuan bersama. Berdirinya Pos Perbatasan Entikong dan Tebedu pada 1989 menandai adanya hubungan antarnegara yang lebih masif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses pembangunan Pos Lintas Batas Entikong dan Tebedu sebagai kawasan yang memisahkan batas negara antara Indonesia dan Malaysia. Selain itu, penelitian ini juga akan mengkaji terkait mobilitas masyarakat dari kedua negara yang kemudian memunculkan berbagai persoalan yang berupa pelanggaran, dan melihat bagaimana upaya dari pemerintah dalam menangani persoalan tersebut. Hasil penelitian yang diperoleh dalam kurun waktu 1989 hingga 1995 menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi seperti jual beli merupakan faktor dominan dari interaksi antara Entikong (Indonesia) dan Tebedu (Sarawak). Tidak hanya itu, kegiatan sosial budaya juga terjadi pada periode ini.</p> <p>&nbsp;</p> <p>Abstract<br>The first state border post between Indonesia and East Malaysia is located in Entikong District, West Kalimantan and Tebedu District, Sarawak. This border post is the gateway for the two countries to interact. The interaction in question is how the two countries connect with each other for a common goal. The establishment of Entikong and Tebedu border posts in 1989 marked a more massive inter-state relationship. This research aims to find out how the construction process of the Entikong and Tebedu border posts as an area that separates the state border between Indonesia and Malaysia. In addition, this research will also examine the mobility of people from both sides of the country which then raises various problems in the form of violations, and see how the efforts of the government in dealing with these problems. The research results obtained in the period 1989 to 1995 show that economic activities such as buying and selling are the dominant factors of interaction between Entikong (Indonesia) and Tebedu (Sarawak). Not only that, activities for socio-cultural interests also occurred during this period.</p> M. Zidan Jibrian Copyright (c) 2025 HISTMA https://jurnal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/24187 Fri, 29 Aug 2025 12:35:10 +0700 Aktivitas Societeit de Harmonie Surakarta, 1913-1948 https://jurnal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/24190 <p>Abstrak<br>Kedatangan bangsa Barat ke Nusantara tidak selalu menyangkut tentang aktivitas perdagangan saja, tetapi mereka datang juga membawa suatu kebiasaan yang biasa dilakukan ketika berada di wilayah asalnya. Salah satu kebiasaan orang Eropa adalah gemar berkumpul, dilihat dari beberapa film Eropa berlatar belakang abad pertengahan mereka kerap mengadakan pesta dansa untuk para kaum bangsawan. Kebiasaan berkumpul ini terbawa hingga ke Hindia-Belanda, seiring waktu didirikan beberapa perkumpulan masyarakat Eropa untuk menghidupkan kembali kebiasaan mereka. Salah Satunya dengan mendirikan Societeit de Harmonie, artikel ini akan membahas aktivitas klub yang telah ada semenjak abad ke-19. Para elit Eropa berkumpul untuk berpesta, melakukan perayaan hingga menonton pertunjukan. Wilayah Surakarta merupakan salah satu daerah yang terdapat klub Societeit de Harmonie. Berada di wilayah Loji Wetan, yang merupakan kompleks pemungkiman Eropa. Societiet de Harmonie di Surakarta, memiliki kedekatan tersendiri dengan raja Kraton sehingga menambah corak keberagaman.</p> <p>&nbsp;</p> <p>Abstract<br>The arrival of Westerners in the archipelago was not always related to trade activities alone, but they also brought with them customs that were commonly practiced in their home countries. One of the customs of Europeans was a fondness for gathering, as seen in several European films set in the Middle Ages, where they often held dance parties for the nobility. This custom of gathering carried over to the Dutch East Indies, and over time, several European societies were established to revive their customs. One of these was the Societeit de Harmonie, which this article will discuss. The club has been active since the 19th century, where European elites gathered to party, celebrate, and watch performances. The Surakarta region is one of the areas where the Societeit de Harmonie club is located. It is situated in the Loji Wetan area, which is a European residential complex. The Societeit de Harmonie in Surakarta has a special connection with the king of the Kraton, adding a touch of diversity.</p> Galuh Alya Prastiti Copyright (c) 2025 HISTMA https://jurnal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/24190 Fri, 29 Aug 2025 12:44:57 +0700 Novel “Romansa STOVIA” dan Sejarah Dinamika Sosial di STOVIA https://jurnal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/24193 Allyssa Kailla Anindianto, Nayyara Auralifia Maudhy Copyright (c) 2025 HISTMA https://jurnal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/24193 Fri, 29 Aug 2025 12:59:51 +0700 Monokultur Pisang dan Dampaknya: Sebuah Refleksi Historis dan Ekonomi dari Serial Dokumenter "Omivore: Banana" https://jurnal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/24192 Fatikha Mahani, Hanifa Zuhdi Ahmadi Copyright (c) 2025 HISTMA https://jurnal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/24192 Fri, 29 Aug 2025 12:54:08 +0700