Prostitusi Berbalut Seni: Penari Taledhek dalam Pertunjukan Tayuban pada Abad XIX-XX

  • Lenna Aurelia Amalia Departemen Sejarah UGM
  • Putri Dwi Lestari Departemen Sejarah UGM

Abstrak

Abstract

Tayuban is one of the folk arts that grew in rural Java. Tayuban is a paired dance between a female dancer (taledhek) and a male dancer (penayub). At first, tayub was part of community rituals, such as in bersih desa, agricultural, and marriage ceremonies. However, in the early 19th century, tayub transitioned into a social dance that was often associated with prostitution. Taledhek dancers were treated as sexual objects for men and were involved in prostitution. This is interesting to be studied considering that research on prostitution in art is quite rare. Therefore, this study aims to describe the emergence of prostitution in Tayuban, the position of taledhek as an object of prostitution, and the response of society in terms of the practice. Based on contemporaneous sources, it was found that the villagers accepted the existence of taledhek in their neighborhood. A different reaction came from Europeans and Javanese priyayi who considered them as vulgar in the early 20th century. As a result, tayuban was sophistified in favor of performances that followed the norms of modesty.

 

 

Abstrak

Tayuban merupakan salah satu kesenian rakyat yang berkembang di pedesaan Jawa. Kesenian tayub berbentuk tari berpasangan antara penari perempuan (taledhek) dan penari laki-laki (penayub). Awalnya, tayub menjadi bagian dari ritual masyarakat, seperti dalam upacara bersih desa, pertanian, dan perkawinan. Namun, di awal abad ke-19, tayub mengalami pergeseran fungsi menjadi tari pergaulan yang sering diasosiasikan dengan pelacuran. Penari taledhek pun diperlakukan sebagai objek hiburan bagi laki-laki dan terlibat dalam prostitusi. Hal tersebut menarik untuk dikaji mengingat penelitian tentang prostitusi dalam seni cukup jarang ditemui. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menguraikan kemunculan prostitusi dalam tayuban, posisi taledhek sebagai objek pelacuran, serta respon masyarakat dalam menyikapi praktik tersebut. Berdasarkan sumber-sumber sezaman, kajian ini menemukan bahwa masyarakat desa menerima keberadaan taledhek dalam lingkungannya. Reaksi yang berbeda justru datang dari orang-orang Eropa dan priyayi Jawa yang menganggap mereka terlalu vulgar di awal abad ke-20. Akibatnya, tayuban disofistifikasi demi berjalannya pertunjukan yang sesuai dengan norma-norma kesopanan.

Referensi

Amengkunegara III, K.G.P.A.A. (1985). Serat Centhini (Suluk Tambangraras) jilid IX, Kalatinaken miturut aslinipun dening Kamajaya. Yogyakarta: Yayasan Centhini.
Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 1889
Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage, 21-10-1904
“Dansmeisje poseert”, 1904, Nationaal Museum van Wereldculturen.
“Dansvoorstelling met gamelan begeleiding voor de woning van een Regent”, 1870-1900, Nationaal Museum van Wereldculturen.De Indische courant, 18-06-1937
De locomotief, 09-01-1930
De locomotief, 10-10-1935
De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 09-02-1882
De nieuwe vorstenlanden, 03-08-1920
Geertz, C. (1976). The Religion of Java. Chicago: The University of Chicago Press.
Harnoko, D. & Fibiona, I. (2021). Kagunan Sekar Padma: Kontinuitas dan Perkembangan Kesenian Tradisional di Yogyakarta Awal Abad XX. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya D.I. Yogyakarta.
Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Paku Buwana V, S. (2006). Centhini Tambangraras-Amongraga Jilid IX / Sunan Paku Buwana V; Koordinator dan penyunting Marsono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pigeaud, Th. (1938). Javaanse volksvertoningen bijdrage tot de beschriving van land en volk. Batavia : Volkslectuur.
Poerbatjaraka. “Nayub, Nayuban”. Majalah Bahasa dan Budaya III. No. 2. (1954).
Poerwadarminta W. J. S. (1939). Baoesastra Djawa. Groningen, Batavia: J.B. Wolters’ Uitgevers Maatschappij N.V.
Ratih, E., dkk. “Citra Wanita dalam Pertunjukan Kesenian tayub.” Harmonia: Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni. Vol. 6. No. 2. (2005).
“Ronggeng danseres, begeleid door muzikanten”, 1860-1880, Nationaal Museum van Wereldculturen.
“Straatdanseressen, ronggeng of tayuban”, 1825, Nationaal Museum van Wereldculturen.
Suharto, B. (1980). Tayub: Pengamatan dari Segi Tari Pergaulan serta Kaitannya dengan Unsur Upacara Kesuburan. Yogyakarta: Akademi Seni Tari Indonesia.
Suhendi, D. (2006). Srintil dalam Belenggu Gender (Menyingkap Kekerasan Dunia Ronggeng). Yogyakarta: Alief Press.
Supramono. (1990). “Seni Tayub Blora : Perjalanannya dari Masa ke Masa”. Skripsi. Universitas Gadjah Mada.
Vragen des tijds, 1930, 01-01-1930
Vragen van den dag; Populair tijdschrift op het gebied van staathuishoudkunde en staatsleven, natuurwetenschappen, uitvindingen en ontwikkelingen, aardrijkskunde, geschiedenis en volkenkunde, kolonien, handel en nijverheid, enz. jrg 17, 1902 [volgno 2]
Winter, C. F., & R. Ng. Ranggawarsita. (2003). Kamus Kawi-Jawa, menurut Kawi-Javaansch Woordekboek oleh C.F. Winter Sr. dan R. Ng. Ranggawarsita. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Diterbitkan
2023-11-22
Bagian
Articles