https://jurnal.ugm.ac.id/v3/arnawa/issue/feed Arnawa 2024-01-26T09:28:52+07:00 Nurmalia Habibah arnawa.journal@gmail.com Open Journal Systems <p>Arnawa is an intellectual sanctuary dedicated to unraveling the intricate layers of Javanese identity through the lenses of language, literature, and culture. Nestled within the cultural heartland of Java, this journal serves as a vibrant forum for the exchange of scholarly discourse, fostering a profound understanding of the diverse facets that define Javanese existence. <br>Arnawa is a biannual publication of the Javanese Language, Literature and Culture Study Program, Faculty of Cultural Sciences at Gadjah Mada University, released in June and December each year. We extend an open invitation to scholars and practitioners alike, encouraging active participation in the vibrant exchange of ideas, insights, and research. This collaborative endeavor seeks to enrich our collective comprehension of the nuanced facets that characterize the world of Javanese culture. The journal is published biannually, with issues released in June and December each year.</p> https://jurnal.ugm.ac.id/v3/arnawa/article/view/11246 Wayang Kulit sebagai Instrumen Edukasi: Re-Interpretasi Wayang Kulit di Museum Volkenkunde Leiden and Museum Wayang Kekayon Yogyakarta 2024-01-26T09:28:52+07:00 Kezia Permata keziapermata27@gmail.com <p><em>This research aims to analyze the influence of the relocation and timing on the educational value embedded in wayang kulit. Using the theory of "way of seeing," the observations are conducted through a qualitative approach. The value of wayang as an educational instrument is assessed based on its function, both in performances and as exhibition objects in museums. A case study was carried out regarding the placement of wayang kulit at Volkenkunde Museum Leiden and Museum Wayang Kekayon. The differences in two locations at two different times have an impact on the placement of wayang collections. Through this research, it is evident that the educational value of wayang kulit remains unchanged even though different presentation methods are used. Whether in performances or as museum exhibition objects, wayang kulit continues to play a role as an educational medium that can be enjoyed by the public.</em></p> <p>===</p> <p>Penelitian ini bermaksud menganalisis pengaruh perpindahan lokasi dan waktu terhadap nilai edukatif yang terkandung dalam wayang kulit. Melalui teori cara melihat (way of seeing), pengamatan dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Nilai wayang sebagai instrumen edukasi ditimbang berdasarkan fungsinya baik dalam pertunjukan maupun sebagai objek pameran dalam museum. Studi kasus dilakukan terhadap penempatan wayang kulit di Volkenkunde Museum Leiden dan Museum Wayang Kekayon. Adapun perbedaan pada dua lokasi pada dua masa yang berbeda ini berpengaruh dalam penempatan koleksi wayang. Melalui penelitian ini dapat diketahui bahwa nilai edukatif wayang kulit tidak berubah sekalipun metode penyajian yang berbeda. Baik dalam pertunjukan maupun sebagai objek pameran museum, wayang kulit tetap berperan sebagai media edukasi yang dapat dinikmati oleh masyarakat.</p> 2023-12-01T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2023 Arnawa https://jurnal.ugm.ac.id/v3/arnawa/article/view/11247 Anoman Angrĕrĕpi Munggeng Nagasĕkar: dari Rubrikasi Hingga Hubungan Intertekstual Sĕrat Rama Jayakusuman dengan Sĕrat Rama Yasadipuran 2024-01-26T09:28:50+07:00 Tio Cahya Sadewa pustakasadewan@gmail.com <p><em>This research discusses the rubrication of "Anoman Angrĕrĕpi munggeng Nagasekar" in the manuscript of Sĕrat Rama (Jayakusuman) in the collection of the Sonobudoyo Yogyakarta Museum Library (MSB/L.291) and then interprets and correlates it with the accompanying text. This study also attempts to compare the story of Anoman angrĕrĕpi 'singing' when delivering a message from Prabu Rama to Dewi Sinta contained in Sĕrat Rama (Jayakusuman) with the more widely known version, Sĕrat Rama (Yasadipuran). A descriptive research method with a philological and intertextual approach is used to determine the relationship between texts. In addition, a semiotic approach was used to interpret the meaning of the rubrication of the text. The data in this study are texts about the story of Anoman singing from each manuscript to be compared. The results show that in Sĕrat Rama (Jayakusuman) the story of Anoman "angrĕrĕpi" is an important topic, as evidenced by the special rubrication about it. The story of Anoman singing is not found in the Old Javanese Rāmāyaṇa. It is found in both texts of Sĕrat Rama (Yasadipuran and Jayakusuman versions) with different compositions. In Sĕrat Rama (Yasadipuran) the story is composed in the Mijil metre while in the younger Sĕrat Rama (Jayakusuman) the Dhandhanggula metre is used. The story of Anoman singing is the result of the creativity of the Surakarta Palace poet, R. Ng. Yasadipura II in the form of an interpretation of the Old Javanese Rāmāyaṇa which was later recomposed in a different version by B.P.H. Jayakusuma (son of Hamengku Buwana II).</em></p> <p>===</p> <p>Penelitian ini membahas tentang adanya rubrikasi “Anoman Angrĕrĕpi munggeng Nagasekar” pada naskah Sĕrat Rama (Jayakusuman) koleksi Perpustakaan Museum Sonobudoyo Yogyakarta (MSB/L.291) untuk kemudian diinterpretasi dan dikorelasikan dengan teks yang mengiringinya. Penelitian ini juga mencoba untuk membandingkan kisah tentang Anoman angrĕrĕpi ‘menembang’ pada saat menyampaikan pesan dari Prabu Rama kepada Dewi Sinta yang termuat dalam Sĕrat Rama (Jayakusuman) dengan versi yang lebih dikenal luas, yakni Sĕrat Rama (Yasadipuran). Digunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan filologi dan intertekstual untuk mengetahui hubungan antar teks. Selain itu, digunakan pula pendekatan semiotik untuk menginterpretasikan makna dari rubrikasi naskah. Data dalam penelitian ini adalah teks tentang kisah Anoman menembang dari masing-masing naskah untuk kemudian dibandingkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada teks Sĕrat Rama (Jayakusuman) kisah Anoman “angrĕrĕpi” merupakan topik yang penting, terbukti dengan adanya rubrikasi khusus mengenainya. Kisah Anoman menembang tidak didapati pada Rāmāyaṇa Jawa Kuna. Kisah ini ditemukan pada kedua teks Sĕrat Rama (versi Yasadipuran dan Jayakusuman) dengan gubahan yang berbeda. Pada Sĕrat Rama (Yasadipuran) kisah tersebut digubah dengan metrum Mijil sedangkan pada Sĕrat Rama (Jayakusuman) yang lebih muda digunakan metrum Dhandhanggula. Kisah Anoman menembang merupakan hasil kreatifitas pujangga Keraton Surakarta, R. Ng. Yasadipura II dalam bentuk pen-jarwa-an Rāmāyaṇa Jawa Kuna yang kemudian digubah lagi dengan versi yang berbeda oleh B.P.H. Jayakusuma (putra Hamengku Buwana II).</p> 2023-12-01T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2023 Arnawa https://jurnal.ugm.ac.id/v3/arnawa/article/view/11248 Kesempatan Penelitian Ejaan Naskah di Era Digital: Uji Coba Pengamatan Perilaku Huruf Berdasarkan Metode Willem Van Der Molen 2024-01-26T09:28:47+07:00 Styan Lintang Sumiwi styan.lintang.s@mail.ugm.ac.id <p><em>This paper draws on Peter Worsley's idea in 1972 to catalog errors and spelling conventions of a manuscript that would be useful in uncovering its copying tradition. The spelling aspect of the theory has never been fully implemented, including Worsley himself. Willem van der Molen (1983) attempted to implement spelling analysis by looking at the behavior of each script in each manuscript, but he only tried it with two letter variations. He couldn't complete the work due to the large amount of data involved, which took too long. Current advances in information technology have made it possible to automate text data processing that previously had to be done manually. This research reviews the method offered by Willem van der Molen and shows how computing technology helps in such analysis.</em></p> <p>===</p> <p>Tulisan ini berangkat dari gagasan Peter Worsley pada tahun 1972 untuk membuat katalog kesalahan dan konvensi ejaan suatu naskah yang berguna dalam mengungkap tradisi penyalinannya. Aspek ejaan dalam teori tersebut belum pernah diimplementasikan secara tuntas, termasuk oleh Worsley sendiri. Willem van der Molen (1983) mencontohkan implementasi analisis ejaan dengan cara memperhatikan perilaku setiap aksara pada setiap naskah, namun ia hanya mencobanya pada variasi dua huruf. Analisis tersebut tidak dapat ia selesaikan karena cakupan data yang besar sehingga memakan waktu terlalu lama. Kemajuan di bidang teknologi informasi yang ada saat ini telah memungkinkan otomatisasi pengolahan data teks yang sebelumnya harus dilakukan secara manual. Penelitian ini dilakukan sebagai tinjauan ulang atas metode yang ditawarkan Willem van der Molen dan memperlihatkan bagaimana teknologi komputasi bermanfaat dalam analisis tersebut.</p> 2023-12-01T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2023 Arnawa https://jurnal.ugm.ac.id/v3/arnawa/article/view/11249 Internalisasi Wacana Pemberadaban Kolonial Hindia-Belanda dan Kebangkitan Ajaran Tasawuf di Jawa Abad 19: Sebuah Studi Kasus pada Dongeng Jaka Sakbar 2024-01-26T09:28:43+07:00 Muhamad Fahrizal Leo Pratama fahrizalleo99@mail.ugm.ac.id <p><em>The development of Sufism studies in Java has been carried out by the palace poets in Surakarta in the 19th century. Various works resulting from the Islamization of classical Javanese literature indicate the efforts to transition from Hindu-Buddhist tradition. Along with the Islamization process in Java, in the early 19th to 20th century, Western Orientalists came with a mission to civilize the natives through the Gospel. This article discusses the teachings of Sufism in a Javanese fairy tale entitled Jaka Sakbar and its correlation to the evangelization process in Java in the 19th century. The Jaka Sakbar fairy tale is one of the story fragments in the collection of fairy tales in the Kěmpalan Dongeng Manuscript Collection of the Widyapustaka Library, Pura Pakualaman, Yogyakarta. Fairy tales are often characterized as mere fictional stories that serve only as entertainment. However, fairy tales do not rule out the possibility of becoming a means of social and religious teaching by adding elements of knowledge in a story. In addition, Sufism teachings were quite popular in Java in the 19th century, along with the growth of tarekat in the Nusantara, especially the reconciliation between Sunni Sufism and philosophical Sufism. The intention to include Sufism teachings in manuscripts in Java is a symbolic resistance by the Islamic Mataram Kingdom and Javanese poets due to colonial domination (missionaries) in the 19th century.</em></p> <p>===</p> <p>Perkembangan studi tasawuf di Jawa, setidaknya telah dilakukan oleh para pujangga Istana di Surakarta pada abad ke-18 hingga 19. Berbagai macam karya hasil Islamisasi terhadap karya Sastra Jawa periode klasik menujukkan terjadinya upaya peralihan dari tradisi Hindu-Budha. Bersamaan dengan proses Islamisasi di Jawa, pada rentang awal abad ke 19 hingga 20an, para Orientalis Barat datang dengan misi pemberadaban melalui kitab injil kepada kaum bumiputera. Artikel ini membahas mengenai ajaran tasawuf dalam sebuah Dongeng Jawa berjudul Jaka Sakbar dan korelasinya terhadap proses internalisasi wacana pemberadaban di Jawa pada abad ke-19. Dongeng Jaka Sakbar merupakan salah satu fragmen cerita dari kumpulan dongeng dalam Naskah Kěmpalan Dongeng Koleksi Perpustakaan Widyapustaka Pura Pakualaman Yogyakarta. Dongeng seringkali dicirikan sebagai sebuah cerita karangan belaka yang berfungsi sebagai hiburan fiktif. Akan tetapi, dongeng tidak menutup kemungkinan menjadi sebuah sarana pengajaran sosial dan agama dengan menambahkan unsur-unsur pengetahuan dalam sebuah cerita. Selain itu, ajaran tasawuf cukup digemari di Jawa pada abad ke-19 bebarengan dengan pertumbuhan tarekat di Nusantara khususnya rekonsiliasi antara tasawuf sunni dan tasawuf falsafi. Adanya intensi untuk memasukkan ajaran tasawuf dalam manuskrip di Jawa, merupakan salah satu bentuk perlawanan simbolik oleh Kerajaan Mataram Islam dan pujangga Jawa akibat dominasi kolonial (misionaris) pada abad ke-19.</p> 2023-12-01T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2023 Arnawa https://jurnal.ugm.ac.id/v3/arnawa/article/view/11250 Cerita Pandai Besi dalam Sêrat Rama, Arjunawiwaha, Saha Kempalan Dongeng: Kajian Filologi dan Kritik Respon Pembaca 2024-01-26T09:28:39+07:00 Hendra Aprianto denganhendra@gmail.com <p><em>Keris is a Javanese cultural product. Literacy on blacksmithing may be discovered in the document Sêrat Rama, Arjunawiwaha, Saha Kempalan Dongeng (SRASKD). The manuscript was started by a ruling king. The narrative of the blacksmith in SRASKD is told in 29 stanzas, however this essay will only look at 5 of them. The manuscript is housed at the Widyapustaka Pura Pakualaman library. This research employs philological analysis began by Oman Fathurahman and reader response critique initiated by Louise Rosenblatt. Philological analysis is used to characterize the manuscript and provide the text edition that was carried out using the script and language transfer technique. Furthermore, the translation findings are carried out at the reader interpretation stage to acquire a series of meanings in the SRASKD manuscript's macapat poetry. The following outcomes are derived based on the process of reading the characters and understanding the text. The first verse narrates the account of a blacksmith from Pajajaran, a kris empu with the rank of lurah. The second verse describes King Brawijaya's hunt for a highly competent kris smith. In the third stanza, the monarch finds a master empu, Kyai Supa, and his son (Ki Surawigya). Kyai Supa is resentful of his son in the fourth stanza because the king prefers his son's work. Ki Surawigya dies in the sixth stanza, and King Brawijaya is taken aback. In this article, the SRASKD manuscript is presented as a presentation of fascinating literary works on social phenomena at the time, which informs about the king's initiation to locate a kris master, which is still relevant now.</em></p> <p>===</p> <p>Keris merupakan produk budaya masyarakat Jawa. Literasi tentang pandai besi dapat ditemukan dalam dokumen Sêrat Rama, Arjunawiwaha, Saha Kempalan Dongeng (SRASKD). Naskah ini diprakarsai oleh seorang raja yang berkuasa. Narasi pandai besi dalam SRASKD diceritakan dalam 29 pada, namun tulisan ini hanya akan membahas 5 pada . Naskah ini tersimpan di perpustakaan Widyapustaka Pura Pakualaman. Penelitian ini menggunakan analisis filologi yang dimulai oleh Oman Fathurahman dan kritik respons pembaca yang digagas oleh Louise Rosenblatt. Analisis filologi digunakan untuk pendeskripsian fisik naskah dan memberikan edisi teks yang dilakukan dengan teknik alih aksara dan alih bahasa. Selanjutnya, hasil terjemahan dilakukan pada tahap interpretasi pembaca untuk mendapatkan serangkaian makna dalam puisi macapat naskah SRASKD. Hasil penelitian berikut ini diperoleh berdasarkan proses pembacaan aksara dan pemahaman teks. Bait pertama menceritakan kisah seorang pandai besi dari Pajajaran, seorang empu keris berpangkat lurah. Bait kedua menceritakan perburuan Prabu Brawijaya terhadap seorang empu keris yang sangat kompeten. Pada bait ketiga, sang raja menemukan seorang empu, Kyai Supa, dan putranya (Ki Surawigya). Kyai Supa merasa kesal kepada putranya pada bait keempat karena sang raja lebih menyukai hasil karya putranya. Ki Surawigya meninggal pada bait keenam, dan Raja Brawijaya terkejut. Dalam artikel ini, naskah SRASKD disajikan sebagai presentasi karya sastra yang menarik tentang fenomena sosial pada saat itu, yang menginformasikan tentang inisiasi raja untuk mencari seorang empu keris, yang masih relevan sampai sekarang.</p> 2023-12-01T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2023 Arnawa