Lembaran Antropologi https://jurnal.ugm.ac.id/v3/LA <p><span style="font-weight: 400;">Lembaran Antropologi is a journal developed and published by the Department of Anthropology Faculty of Cultural Science Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Indonesia.</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">Lembaran Antropologi aims to promote academic discourses and anthropological analysis on the study of human relations, cultures, and societies in both Global North and Global South. This journal holds the core values of the Department of Anthropology, Universitas Gadjah Mada in advancing ethnographic research and studies which is critical, inclusive, reflective, and emancipative. The journal seeks to establish a balanced perspective on global academic discourse by highlighting the positionality of researchers as post-colonial subjects in interpreting sets of human relations and social phenomena.</span></p> Department of Anthropology Faculty of Cultural Sciences Universitas Gadjah Mada en-US Lembaran Antropologi 2828-0962 <p><strong>Lembaran Antropologi </strong><span style="font-weight: 400;">is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.<br>---<br><em>By publishing with <strong>Lembaran Antropologi</strong>, author agrees to transfer the copyright holder of the published article to <strong>Lembaran Antropologi </strong>under&nbsp;<a href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">the Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License</a>.</em><br></span></p> Dari Redaksi https://jurnal.ugm.ac.id/v3/LA/article/view/12491 Heddy Shri Ahimsa-Putra Copyright (c) 2023 Lembaran Antropologi https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0 2023-12-29 2023-12-29 2 2 i ii 10.22146/la.12491 Dari Entek Amek ke Entek Golek: Perempuan dan Perubahan di Gunungkidul https://jurnal.ugm.ac.id/v3/LA/article/view/6136 <p>Artikel ini menggambarkan bagaimana peminggiran perempuan terjadi akibat modernisasi yang menyentuh Dusun Wintaos, Gunungkidul. Peminggiran yang membuat perempuan menjadi sekunder dalam mengakses kesempatan kerja baru. Modernisasi dan kemudahan akses transportasi, komunikasi dan pendidikan mendorong usia produktif, terutama laki-laki, meninggalkan pertanian demi mengejar pendapatan cepat dan ajeg melalui kerja-kerja <em>off/non-farm.</em> Dibandingkan perempuan, laki-laki lebih mudah mengakses pekerjaan <em>non/off farm</em>. Pekerjaan <em>off/</em><em>non-farm</em>&nbsp;membuat laki-laki meninggalkan pertanian sehingga relasi kolaborasinya dengan perempuan dalam pertanian pecah. Perempuan menanggung kekurangan tenaga kerja pada kegiatan budi daya tani. Akibatnya, perempuan tertinggal dan menjadi pelaku utama budi daya tani <em>entek amek</em>. Perubahan ini tercermin dari bergesernya sistem nilai yang dianut, dimana “<em>entek golek” </em>((jika) habis mencari) meninggalkan “<em>entek amek</em>” ((jika) habis (bisa) memetik).</p> Diah Widuretno Copyright (c) 2023 Lembaran Antropologi https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0 2023-12-29 2023-12-29 2 2 100 118 10.22146/la.6136 Ibu dan Pendidikan Anak dalam Budaya Batak Toba https://jurnal.ugm.ac.id/v3/LA/article/view/5646 <p>Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui relasi antara investasi sosial yang tinggi dan beban ekonomi perempuan pada komunitas petani yang memiliki budaya patriarki di Lumban Silintong, Sumatera Utara. Penelitian ini menggunakan teori tentang patriarki yang memperlihatkan dominasi laki-laki dan menempatkan perempuan dalam posisi yang tersubordinasi; dan pendidikan anak sebagai motif investasi pada pendidikan anak untuk mendapatkan berbagai manfaat di masa depan. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian etnografi yaitu dengan teknik obervasi partisipasi di lokasi penelitian selama 109 hari. Peneliti terlibat aktif dalam berbagai kegiatan yang di lakukan penduduk desa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa relasi antara investasi pada pendidikan anak dan tingginya beban kerja/ekonomi perempuan adalah karena secara struktur sosial orang Batak Toba (patriarki) menempatkan perempuan dalam keadaan tersubordinasi. Cita-cita patriarki yang telah mengkristal di masyarakat, harus dipikul oleh istri, karena dengan melakukan perannya sebagai istri dapat mengurangi sanksi sosial, terutama jika anak-anaknya dikatakan sukses. Tetapi dibalik jerih payah mengusahakan pendidikan anak-anaknya, kaum ibu Lumban Silintong mendapatkan berbagai manfaat: meringankan beban pendidikan anak-anak yang lain, mendapatkan perlindungan hari tua, membantu pemenuhan biaya adat. Hal lain yang didapatkan adalah ketika seorang ibu telah berjuang untuk anak-anaknya, maka di hari tuanya anak-anak akan lebih peduli terhadap ibunya.</p> Lode Wijk Pandapotan Girsang Copyright (c) 2023 Lembaran Antropologi https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0 2023-12-29 2023-12-29 2 2 119 135 10.22146/la.5646 Kebaya dan Wacana Pelestarian https://jurnal.ugm.ac.id/v3/LA/article/view/12421 <p>Artikel ini adalah tentang gerakan berkebaya untuk mensukseskan pengajuan busana kebaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) ke UNESCO. Yang dijadikan obyek untuk menganalisa fenomena ini adalah laman <em>tradisikebaya.id </em>yang berisi beragam tautan media dan informasi tentang kampanye berkebaya. Konten <em>tradisikebaya.id </em>ini bisa dilihat sebagai kumpulan dari representasi gerakan ini. Laman ini bisa dilihat sebagai pintu masuk untuk memproblematisir kampanye <em>Kebaya Goes to UNESCO</em>.&nbsp; Isi dari laman ini dianalisa secara indikatif dan bukan secara komprehensif. Tujuannya adalah untuk melihat pola-pola representasi yang muncul dengan memakai pendekatan semiotika Stuart Hall dan Roland Barthes. Argumentasi yang diajukan di artikel ini adalah bahwa gerakan berkebaya ternyata mempunyai wacana dan ideologi yang paralel dengan sejarah pembentukan identitas kebangsaan Indonesia. Paralel yang pertama adalah bahwa identitas Indonesia itu bersifat Jawa sentris demikian pula gerakan berkebaya ini. Gerakan ini adalah sekelompok perempuan yang berpusat di pulau Jawa yang berbicara atas nama seluruh perempuan Indonesia. Paralel yang kedua adalah perempuan dipakai sebagai simbol &nbsp;identitas yang bersifat kultural. Perempuan adalah lambang kebangsaan sementara laki-laki adalah lambang kenegaraan. Namun walaupun memakai&nbsp; perempuan sebagai simbol kebudayaan, jenis perempuan yang direpresentasikan ternyata berbeda dengan yang dikonstruksi di masa lalu terutama di jaman Suharto. Perempuan yang dikonstruksi dalam gerakan berkebaya ini adalah perempuan bergaya hidup urban, kelas menengah dari status mereka sendiri (tidak digambarkan sebagai pendamping suami), dan sebagian besar bekerja. &nbsp;</p> <p>&nbsp;</p> Suzie Handajani Copyright (c) 2023 Lembaran Antropologi https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0 2023-12-29 2023-12-29 2 2 136 152 10.22146/la.12421 Melek Politik Sejak Dini: Kaum Muda Jerman yang Berpolitik dalam Grüne Jugend https://jurnal.ugm.ac.id/v3/LA/article/view/9405 <p>Grüne Jugend merupakan organisasi sayap pemuda dari partai Bündnis 90/Die Grünen atau Die Grünen (Partai Hijau). Manifesto partai ini berakar pada lingkungan hidup dan hak asasi manusia di mana isu-isu tersebut saat ini menjadi landasan kampanye para pemuda di sebagian besar wilayah Jerman maupun Eropa. Bündnis 90/Die Grünen pada tahun 2011 pernah mengamankan suara sebanyak 42% di Freiburg, sebuah kota di negara bagian Baden-Württemberg di Jerman sehingga Freiburg sempat dikenal sebagai salah satu basis terbesar Partai Hijau. Penelitian ini menguraikan bagaimana budaya di Jerman membentuk para pemuda terlibat aktif dalam politik praktis. Tulisan ini merupakan hasil rangkaian dari program tandem yang dilaksanakan antara jurusan Antropologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan jurusan Ethnology dari Universitas Freiburg. Penelitian ini menggunakan metode tandem, wawancara mendalam, dan studi literatur. Sebagai landasan penelitian, terdapat dua pertanyaan. Apa yang menyebabkan pemuda di Jerman tertarik untuk bergabung dengan Grüne Jugend dan terlibat politik? Anggota Grüne Jugend memperoleh informasi dari berbagai media yaitu secara mandiri dan dari orang tua atau teman-teman mereka. Secara mandiri di dapat dari pengetahuan tentang Die Grünen dan perhatian terhadap lingkungan sekitar mereka. Budaya di Jerman mengenalkan politik sejak dini melalui keterlibatan anak-anak dalam mengambil keputusan. Keterlibatan tersebut membentuk daya kritis dan reflektif dalam diri anak-anak sehingga mereka dapat memutuskan sesuatu seiring pertumbuhan mereka. Keterlibatan pemuda di ini menjadi salah satu studi kasus bahwa pemuda memiliki hak untuk mengubah kehidupan mereka dimulai dari keberanian menyampaikan pendapat.&nbsp;</p> Inda Marlina Copyright (c) 2023 Lembaran Antropologi https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0 2023-12-29 2023-12-29 2 2 153 165 10.22146/la.9405 Voluntarism Rationality in Norway: The Relevance of Ferie for Alle https://jurnal.ugm.ac.id/v3/LA/article/view/6717 <p><span style="font-weight: 400;">The article examines a voluntary phenomenon that exists in “Ferie for Alle”. The name refers to a voluntary-based program organized by the Norwegian Red Cross, a prominent NGO in Norway. The program is oriented in ensuring free holiday experiences for children and families who are deemed unfortunate. Interestingly such a regard is attached due to their inability to afford vacation trips during holiday time. This article aims to address why such phenomenon of Ferie for Alle able to emerges in Norwegian society and attracts people to volunteer to it. This paper uses an ethnographic approach. In specific, it utilizes qualitative method such as semi-structured in-depth interview for the data collection process, and narratives analysis for data analysis process. Through the result, this paper argues that the existence of voluntarism in Ferie for Alle is instigated by volunteers’ reasoning towards prominent social aspects, that is: (1) growing up experiences in Norwegian society, (2) interpretation of Norwegian culture (3) understanding of a certain Norwegian welfare provision discourse. Moreover, actualization of volunteering further gave an idea of how Norwegian welfare system is supposed to be conducted. As reflected by the Ferie for Alle volunteers, such meaning helps them navigate activism in addressing transnational political issues happening in Norway. </span></p> Muhammad Affan Asyraf Copyright (c) 2023 Lembaran Antropologi https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0 2023-12-29 2023-12-29 2 2 166 181 10.22146/la.6717 Mamak dan Anak Cucunya : Antara Alpha, Z, dan Baby Boomers https://jurnal.ugm.ac.id/v3/LA/article/view/12081 Puspita Nindya Sari Copyright (c) 2023 Lembaran Antropologi https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0 2023-12-29 2023-12-29 2 2 182 189 10.22146/la.12081 Indonesia: Negara dan Masyarakat dalam Transisi https://jurnal.ugm.ac.id/v3/LA/article/view/12399 Ruli Andriansah Copyright (c) 2023 Lembaran Antropologi https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0 2023-12-29 2023-12-29 2 2 190 195 10.22146/la.12399