https://jurnal.ugm.ac.id/polgov/issue/feedJurnal PolGov2020-09-28T14:50:21+07:00Prof. Haryanto, MA.jurnal-polgov.fisipol@ugm.ac.idOpen Journal SystemsJurnal PolGov merupakan media penyebaran hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah di bidang politik dan pemerintahan guna memfasilitas diskusi, interaksi dan pertukaran informasi di antara para ahli dan dan antara para ahli dan pengambil kebijakan. Jurnal PolGov terbuka bagi siapapun yang memiliki minat dan kehalian dalam bidang politik dan pemerintahan. Setiap naskah yang diterbitkan telah melalui proses blind peer review yang melibatkan para ahli dan akademisi yang terkait. Jurnal PolGov dibentuk oleh Departemen Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (DPP UGM), dan dikelola oleh Research Centre for Politics and Government (PolGov) sebagai unit penelitian DPP UGM.<script type="text/javascript">// <![CDATA[ window.location.href = "https://jurnal.ugm.ac.id/v3/polgov/" // ]]></script>https://jurnal.ugm.ac.id/polgov/article/view/55886Pemanfaatan Teknologi Pemilu Di Tengah Era Post Truth: Antara Efisiensi dan Kepercayaan2020-09-28T14:50:21+07:00Mahpudin Mahpudinmahpudin95@mail.ugm.ac.id<p><em>Teknologi pemilu merupakan sebuah keniscayaan di era digital. Berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi telah mendorong banyak negara memanfaatkan teknologi untuk membantu penyelenggara pemilu melaksanakan demokrasi elektoral. Indonesia termasuk negara yang menggunakan teknologi dalam pemilu. Namun dalam pelaksanaannya, teknologi pemilu tidak serta merta menghasilkan efisensi dan efektifitas. Misalnya, penggunaan aplikasi SITUNG (Sistem Penghitungan Suara) untuk proses rekapitulasi suara berbasis online justru menimbulkan polemik di tengah masyarakat menyangkut kepercayaan publik yang dipicu oleh adanya kesalahan teknis penyelenggara pemilu. Hal ini diperparah dengan hadirnya isu negatif dan kabar bohong selama pemilu sebagai konsekuensi dari era post truth. Artikel ini membahas penggunaan teknologi pemilu dalam proses tahapan rekapitulasi suara melalui SITUNG pada pemilu 2019 yang menghadirkan perdebatan antara efisensi dan kepercayaan publik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan SITUNG dalam proses rekapitulasi suara menjadi kontroversial sebab adanya kesalahan teknis yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu dalam prises input data ke SITUNG memicu keraguan dan kecurigaan publik. Momentum ini dimanfaatkan oleh calon kandidat dan elit politik yang kalah dalam pemilu untuk memobilisasi massa agar tercipta public distrust yang pada akhirnya berujung pada upaya untuk mendelegitimasi hasil pemilu. Hal tersebut semakin diperkeruh di tengah era post truth yang ditandai dengan hadirnya isu negatif dan berita palsu menggunakan media sosial.</em></p>2019-10-15T00:00:00+07:00Copyright (c) 2020 Jurnal PolGovhttps://jurnal.ugm.ac.id/polgov/article/view/60201Kawula Tani di Bawah Sepatu Lars: Militer dalam Program Upsus Pajale Tahun 2015–2017 di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta2020-09-28T14:36:01+07:00Anggalih Bayu Muh.Kamimanggalih.bayu@yahoo.co.id<p class="Style5">Kajian ini mendalami terkait upaya pelibatan institusi militer dalam mobilisasi petani untuk mencapai peningkatan produktivitas pangan melalui program Upsus Pajale. Program tersebut menjadi upaya dari Presiden Joko Widodo untuk melibatkan tentara, demi mencapai swasembada pangan pada tahun 2017. Studi ini adalah penelitian kualitatif deskriptif dengan strategi studi kasus pada pelaksanaan program Upsus Pajale di Kabupaten Sleman pada tahun 2015–2017. Pengambilan data dilakukan dengan observasi, wawancara mendalam, teknik dokumentasi, dan triangulasi. Berbeda dengan studi sebelumnya yang melihat bahwa peran militer dalam program pangan disebabkan oleh faktor doktrin dan kelembagaan militer, hasil kajian ini menunjukkan bahwa peran otoritas politik dalam menerjemahkan kebijakan pangan sebagai bagian dari sektor pertahanan telah memberikan ruang bagi militer terlibat pada program pangan. Adanya Reformasi tahun 1998 yang mendorong penataan internal angkatan bersenjata tidak lantas menghilangkan peran militer dalam program pangan sebagai konsekuensi dari tafsiran otoritas politik mengenai ancaman internal pertahanan dan keamanan. Kehidupan petani kembali berada pada subordinasi militer yang menjadi alat penguasa untuk menyukseskan peningkatan produksi pertanian melalui program Upsus Pajale.</p>2019-10-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2020 Jurnal PolGovhttps://jurnal.ugm.ac.id/polgov/article/view/60199Melawan Diam-Diam di Tengah Dominasi: Kajian Strategi Penerimaan Sosial Politik Kelompok Minoritas Syiah di Kabupaten Jember2020-09-28T14:36:01+07:00Fikri Disyacittafikridisyacitta@gmail.com<p class="Style5">Artikel ini bertujuan mengelaborasi bagaimana strategi gerakan sosial minoritas keagamaan Syiah dalam bentuk repertoir sehari-hari mendapatkan penerimaan sosial di bawah dominasi mayoritas warga NU (Sunni) di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Kasus yang didalami dalam artikel ini adalah aktivitas IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bayt Indonesia) di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Konsep contentious politics digunakan untuk memahami prakondisi bagi kemunculan IJABI Jember. Selanjutnya, konsep repertoir bermanfaat untuk menjelaskan apa saja upaya IJABI dalam menegaskan klaim keberadaan mereka di Jember. Artikel ini berargumentasi bahwa sempitnya struktur kesempatan politik mayoritas yang tidak mengizinkan nilai keyakinan yang dianggap menyimpang membuat gerakan Syiah mengalami tekanan dalam melakukan klaim teologis mereka. Respons terhadap hal ini dilakukan oleh IJABI berpartisipasi dalam kegiatan yang secara implisit dan halus dengan target diterima secara sosial. Bentuk kegiatannya berupa aksi filantropi tanggap bencana dan menyediakan jasa spiritual secara cuma-cuma bagi masyarakat. Menggunakan pendekatan dan teknik pengumpulan metode kualitatif, artikel berbasis pada data lapangan hasil wawancara mendalam dan observasi partisipan sepanjang bulan November 2014 – April 2015.</p>2019-10-30T00:00:00+07:00Copyright (c) 2020 Jurnal PolGovhttps://jurnal.ugm.ac.id/polgov/article/view/60204Ekonomi Politik Akses atas Lahan: Kontestasi atas “Negara” dalam Mega Proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE)2020-09-28T14:36:01+07:00Tadzkia Nurshafiratadzkia.nurshafira@mail.ugm.ac.id<p class="Style5">Artikel ini menganalisis prakondisi struktural dan diskursif yang menghambat dan/atau memungkinkan berbagai aktor mengakses—mendapatkan, mengontrol, dan mempertahankan —aliran keuntungan dari proyek MIFEE. Dengan menggunakan perspektif akses Ribot dan Peluso (2003) dan selektivitas strategis negara Jessop (1999), tulisan ini berargumen bahwa upaya untuk mendapatkan aliran keuntungan MIFEE di saat yang sama juga merupakan upaya untuk memperebutkan “negara”; atau untuk melakukan balance of power (keseimbangan kekuatan) yang kemudian terkondensasi menjadi sebuah selektivitas struktur dan memengaruhi strategi para aktor. Artikel ini mengadopsi perspektif yang spesifik terkait negara, bukan sebagai aktor otonom melainkan sebagai sebuah ruang kontestasi politik yang merupakan produk dari pertentangan dan relasi kuasa antara berbagai kelompok sosial di masyarakat. Dengan melihat negara sebagai struktur, tulisan ini menekankan dimensi agensi politik para aktor, terutama masyarakat lokal yang berupaya mentransformasi struktur tersebut agar memungkinkan mereka untuk mendapatkan akses yang berkelanjutan atas lahan dalam MIFEE. Analisis terkait akses ini mengkritik kajian yang bersifat esensialistik terkait negara kapitalis (capitalist state), dimana negara diasumsikan sebagai entitas homogen, statis, dan hanya alat perpanjangan tangan kapital untuk akumulasi profit. Padahal, negara adalah produk dari relasi antara struktur dan agensi: ia memiliki struktur dan logikanya sendiri yang selalu berubah seiring dengan kontestasi antara berbagai kekuatan sosial yang berupaya memperebutkan dan mendefinisikan negara.</p>2019-11-12T00:00:00+07:00Copyright (c) 2020 Jurnal PolGovhttps://jurnal.ugm.ac.id/polgov/article/view/60198Kontestasi Nilai-Nilai Asia dan Hak Asasi Manusia di Indonesia Tahun 1991-19992020-09-28T14:36:01+07:00Mahesti Hasanahmahesti.hasanah@mail.ugm.ac.id<p class="Style5">Tulisan ini mendiskusikan tentang kontestasi nilai-nilai Asia dan penegakan norma HAM di Indonesia tahun 1991-1999 pada masa akhir pemerintahan Soeharto dan awal pasca Reformasi. Saat itu, para pemimpin ASEAN termasuk Indonesia, gencar menggaungkan nilai-nilai Asia. Nilai Asia pada masa Soeharto mengedepankan gotong-royong dan mendiskreditkan hak individu; serta membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi melalui program Pancasila (P4). Penelitian ini menunjukkan keterkaitan bagaimana rezim otoritarian menggunakan nilai-nilai Asia dan norma HAM untuk tujuan politik. Hak sipil dan politik menjadi dasar norma HAM yang didengungkan masyarakat sipil dan dunia internasional untuk menekan pemerintah Indonesia. Perkembangan HAM tidak bisa dipisahkan dari wacana demokrasi. Hal ini dikarenakan norma demokrasi merupakan bagian integral dari realisasi HAM. Dengan menggunakan kerangka teoretis pilihan rasional, artikel ini berargumen bahwa pemimpin Indonesia menggunakan nilai-nilai Asia dan norma HAM sebagai instrumen dan tujuan politik. Tujuan artikel ini untuk menginvestigasi karakter otoritas pemerintah Orde Baru menggunakan nilai-nilai Asia dan norma HAM sebagai instrumen politik. Dari sisi metodologi, penelitian ini melihat kembali kajian literatur yang berargumen jika norma bersifat konstruktivis dan mampu membentuk identitas dan memengaruhi perilaku aktor. Berbeda dengan studi yang ada, pendekatan rasional dalam tulisan ini memberikan alternatif lain untuk melihat pemaknaan norma dalam perkembangan HAM di Indonesia.</p><p><em> </em></p>2019-12-20T00:00:00+07:00Copyright (c) 2020 Jurnal PolGovhttps://jurnal.ugm.ac.id/polgov/article/view/60197Berebut Kendali atas Tanah Baluwarti: Kontestasi Pemerintah Kota Surakarta dan Kasunanan Surakarta atas Tanah Kasultanan dalam Perspektif Game Theory2020-09-28T14:36:02+07:00Farida Ari Anggarawatifarida.ari.a@mail.ugm.ac.idPenelitian tentang konflik tanah keraton menggunakan pendekatan administratif, sosial, dan ekonomi. Konflik yang terjadi seakan memosisikan pemerintah memilliki kedudukan yang lebih tinggi daripada keraton. Berbagai kasus menunjukkan kebijakan resmi cenderung sangat jauh berbeda dari realitas sebenarnya, keraton masih menguasai tanah adatnya. Seharusnya, konflik tanah keraton dapat dilihat dari perspektif negara (institusi). Melihat, keraton secara historiografi adalah kerajaan yang berdaulat dengan kebudayaannya yang khas. Artikel ini membahas penguasaan tanah Baluwarti sebagai kontestasi antara negara lama dan negara baru dengan menggunakan <em>game theory</em> antara keraton Kasunanan dan pemerintah kota Surakarta. Relasi kedua negara dijelaskan sebagai aktor rasional yang bertindak sesuai strategi yang telah direncanakan secara maksimal untuk menguasai tanah Baluwarti. Metode penelitian berupa studi lapangan, wawancara interaktif, dari studi kepustakaan, berita media <em>online</em>, dan penelitian terdahulu. Ditemukan ada ketidakjelasan status tanah Baluwarti merupakan<em> </em>strategi yang dipakai kedua aktor untuk mengendalikan tanah Baluwarti. Pemerintah memilih berkonflik dengan keraton Kasunanan di luar tanah Baluwarti dan membuat citra keraton Kasunanan semakin menurun untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat Baluwarti. Sementara itu, Keraton Kasunanan bertahan dengan strateginya untuk tetap menguasai tanah Baluwarti dengan glorifikasi peraturan adatnya dan narasi-narasi jasa keraton Kasunanan kepada Indonesia.2020-09-28T13:31:44+07:00Copyright (c) 2020 Jurnal PolGov