PENJAMINAN PELAYANAN KESEHATAN, PERDEBATAN KURATIF VERSUS PREVENTIF, DAN KEADILAN GEOGRAFIS
Laksono Trisnantoro(1*)
(1) 
(*) Corresponding Author
Abstract
Pelayanan kesehatan gratis sampai ke rumah
sakit (RS) menjadi isu hangat yang diperdebatkan
oleh berbagai pihak. Menarik menyimak diskusi
mengenai pelayanan kesehatan gratis melalui berbagai
program penjaminan pemerintah pusat dan daerah.
Dalam editorial ini isu pelayanan kesehatan gratis
akan dibahas dengan perspektif pemerataan
pelayanan kesehatan. Ada pendapat yang
menyatakan tidak setuju pelayanan gratis karena akan
meningkatkan anggaran kuratif, sedangkan pelayanan
kesehatan preventif akan kekurangan dana. Pendapat
ini terutama berasal dari ahli kesehatan masyarakat.
Dalam menyikapi perdebatan ini dikhawatirkan
akan terjebak perdebatan yang kurang produktif karena
menekankan dikotomis antara pelayanan kesehatan
kuratif dan preventif. Kita sadar benar bahwa preventif
merupakan yang terbaik. Akan tetapi disadari pula
bahwa ada berbagai kondisi yang membutuhkan
penanganan medik, dan bahkan justru meningkat
ketika kemajuan teknologi berkembang pesat.
Sebagai gambaran, angka kecelakaan lalu lintas saat
ini meningkat tinggi. Kenapa celaka? Sepeda motor
semakin banyak, mesin kendaraan semakin besar,
dan ruas jalan relatif semakin sedikit. Korban
kecelakaan merupakan masalah kesehatan
masyarakat. Di samping itu, ada berbagai penyakit
yang memang ada dan sulit pencegahannya seperti
TB, Ca, diabetes, termasuk pula simptom seperti
hipertensi yang semakin banyak.
Perkembangan berbagai penyakit di masyarakat
tersebut membutuhkan penanganan medik.
Celakanya, tidak semua daerah yang ada sepeda
motornya (hanya sebagai ilustrasi) mempunyai tenaga
dokter bedah atau rumah sakit. Di Kabupaten Nias
yang merupakan daerah terpencil, sampai pada tahun
2007 tidak ada dokter bedah. Sementara itu jumlah
kendaraan bermotor meningkat tajam, jalan raya
diperhalus dengan aspal hot-mix. Akibatnya jumlah
kecelakaan meningkat, namun penanganan trauma
tidak cukup karena tidak ada dokter ahli bedah dan
ahli bedah tulang. Sementara itu di Kabupaten Sleman
di Yogyakarta, jumlah dokter bedah banyak. Dalam
konteks penyakit kardiovaskuler, tidak semua propinsi
mempunyai ahli jantung, atau tidak ada ahli anastesi.
Akibatnya mereka yang menderita penyakit jantung
akan kesulitan akses ke dokter. Apakah kita diam
saja kalau di sebuah kabupaten para korban
kecelakaan, penderita diabetes, penyakit jantung, dan
lain-lain tidak dapat ditangani sementara di Jawa atau
di berbagai tempat yang dekat dengan RS dan tenaga
kesehatan dapat mendapatkannya. Atau mutu
pelayanan RS yang merawat pasien TB ternyata
rendah, sehingga RS menjadi sumber penularan TB.
Sebagai negara kesatuan, situasi pelayanan
kesehatan yang berbeda ini memang sungguh buruk.
Ketidakadilan geografis di Indonesia saat ini
karena tidak adanya pemerataan tenaga dokter dan
tenaga kesehatan lain dikhawatirkan akan memburuk
dalam era Jamkesmas yang bertumpu pada dana
pemerintah pusat. Di Jakarta 1 spesialis melayani
sekitar 3000 orang, sementara di berbagai Propinsi
di luar Jawa melayani 47.000 orang (data KKI).
Keadaan ini membutuhkan pembangunan sektor
kuratif di Indonesia dalam konteks pemerataan
pelayanan kesehatan.
Dalam konteks pelayanan kesehatan gratis, jika
tidak ada usaha pemerataan tenaga dan fasilitas
kesehatan maka kebijakan penjaminan pelayanan
kesehatan dengan dana pemerintah pusat akan lebih
dinikmati mereka yang berada di dekat fasilitas tenaga
medik dan RS. Ini berarti dana akan tersedot ke kota
besar dan pula Jawa.
Bersamaan dengan program menggratiskan
pelayanan kesehatan ke semua lapisan masyarakat
dengan berbagai program penjaminan, ketimpangan
geografis ini perlu diperbaiki dulu. Di berbagai propinsi,
perlu ada penambahan dana untuk penambahan
fasilitas RS. Perlu penambahan tenaga dokter, dokter
spesialis, perawat serta fasilitasnya. Hal ini berarti
pendanaan pelayanan kuratif di Departemen
Kesehatan masih perlu ditingkatkan, terutama untuk
menyeimbangkan pelayanan kesehatan antar wilayah
di Indonesia. Memang benar bahwa anggaran preventif
perlu meningkat. Akan tetapi anggaran preventif dapat
juga berada di Departemen lain, misalnya Departemen
Pekerjaan Umum untuk infrastruktur air minum,
Departemen Pendidikan untuk mendidik hidup sehat;
Departemen Perhubungan untuk mengurangi emisi
gas buang, dan sebagainya. Patut dicatat
Departemen Kesehatan adalah satu-satunya
Departemen di kabinet yang mengurusi orang sakit.
Oleh karena itu, jangan sampai anggaran kuratif di
DepKes dikurangi. Anggaran kuratif masih dibutuhkan
untuk menyeimbangkan pemerataan tenaga medik
dan sarana pelayanan kesehatan.
Sudah saatnya ahli-ahli kesehatan masyarakat
mempunyai pandangan bahwa RS, tenaga kuratif
seperti dokter dan spesialis, merupakan bagian dari
sistem kesehatan masyarakat yang perlu dirancang
dan dikelola sebaik-baiknya secara terintegrasi
dengan aspek preventif dan promotifnya. Laksono
Trisnantoro (trisnantoro@yahoo.com)
sakit (RS) menjadi isu hangat yang diperdebatkan
oleh berbagai pihak. Menarik menyimak diskusi
mengenai pelayanan kesehatan gratis melalui berbagai
program penjaminan pemerintah pusat dan daerah.
Dalam editorial ini isu pelayanan kesehatan gratis
akan dibahas dengan perspektif pemerataan
pelayanan kesehatan. Ada pendapat yang
menyatakan tidak setuju pelayanan gratis karena akan
meningkatkan anggaran kuratif, sedangkan pelayanan
kesehatan preventif akan kekurangan dana. Pendapat
ini terutama berasal dari ahli kesehatan masyarakat.
Dalam menyikapi perdebatan ini dikhawatirkan
akan terjebak perdebatan yang kurang produktif karena
menekankan dikotomis antara pelayanan kesehatan
kuratif dan preventif. Kita sadar benar bahwa preventif
merupakan yang terbaik. Akan tetapi disadari pula
bahwa ada berbagai kondisi yang membutuhkan
penanganan medik, dan bahkan justru meningkat
ketika kemajuan teknologi berkembang pesat.
Sebagai gambaran, angka kecelakaan lalu lintas saat
ini meningkat tinggi. Kenapa celaka? Sepeda motor
semakin banyak, mesin kendaraan semakin besar,
dan ruas jalan relatif semakin sedikit. Korban
kecelakaan merupakan masalah kesehatan
masyarakat. Di samping itu, ada berbagai penyakit
yang memang ada dan sulit pencegahannya seperti
TB, Ca, diabetes, termasuk pula simptom seperti
hipertensi yang semakin banyak.
Perkembangan berbagai penyakit di masyarakat
tersebut membutuhkan penanganan medik.
Celakanya, tidak semua daerah yang ada sepeda
motornya (hanya sebagai ilustrasi) mempunyai tenaga
dokter bedah atau rumah sakit. Di Kabupaten Nias
yang merupakan daerah terpencil, sampai pada tahun
2007 tidak ada dokter bedah. Sementara itu jumlah
kendaraan bermotor meningkat tajam, jalan raya
diperhalus dengan aspal hot-mix. Akibatnya jumlah
kecelakaan meningkat, namun penanganan trauma
tidak cukup karena tidak ada dokter ahli bedah dan
ahli bedah tulang. Sementara itu di Kabupaten Sleman
di Yogyakarta, jumlah dokter bedah banyak. Dalam
konteks penyakit kardiovaskuler, tidak semua propinsi
mempunyai ahli jantung, atau tidak ada ahli anastesi.
Akibatnya mereka yang menderita penyakit jantung
akan kesulitan akses ke dokter. Apakah kita diam
saja kalau di sebuah kabupaten para korban
kecelakaan, penderita diabetes, penyakit jantung, dan
lain-lain tidak dapat ditangani sementara di Jawa atau
di berbagai tempat yang dekat dengan RS dan tenaga
kesehatan dapat mendapatkannya. Atau mutu
pelayanan RS yang merawat pasien TB ternyata
rendah, sehingga RS menjadi sumber penularan TB.
Sebagai negara kesatuan, situasi pelayanan
kesehatan yang berbeda ini memang sungguh buruk.
Ketidakadilan geografis di Indonesia saat ini
karena tidak adanya pemerataan tenaga dokter dan
tenaga kesehatan lain dikhawatirkan akan memburuk
dalam era Jamkesmas yang bertumpu pada dana
pemerintah pusat. Di Jakarta 1 spesialis melayani
sekitar 3000 orang, sementara di berbagai Propinsi
di luar Jawa melayani 47.000 orang (data KKI).
Keadaan ini membutuhkan pembangunan sektor
kuratif di Indonesia dalam konteks pemerataan
pelayanan kesehatan.
Dalam konteks pelayanan kesehatan gratis, jika
tidak ada usaha pemerataan tenaga dan fasilitas
kesehatan maka kebijakan penjaminan pelayanan
kesehatan dengan dana pemerintah pusat akan lebih
dinikmati mereka yang berada di dekat fasilitas tenaga
medik dan RS. Ini berarti dana akan tersedot ke kota
besar dan pula Jawa.
Bersamaan dengan program menggratiskan
pelayanan kesehatan ke semua lapisan masyarakat
dengan berbagai program penjaminan, ketimpangan
geografis ini perlu diperbaiki dulu. Di berbagai propinsi,
perlu ada penambahan dana untuk penambahan
fasilitas RS. Perlu penambahan tenaga dokter, dokter
spesialis, perawat serta fasilitasnya. Hal ini berarti
pendanaan pelayanan kuratif di Departemen
Kesehatan masih perlu ditingkatkan, terutama untuk
menyeimbangkan pelayanan kesehatan antar wilayah
di Indonesia. Memang benar bahwa anggaran preventif
perlu meningkat. Akan tetapi anggaran preventif dapat
juga berada di Departemen lain, misalnya Departemen
Pekerjaan Umum untuk infrastruktur air minum,
Departemen Pendidikan untuk mendidik hidup sehat;
Departemen Perhubungan untuk mengurangi emisi
gas buang, dan sebagainya. Patut dicatat
Departemen Kesehatan adalah satu-satunya
Departemen di kabinet yang mengurusi orang sakit.
Oleh karena itu, jangan sampai anggaran kuratif di
DepKes dikurangi. Anggaran kuratif masih dibutuhkan
untuk menyeimbangkan pemerataan tenaga medik
dan sarana pelayanan kesehatan.
Sudah saatnya ahli-ahli kesehatan masyarakat
mempunyai pandangan bahwa RS, tenaga kuratif
seperti dokter dan spesialis, merupakan bagian dari
sistem kesehatan masyarakat yang perlu dirancang
dan dikelola sebaik-baiknya secara terintegrasi
dengan aspek preventif dan promotifnya. Laksono
Trisnantoro (trisnantoro@yahoo.com)
Full Text:
PDF (Bahasa Indonesia)DOI: https://doi.org/10.22146/jmpk.v11i03.2682
Article Metrics
Abstract views : 2212 | views : 1205Refbacks
- There are currently no refbacks.