2024-03-29T07:11:32Z
https://journal.ugm.ac.id/index/oai
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/602
2016-08-04T05:01:12Z
jurnal-humaniora:ART
Pengayaan Budaya Nasional dalam Proses Transformasi
Suhartono, Suhartono
Melalui catatan kecil ini akan dikemukakan dialog yang tidak kalah pentingnya dengan dialog yang akhir-akhir ini banyak dimediamasakan khususnya yang berhubungan dengan IPTEK. Bukan semata-mata pengajuan judul dengan tema budaya atau kebudayaan yang ada dalam lingkup ilmu humaniora itu menjadi warga kelas dua dalam jajaran ilmu pengetahuan di Indonesia setelah IPTEK, akan tetapi lebih menempatkan pada proporsi yang sebenarnya dimana kedudukan budaya nasional khususnya dalam PJP II.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-07-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/602
10.22146/jh.602
Humaniora; Vol 10, No 1 (1998); 1-7
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/602/392
Copyright (c) 2012 Suhartono Suhartono
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/603
2016-08-04T05:01:12Z
jurnal-humaniora:ART
Oral History Versus Oral Tradition
Padmo, Soegijanto
When in 1974, a religious teacher tried to reopen a religious school in Kedung Turi Village, Plasa Sub-District which had been in operation in the northern area since the mid of the 19th century. Since there is no relation in many respects between the newly emerged kyai in Kedung Turi and the relatively settled-down older kyais of southern part, namely in Tebuirang, Tambakberas, and the surrounding villages, they declared that the kyai of Kedung Turi is not a genuine kyai. In this paper, an attempt is made to discover why the Kedung Turi religious school is considered as not a genuine pesantren and the kyai is not a genuine kyai and how it developed within period of relatively in relatively short period of time has been attracting so many followers.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-07-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/603
10.22146/jh.603
Humaniora; Vol 10, No 1 (1998); 8-12
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/603/393
Copyright (c) 2012 Soegijanto Padmo
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/604
2016-08-04T05:01:12Z
jurnal-humaniora:ART
The Economic Integration of Different Ecological Zones in Southern Sumatra in the Late Colonial Period
Purwanto, Bambang
So far, the development of southern Sumatra has been explained by its integration into the world market. This view ignores the local ecological conditions, that offer opportunities of the world market. This article therefore gives an overview of the local ecological situation and the changing ways the people exploited their environment.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-07-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/604
10.22146/jh.604
Humaniora; Vol 10, No 1 (1998); 13-23
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/604/394
Copyright (c) 2012 Bambang Purwanto
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/605
2016-08-04T05:01:12Z
jurnal-humaniora:ART
Beberapa Paradigma Diakronis dalam Arkeologi Pemukiman
Ahimsa-Putra, Heddy Shri
Kesadaran tentang makna strategis studi pola pemukiman secara arkeologis, serta upaya untuk mengatasi kelemahan model sistemik dalam studi tersebut agar arkeologi lebih mampu mengungkapkan dan menjelaskan berbagai perubahan dalam masyarakat-masyarakat kuno melalui studi pola pemukimannya, telah mendorong para ahli arkeologi mengembangkan berbagai paradigma baru yang lebih diakronis sifatnya. Hasil studi dengan paradigma semacam ini biasanya berupa uraian tentang perubahan yang telah terjadi dalam masyarakat yang diteliti, prosesnya, serta berbagai macam dampaknya terhadap aspek-aspek sosial-budaya lainnya. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya menjadi tampak lebih dinamis, dengan rentang waktu yang lebih panjang pula. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa paradigma diakronis lebih baik dari paradigma sinkronis.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-07-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/605
10.22146/jh.605
Humaniora; Vol 10, No 1 (1998); 24-34
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/605/395
Copyright (c) 2012 Heddy Shri Ahimsa-Putra
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/606
2016-08-04T05:01:12Z
jurnal-humaniora:ART
Wanita dan Pertanian (Suatu Tinjauan Berwawasan “Gender”)
MRS, Tuty Gandarsih
Di Indonesia sektor pertanian pada saat ini dan di masa mendatang masih akan menjadi tempat bertumpu angkatan kerja wanita, akan tetapi secara proporsional ada kecenderungan menurun. Bila pada tahun 1971, 64,7% angkatan wanita bekerja di sektor pertanian, maka pada tahun 1985, presentasenya menurun menjadi 53,7%. Hal ini terjadi karena tendensi maskulinisasi sektor pertanian sebagai akibat penerapan teknologi pertanian yang baru (Moeljarto, 1996:6).
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-07-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/606
10.22146/jh.606
Humaniora; Vol 10, No 1 (1998); 35-41
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/606/396
Copyright (c) 2012 Tuty Gandarsih MRS
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/607
2016-08-04T05:01:12Z
jurnal-humaniora:ART
Semiotika: Teori, Metode, dan Penerapannya
Pradopo, Rachmat Djoko
Makhluk hidup, khususnya manusia, untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan hidupnya, perlu berhubungan dengan makhluk atau manusia lainnya. Untuk berkomunikasi atau berhubungan itu perlu sarana komunikasi yang dapat dimengerti oleh manusia lainnya. Oleh karena itu, manusia menciptakan tanda-tanda yang saling dimengerti. Tanda-tanda itu berupa tanda-tanda yang dapat diindera oleh manusia, baik tanda berupa bunyi, tanda visual yang dapat dilihat, tanda yang dapat diraba, dirasakan, atau bahkan dapat dicium baunya. Tanda-tanda itu mulai dari yang sederhana sampai kepada yang makin lama makin ruwet. Tentu saja, manusia menciptakan tanda-tanda itu dengan sistem atau aturan-aturan tertentu yang saling dipahami. Karena manusia itu makhluk sosial, maka fenomena sosial dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda dengan sistemnya yang dimengerti bersama.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-07-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/607
10.22146/jh.607
Humaniora; Vol 10, No 1 (1998); 42-48
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/607/397
Copyright (c) 2012 Rachmat Djoko Pradopo
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/608
2016-08-04T05:01:12Z
jurnal-humaniora:ART
The Prairie and Deliverance: A Futile Search for a “Paradise Regained”
Muhni, Djuhertati Imam
Through the fall of Adam and Eve, paradise was lost to human beings; the striving for its recovery never ends. The dream for a "paradise on earth" is a universal phenomenon which attracks writers. In this short essay I would attempt to show how two American novelists of different generations depict the futile effort to regain the lost paradise in this world. James Fenimore Cooper who wrotr The Prairie was born in the nineteenth century whereas James Dickey the writer of Deliverance was born in tyhe twentieth, yet both novelists deal with the tragic relationship between the ideal and the real. In their Respective novels, The Prairie and Deliverance, both James Fenimore Cooper and James Dickey describe humankind's futile search for a paradise regained. Both are bitter books, in the sense that the protagonists in each find out that wahat they are striving for is only an empty dream.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-07-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/608
10.22146/jh.608
Humaniora; Vol 10, No 1 (1998); 49-52
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/608/398
Copyright (c) 2012 Djuhertati Imam Muhni
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/609
2016-08-04T05:01:12Z
jurnal-humaniora:ART
Kebebasan dan Ketidakbebasan dalam Cerita Pendek “Tembok” Karya Jean-Paul Sartre Kajian Sosiologi – Hegemonis
Udasmoro, Wening
Le Mur, atau dalam hal ini diterjemahkan dengan "Tembok" adalah cerita pendek karya seorang sastrawan sekaligus filsuf Prancis yang terkenal dengan perenungannya tentang eksistensialisme yaitu Jean-Paul Sartre. "Tembok" menjadi penyekat dua ruang sosiologis seperti yang telah dijelaskan dalam teori Karl Marx. Cerita ini berlatar kehidupan Spanyol sekitar tahun 30-an. Tokoh-tokoh yang bermain dalam cerita ini mewakili kelompok anarki dan kelompok militer.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-07-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/609
10.22146/jh.609
Humaniora; Vol 10, No 1 (1998); 53-59
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/609/399
Copyright (c) 2012 Wening Udasmoro
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/610
2016-08-04T05:01:12Z
jurnal-humaniora:ART
Proses Komunikasi Teks: Studi Kasus Teks-Stiker-Plesetan
Sugihastuti, Sugihastuti
Melihat teks (kata dan kalimat)-nya, stiker plesetan menunjukkan kategori beraneka. Ada diantaranya berteks "baku", "standar", kata dan kalimatnya tidak diplesetkan, misalnya ojo dumeh. Akan tetapi, sebagian besar di antaranya adalah teks yang menyimpang dari konvensi.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-07-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/610
10.22146/jh.610
Humaniora; Vol 10, No 1 (1998); 60-67
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/610/400
Copyright (c) 2012 Sugihastuti Sugihastuti
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/611
2016-08-04T05:01:12Z
jurnal-humaniora:ART
Estetika Sinema Elektronik dalam Kasus Narasi Si Doel Anak Sekolahan
Madiyant, Muslikh
Menyetarakan film dan narasi sebagai suatu pasangan, pada mulanya tidaklah jelas asal usulnya (Jaques Aumont, 1983) sebab ketika diketemukan kali pertama, film tidak begitu saja secara masif naratif. Film sebagai perangkat, pada mulanya, lebih cenderung memainkan penyelidikan ilmiah, memainkan perangkat pelaporan atau dokumentasi, perpanjangan lukisan, atau bahkan sekadar tontonan. Dalam kata lain, seni film pada awalnya lebih diterima sebagai alat perekam yang tidak ditujukan untuk menuturkan cerita dengan cara-cara spesifik.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-07-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/611
10.22146/jh.611
Humaniora; Vol 10, No 1 (1998); 68-75
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/611/401
Copyright (c) 2012 Muslikh Madiyant
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/612
2016-08-04T05:01:12Z
jurnal-humaniora:ART
Morfem Tindakan Bahasa Jawa dalam Perbandingan dengan Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah yang Lain
Marsono, Marsono
Keadaan kebahasaan di Indonesia, di samping bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, terdapat tidak kurang dari 418 bahasa Daerah (Ahmad Banta, 1972:7). Bahasa-bahasa itu serumpun (Kementrian Pengadjaran Pendidikan dan Keboedajaan, 1946:88-102). Dalam bahasa-bahasa itu banyak morfem, leksem, dan kosa kata yang bentuknya mirip atau bahkan sama. Morfem, leksem, dan kosa kata yang mirip atau sama itu, di antaranya ialah morfem, leksem, atau kosa kata yang menyatakan tindakan, keadaan, hal, pelaku, tempat, kala-aspek, dan yang menyatakan bilangan (Marsono, 1989). Seberapa jauh kaitan kemiripan atau kesamaan morfem, leksem, dan kosa kata dalam bahasa-bahasa itu belum banyak diamati oleh para ahli.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-07-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/612
10.22146/jh.612
Humaniora; Vol 10, No 1 (1998); 76-81
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/612/402
Copyright (c) 2012 Marsono Marsono
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/613
2016-08-04T05:01:12Z
jurnal-humaniora:ART
Pendekatan Interdisipliner dalam Studi Amerika
Adi, Ida Rochani
Berbagai pertentangan tentang Studi Amerika sebagai suatu disiplin ilmu pada umumnya muncul di sekitar masalah apakah Studi Amerika mempunyai teori dan metode yang jelas. Sebagai disiplin ilmu, seharusnya Studi Amerika mempunyai teori dan metode. Akan tetapi, dengan nama disiplin yang memuat nama bangsa, istilah Studi Amerika menimbulkan pertanyaan kenapa disiplin itu menunjuk nama bangsa tidak seperti disiplin yang lain yang namanya menunjukkan sesuatu yang bersifat umum. Oleh karenanya, teori dan metode Studi Amerika sering dianggap terlalu provincial dan chauvinistic (Huber, 1968).
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-07-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/613
10.22146/jh.613
Humaniora; Vol 10, No 1 (1998); 82-85
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/613/403
Copyright (c) 2012 Ida Rochani Adi
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/618
2016-08-04T05:01:00Z
jurnal-humaniora:ART
BEBERAPA HAL TENTANG KAJIAN SEJARAH SOSIAL-EKONOMI INDONESIA: SEBUAH SURVAI
Padmo, Soegijanto
Sampai dengan awal kemerdekaan Indonesia, buku-buku tentang sejarah Indonesia pada umumnya ditulis oleh penulis bangsa Belanda (misalnya karya Eijkman dan Stapel, 1933 ; Fruin-Mees, 1922). Para penulis karya tersebut pada umumnya berpandangan Neerlando-sentris . Oleh karena itu, uraian yang dihasilkan adalah semata-mata menceritakan petualangan bangsa Eropa, khususnya bangsa Belanda, di dunia Timur . Sangat sedikit cerita tentang bangsa Timur dijumpai dalam karya tersebut. Apabila ada cerita tentang bangsa Timur itu, hal itu karena keterlibatannya dengan kepentingan bangsa Eropa, balk sebagai pembantu yang balk maupun musuh mereka dalam berpetualang . Namun, satu karya monumental yang lain dari tema yang lazim pada waktu itu ialah karya Van Leur (1955), yang menempatkan peranan penting masyarakat pedagang di Asia Tenggara dalam kegiatan ekonomi sejak sebelum kedatangan bangsa Eropa.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-07-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/618
10.22146/jh.618
Humaniora; Vol 11, No 1 (1999); 9-15
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/618/405
Copyright (c) 2012 Soegijanto Padmo
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/620
2016-08-04T05:01:00Z
jurnal-humaniora:ART
THE RELATIONSHIP BETWEEN SYSTEM OF CLASSIFICATION, SELECTION OF SYMBOLS, AND SYSTEM OF PROHIBITIONS
Soehardi, Soehardi
every society, whether it is simple or conplex, we always find some systems of classification . The basic type of classification is dichotomous partition, i .e . all things in the human and natural world are split into two groups, such as moieties, binary opposition of good and evil in Java or yin-yang in China . Concomittant with the basic classification, in some societies we might still find other classification of triadic categories, of four-sections, of five-classes, of seven -groups, and of nine-divisions . The preliminary purpose of classification is to simplify all things in the human environment.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-07-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/620
10.22146/jh.620
Humaniora; Vol 11, No 1 (1999); 16-24
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/620/406
Copyright (c) 2012 Soehardi Soehardi
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/621
2016-08-04T05:01:00Z
jurnal-humaniora:ART
DINAMIKA KEBUDAYAAN LOGAM DI ASIA TENGGARA PADA MASA PALEOMETALIK : TINJAUAN ARKEOMETALURGIS
Haryono, Timbul
Pada sebuah cologium yang diselenggarakan di School of Oriental and African Studies, London, pada sekitar September 1973, salah seorang penyaji makalah mempertanyakan apakah wilayah Asia Tenggara (daratan) pada milenia ke-2 SM dianggap sebagai Silabhmi atau Samrddhabhumi (Bayard, 1979:15-32) . la mengeluhkan pendapat beberapa sarjana yang mengatakan bahwa peranan wilayah Asia Tenggara selama masa prasejarah sangat kecil karena dianggap sebagai wilayah yang masih terbelakang.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-07-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/621
10.22146/jh.621
Humaniora; Vol 11, No 1 (1999); 25-31
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/621/407
Copyright (c) 2012 Timbul Haryono
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/622
2016-08-04T05:01:00Z
jurnal-humaniora:ART
FUNGSI DAN PERANAN BAHASA INDONESIA DALAM MENYIAPKAN SUMBER DAYA MANUSIA DI ERA KESEJAGATAN
Wijana, I Dewa Putu
Era kesejagatan atau globalisasi ada- Iah era keterbukaan dan persaingan bebas. Dalam masa ini semua informasi dengan kecanggihan teknologi dapat diakses secara transparan . Apa yang sudah, sedang, dan akan terjadi di suatu negara, pada saat itu pula dapat diketahui oleh orang-orang di negara-negara yang lain . Hanya saja, kemampuan suatu negara untuk mengakses, dan memanfaatkan informasi- informasi itu sangat bergantung pada banyak faktor . Satu di antaranya adalah kualitas sumber daya manusia yang dimilikinya, yakni kualitas orang-orang yang berada di belakang teknologi canggih itu . Semakin tinggi kualitas sumber daya manusia, semakin besar pula daya aksesnya, dan produk yang dihasilkan semakin besar pula daya saingnya di pasar global . Demikian pula sebaliknya . Berbicara tentang kualitas sumber daya manusia Indonesia saat ini, janganlah dahulu mereka dibandingkan dengan yang ada di negara-negara maju, seperti Jepang, Eropa, Amerika, dan Australia, dengan yang ada di negaranegara tetangga Malaysia, Thailand, dan Filipina saja kepunyaan kita masih berada di bawahnya. Masalahnya sekarang bagaimanakah kita harus mempersiapkan sumber daya manusia kita dalam upaya mempersempit kesenjangan itu sehingga era kesejagatan bukan merupakan sesuatu yang menakutkan, tetapi sesuatu yang penuh tantangan dan membawa harapan (Abdullah, 1998).
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-07-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/622
10.22146/jh.622
Humaniora; Vol 11, No 1 (1999); 32-36
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/622/408
Copyright (c) 2012 I Dewa Putu Wijana
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/623
2016-08-04T05:01:00Z
jurnal-humaniora:ART
PENGARUH PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI TERHADAP LEKSIKOGRAFI ARAB
Hadi, Syamsul
Tulisan ini membahas pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) terhadap leksikografi Arab . Kendatipun terfokuskan pada bahasa Arab, karena bahasa Arab itu dipelajari di berbagai negara lewat berbagai lembaga pendidikan, termasuk di perguruan tinggi di Indonesia, pengaruh tersebut dapat dihayati pula oleh para peneliti maupun pecinta dan pemakai bahasa Arab di negeri ini . Pembahasan diharapkan memberikan beberapa informasi, yakni (a) khazanah perkamusan Arab, (b) informasi mutakhir mengenai adanya kecenderungan baru dalam penyusunan entri dalam leksikografi Arab, dan (c) penyerapan kata serta istilah asing dalam bahasa Arab.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-07-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/623
10.22146/jh.623
Humaniora; Vol 11, No 1 (1999); 37-48
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/623/409
Copyright (c) 2012 Syamsul Hadi
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/624
2016-08-04T05:01:00Z
jurnal-humaniora:ART
BAHASA, SIMBOL, DAN RELIGI
Supriyadi, Supriyadi
Manusia sering disebut sebagai makhluk sosial, makhluk berakal, makhluk berseni, dan sebagainya. Tulisan ini secara tidak langsung membicarakan manusia sebagai makhluk berbahasa, bersimbol, dan bereligi . Meskipun demikian, titik tolaknya bukan pada manusia itu sendiri, tetapi pada bahasa, simbol, dan religinya, terutama pada hubungan di antara ketiganya . Hubungan antara bahasa dan simbol tidak diragukan lagi karena bahasa merupakan jenis simbol . Demikian juga hubungan antara simbol dengan religi ; pada umumnya simbol dipakai dalam religi untuk mengonkretkan dan mendekatkan Yang Disimbolkan dengan manusia . Bahasa sebagai alat komunikasi juga dipakai dalam religi, misalnya dalam wujud doa, mantera, kitab suci, dan sebagainya.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-07-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/624
10.22146/jh.624
Humaniora; Vol 11, No 1 (1999); 49-55
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/624/410
Copyright (c) 2012 Supriyadi Supriyadi
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/625
2016-08-04T05:01:00Z
jurnal-humaniora:ART
FONEM VOKAL BAHASA JAWA KUNA DAN ALOFON-ALOFONNYA
Marsono, Marsono
Bahasa Jawa Kuna seperti bahasa yang lain mempunyai sistem bunyi dan fonem sendiri. Fonem vokalnya berjumlah 10 buah, yaitu: A, i, u, u, e, 6, 6, o, a, a/ Kesepu/uh fonem vokal itu dapat berdistribusi pada awal, tengah, dan akhir kata. Alofon sebagai realisasi fonem, perwujudannya ditentukan oleh distribusi lingkungannya. Dalam distribusi suku kata terbuka dengan suku kata tertutup kadangkadang alofonnya sexing tidak sama.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-07-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/625
10.22146/jh.625
Humaniora; Vol 11, No 1 (1999); 56-62
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/625/411
Copyright (c) 2012 Marsono Marsono
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/626
2016-08-04T05:01:00Z
jurnal-humaniora:ART
SUBORDINASI PEREMPUAN DALAM BAHASA PRANCIS
Napitupulu, Cartalyna
Perbedaan dan pembagian gender tidak hanya merupakan permasalahan dalam biologi, tetapi juga berhubungan dengan bahasa . Biologi membedakan makhluk manusia atas pria dan wanita dan sistem sosial pun memandang kedua kelompok ini dengan cara yang berbeda. Berhubung bahasa berhubungan erat dengan masyarakat pemakai bahasa, yakni bahasa sebagai alat komunikasi dan hasil budaya manusia, cara pandang masyarakat terhadap adanya perbedaaan gender dapat terpancar dalam sistem tata bahasa dan unsur bahasa . Perubahan sosial juga mengakibatkan perubahan bahasa, artinya perubahan sosial tercermin dalam perubahan bahasa.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-07-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/626
10.22146/jh.626
Humaniora; Vol 11, No 1 (1999); 63-68
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/626/412
Copyright (c) 2012 Cartalyna Napitupulu
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/627
2016-08-04T05:01:00Z
jurnal-humaniora:ART
DARI LEKSIKOSTATISTIK KE GLOTOKRONOLOGI : ANALISIS SEMBILAN BAHASA DI INDONESIA
Suyata, Pujiati
Di Indonesia, selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, terdapat pula beratus-ratus bahasa daerah yang digunakan sebagai alat komunikasi intrakelompok, yang dijaga keberadaannya, dilindungi, dan dihormati . Bahasa-bahasa tersebut termasuk ke dalam satu kerabat bahasa, yaitu Austronesia (Blust, 1977 : 1- 15). Hubungan bahasa-bahasa sekerabat ternyata tidak sama dekat antara satu bahasa dengan yang lain, ada yang lebih dekat atau yang Iebih jauh . Pengelompokan bahasa sekerabat menurut dekat dan jauhnya hubungan itu disebut dengan subgruping (Blust, 1977 : 1-15). Demikian juga, hubungan bahasa yang terjadi pada sembilan bahasa di Indonesia, seperti bahasa Batak, Minangkabau, Melayu, Sunda, Jawa, Madura, Banjar, Bali, dan Bugis yang termasuk kerabat bahasa Melayu-Polinesia Barat . Bahasa-bahasa itu merupakan bahasa-bahasa di Indonesia yang terbanyak pemakainya, yang penting untuk diketahui secara mendalam segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa-bahasa tersebut.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-07-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/627
10.22146/jh.627
Humaniora; Vol 11, No 1 (1999); 69-75
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/627/413
Copyright (c) 2012 Pujiati Suyata
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/628
2016-08-04T05:01:00Z
jurnal-humaniora:ART
SEMIOTIKA: TEORI, METODE, DAN PENERAPANNYA DALAM PEMAKNAAN SASTRA
Pradopo, Rachmat Djoko
Semiotika, ilmu tentang tanda-tanda, sudah lahir pada akhir abad ke-1 9 dan awal abad ke-20 . Akan tetapi, ilmu ini baru berkembang mulai pada pertengahan abad ke-20 . Meskipun pada akhir abad ke- 20, dalam bidang penelitian sastra, sudah ada teori-teoti sastra yang baru seperti sosiologi sastra, teori dan kritik feminis, dekonstruksi, dan estetika resepsi, tetapi semiotika menduduki posisi dominan dalam penelitian sastra . Perlu dikemukakan di sini bahwa teori dan metode semiotika tidak dapat dipisahkan dengan teori strukturalisme karena seperti dikemukakan oleh Junus (1981 :17) bahwa semiotika itu merupakan lanjutan strukturalisme. Karena pentingnya semiotika dalam pemaknaan karya sastra, di sini, diuraikan teori, metode, dan penerapan semiotika dalam pemaknaan sastra secara ringkas dan garis besamya saja . Dalam uraian ini dipergunakan teori dan metode semiotika Michael Riffaterre dalam bukunya Semiotics of Poetry (1978). Akan tetapi, dalam uraian ini sedikit dimodifikasi, tidak hanya diterapkan pada puisi (sajak), tetapi diperluas penerapannya pada karya 6ksi (novel) . Sebelum dilakukan penerapannya, periu lebih dahulu diuraikan teori dan metode semiotika secara umum.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-07-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/628
10.22146/jh.628
Humaniora; Vol 11, No 1 (1999); 76-84
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/628/414
Copyright (c) 2012 Rachmat Djoko Pradopo
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/629
2016-08-04T05:01:00Z
jurnal-humaniora:ART
SASTRA DAN PERUBAHAN SOSIAL : STUDI KASUS SAMAN KARYA AYU UTAMI
Sugihastuti, Sugihastuti
Kehadiran karya sastra tidak dapat dilepaskan dengan fenomena sosial budaya yang lain, seperti politik, ekonomi, agama, dan sebagainya . Dalam proses kelahiran karya sastra, baik sastra Indonesia maupun sastra Iainnya, terjadi saling keterkaitan antara penciptaan sastra dengan fenomena kehidupan masyarakatnya. Dalam arts lebih lanjut, tidak pernah terjadi keajegan dalarn penciptaan sastra, tetapi senantiasa berubah dan berkembang sejalan dengan perubahan dan perkembangan serta dinamika kehidupan masyarakat pendukungnya (Hiski Komda DIY, 1998). Kata 'sastra' dan 'perubahan sosial' mengasosiasikan kita kepada sintaksis fiksi dan nonfiksi (Iihat Zoest, 1990) . Saman sebagai studi kasus pada tulisan ini mengindikasikan sintaksis fiksi . Maatje (1977) menyebutnya indikasi fiksional dan istilah inilah yang juga digunakan oleh Zoest . Indikasi fiksional Saman terlihat pada, antara lain, sampul yang memuat tulisan "Pemenang Sayembara Roman 1998". Kecuali itu, berlaku juga indikasi fiksional judul . Judul Saman tidak lain daripada sebutan, seperti nama yang diberikan kepada manusia: sebuah indeks yang memungkinkan identifikasi . Untuk karya ini, judul Saman, sekalipun tidak terlalu dituntut untuk berperan sebagai indikasi buku, tetap menunjukkan diri sebagai indikasi fiksional.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-07-04
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/629
10.22146/jh.629
Humaniora; Vol 11, No 1 (1999); 85-90
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/629/415
Copyright (c) 2012 Sugihastuti Sugihastuti
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/630
2016-08-04T05:01:00Z
jurnal-humaniora:ART
KESADARAN MITIS SENO "DALANG GELAP" YANG MENGENDALIKAN CERITA
Salam, Aprinus
Beberapa tahun terakhir in' cerpencerpen Seno Gumira Ajidarma (se- .Ianjutnya disebut Seno) sangat mencuri perhatian para peneliti sastra . Sebagai cerpenis, Seno bukan hanya mampu menjaga produktivitas, melainkan is juga mampu menjaga kualitas cerpen-cerpennya. Pada tahun 1992 Seno pernah menjadi cerpenis terbaik versi Kompas . Sejumlah cerpennya telah terkumpul dalam beberapa antologi yaitu Manusia Kamar (1988), Penembak Misterius (1993), Saksi Mata (1994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1996), Negeri Kabut (1996), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), dan Jazz, Parfum, dan Insiden (1996) . Tulisan ini mengidentifikasi "dalang" yang menggerakkan ke arah mana cerpen-cerpen Seno menemukan penyelesaiannya . Meskipun demikian, tulisan ini hanya membahas cerpennya yang terkumpul dalam Manusia Kamar (1988) dan Penembak Misterius (1993).
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-07-04
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/630
10.22146/jh.630
Humaniora; Vol 11, No 1 (1999); 91-101
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/630/416
Copyright (c) 2012 Aprinus Salam
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/631
2016-08-04T05:01:00Z
jurnal-humaniora:ART
TASAWUF DAN SASTRA TASAWUF DALAM KEHIDUPAN PESANTREN
Manshur, Fadlil Munawwar
Ajaran Islam yang paling dekat dengan sastra adalah tasawuf. Tasawuf menuntun, mengarahkan, dan membimbing umat manusia dalam semesta kehidupan yang mengutamakan kedekatan dan kemesraan makhluk dengan AI-Khaliq . Hubungan makhluk-Al-Khaliq itu diungkapkan oleh manusia melalui sarana bahasa dan perilaku kemakhlukannya . Melalui sarana bahasa, manusia dapat mengekspresikan ketakutan, kecemburuan, dan kemesraannya kepada AI-Khaliq dengan untaian kalimat yang indah dan mempesona . Melalui sarana perilaku, manusia dapat menunjukkan ketundukan dan kerendahannya di hadapan AI-Khaliq . Sarana-sarana hubungan manusia dengan Tuhan itulah yang dapat diekspresikan dengan entitas sastra . Istilah sastra tasawuf pada hakikatnya adalah sastra Islam karena tasawuf merupakan bagian kecil dari ajaran Islam, atau disebut juga sastra kitab karena dalam tradisi keilmuan Islam banyak ajaran Islam yang ditulis dalam kitab-kitab . Bisa juga sastra tasawuf disebut sastra pesantren karena santri-santri di pesantren banyak yang mengamalkan ajaran tasawuf melalui tarekat- tarekat . Jadi, tasawuf clan sastra tasawuf merupakan dua entitas yang berbeda, yang dalam kehidupan pesantren dua entias itu dipelajari dan diresepsi oleh para santri.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-07-04
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/631
10.22146/jh.631
Humaniora; Vol 11, No 1 (1999); 102-109
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/631/417
Copyright (c) 2012 Fadlil Munawwar Manshur
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/632
2016-08-04T05:01:00Z
jurnal-humaniora:ART
PENYAJIAN DAN INTERPRETASI TEKS SASTRA INDONESIA KLASIK KHUSUSNYA NASKAH-NASKAH JAWI DAN NASKAH BERBAHASA ARAB
Sangidu, Sangidu
Karya-karya sastra Indonesia terdiri ri karya sastra lisan dan karya stra tulis . Karya sastra tulis terdiri dan dua bentuk, yaitu karya sastra tulis yang berbentuk tulisan tangan dan karya sastra tulis yang berbentuk cetakan . Karya sastra yang berbentuk tulisan tangan atau teks tulisan tangan (Ing . Manuscript dengan singkatan ms untuk tunggal dan mss untuk jamak; Bld. Handscrift dengan singkatan hs untuk tunggal dan hss untuk jamak) sexing disebut sebagai karya sastra Indonesia klasik atau lama atau tradisional . Adapun karya tulis yang berbentuk cetakan atau teks tulisan cetakan sering disebut sebagai karya sastra Indonesia modem (Baroroh-Baried dkk ., 1994 :55) . Karya sastra Indonesia modem memiliki beberapa keuntungan . Keuntungan yang dimaksud antara lain adalah memungkinkan penyebaran teks tersebut secara Was sehingga dapat dikonsumsi oleh masyarakat pembaca secara Was pula . Selain itu, dilihat dad bentuk fsik dan penampilan karya seperti sampul yang cerah dan menarik, cetakan yang bagus dan segar, dan kertasnya yang berkualitas merupakan sarana yang sangat penting untuk menyajikan isi naskah sehingga dapat mempengaruhi sikap pembaca ke arah proses pembacaan (Robson, 1994:11)
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-07-04
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/632
10.22146/jh.632
Humaniora; Vol 11, No 1 (1999); 110-120
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/632/418
Copyright (c) 2012 Sangidu Sangidu
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/636
2016-08-04T05:00:50Z
jurnal-humaniora:ART
JENIS KODE DAN FUNGSI KODE DALAM WACANA KHOTBAH JUMAT: STUDI KASUS EMPAT MASJID DI YOGYAKARTA
Ma'ruf, Amir
Istilah wacana yang bagi ilmuwan sosial lainnya sering disebut diskursus (Oetomo, 1993: 3) muncul di Indonesia dari istilah Inggris discourse sekitar tahun 1970-an (Djajasudarma, 1994 :1) . Istilah wacana dipahami sebagai suatu unit bahasa yang lebih Iuas daripada kalimat yang membawa amanat yang lengkap . Lengkap dalam arti selesai dan bermakna (Ma'ruf, 1999:23) . Khotbah Jumat dikatakan sebagai wacana karena khothah Jumat merupakan tuturan khatib yang disampaikan sebelum salat Jumat di masjid atau suatu tempat yang digunakan sebagai masjid untuk mengajak jamaahnya agar senantiasa bertakwa kepada Allah swt. Dalam penyampaian khotbah Jumat itu digunakan kode-kode . Kode (code) yang berarti tanda (Echols, J.M. et al. 1995: 122) bukanlah tanda atau isyarat gerak-gerik sekitar kepala, anggota tubuh, serta isyarat benda lainnya yang digunakan untuk berkomunikasi, tetapi merupakan tanda (kata-kata, tulisan) yang disepakati untuk maksud-maksud tertentu (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1996:510). Dalam hal ini Pateda (1987 : 83-84) menyebutkan bahwa seseorang yang melakukan pembicaraan sebenamya mengirimkan kode-kode kepada lawan bicaranya . Kode itu secara Humankra No. 11 Mei- Agustus 1999 alamiah dihasilkan oleh alat bicara manusia . Kode-kode itu hares dimengerti oleh kedua belah pihak. Karena setiap kali terjadi perubahan bunyi, terjadi perubahan makna . Menurut Wardhough (1988 : 86) kode mengacu kepada bahasa atau varianlragam suatu bahasa . Dengan demikian, disimpulkam bahwa kode itu tidak lain merupakan bahasa dan variasinya. Dalam tulisan ini dibicarakan jenis dan fungsi kode dalam wacana khothah Jumat.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-07-26
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/636
10.22146/jh.636
Humaniora; Vol 11, No 2 (1999); 7-15
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/636/491
Copyright (c) 2012 Amir Ma'ruf
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/657
2016-08-04T05:00:50Z
jurnal-humaniora:ART
TRANSFER OF JAVANESE CULTURE IN THE PRODUCTION OF ENGLISH UTTERANCES AND ITS POSSIBLE IMPACT ON INTER-CULTURAL INTERACTION
Nadar, FX
This brief paper discusses the ways Javanese speaking English produce utterances in English which show transfer and influence from Javanese culture . It argues that cultural transfer from first language has possible negative impact in intercultural interaction . First, some important characteristics of Javanese culture will be discussed, then examples of utterances commonly produced by Javanese speaking English will be given . The writer collected the data from his classroom activities, his personal experience and also from limited studies on the ways Javanese speaking English produce certain acts by using questionnaires . Finally this paper argues that as cultural transfer may influence the smoothness of interaction between Javanese speaking English with speakers English of other cultures and particularly with native speakers of English, it is essential that teachers as well as learners of English in Indonesia should be aware of such cultural transfer and include the discussion of cultural differences in their teaming process.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/657
10.22146/jh.657
Humaniora; Vol 11, No 2 (1999); 1-6
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/657/505
Copyright (c) 2012 FX Nadar
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/658
2016-08-04T05:00:50Z
jurnal-humaniora:ART
IMPERATIF DALAM BAHASA INDONESIA : PENANDA-PENANDA KESANTUNAN LINGUISTIKNYA
Rahardi, R Kunjana
Terdapat empat pemarkah kesantunan linguistik (linguistic politeness) tuturan imperatif dalam bahasa Indonesia . Keempat pemarkah tersebut adalah (1) panjang pendek tuturan, (2) urutan tutur, (3) intonasi dan isyarat kinesik, (4) ungkapan-ungkapan penanda kesantunan . Sedikitnya terdapat 10 macam ungkapan pemarkah yang dapat menentukan kesantunan linguistik tuturan imperatif dalam bahasa Indonesia . Pemarkah-pemarkah kesantunan linguistik tuturan imperatif tersebut adalah tolong, mohon, silakan, marl, biar, ayo, coba, harap, hendak(lahlnya), dan sudi kiranyalsudilah kiranyalsudi apalah kiranya . 1. Pengantar Sesuai dengan judulnya, di dalam tulisan ini akan diperikan penanda-penanda kesantunan linguistik tuturan imperatif bahasa Indonesia . Yang dimaksud dengan penanda kesantunan linguistik (linguistic politeness) adalah ungkapan entitas linguistik yang kehadirannya dalam tuturan menyebabkan to turan tersebut menjadi Iebih santun dibandingkan dengan tuturan sebelumnya . Di samping kesantunan jenis yang pertama itu dalam linguistik terdapat jenis kesantunan lain yang kemunculannya bukan didasarkan pada hadir tidaknya ungkapan entitas linguistik, melainkan karena terdapatnya entitasentitas nonlinguistik yang sifatnya pragmatik . Kesantunan jenis kedua itu lazim disebut de- 16 I Doktor, Magister Humaniora, staf pengajar ASMI Santa Maria, Yogyakarta . ngan kesantunan pragmatik (pragmatic politeness). Karena berbagai keterbatasan, yang akan diperikan di dalam tulisan singkat ini hanyalah kesantunan jenis pertama . Dengan demikian jenis kesantunan yang kedua berada di luar lingkup tulisan ini . Data penulisan singkat ini didapatkan secara lokasional dari sumber data tertulis maupun lisan yang terdapat di dalam pemakaian bahasa Indonesia keseharian (ordinary language) . Data tersebut didapatkan dengan cara melakukan penyimakan terhadap pemakaian bahasa tulis maupun lisan . Di samping itu, data tulisan singkat ini juga didapatkan dengan cara mengadakan percakapan dengan mitra tutur yang dalam kesehariannya berbahasa Indonesia . Dengan perkataan lain, data penulisan ini didapatkan dengan menerapkan metode simak dan metode cakap seperti yang lazim digunakan di dalam penelitian-penelitian linguistik struktural . Karena penulis merasa memiliki distansi lingual yang masih berkadar kuat dengan bahasa Indonesia, data penulisan ini pun juga dibangkitkan secara kreatif dad intuisi lingual penulis. Dalam hal yang terakhir ini data harus dikenai teknik triangulasi terlebih dahulu untuk menguji keabsahannya sebagai data penulisan ilmiah .
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/658
10.22146/jh.658
Humaniora; Vol 11, No 2 (1999); 16-23
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/658/506
Copyright (c) 2012 R Kunjana Rahardi
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/660
2016-08-04T05:00:50Z
jurnal-humaniora:ART
PELACUR, WANITA TUNA SUSILA, PEKERJA SEKS, DAN "APA LAGI" : STIGMATISASI ISTILAH
Koentjoro, Koentjoro
Sugihastuti, Sugihastuti
Dalam sebuah pengantar rapat penyusunan protap (prosedur tetap) penanganan HIV/AIDS di Daerah Istimewa Yogyakarta, seorang kepala kantor wilayah departemen tertentu berulang kali menyebut istilah pekerja seks dan pekerja seks komersial (PSK) untuk menggantikan istilah pelacur. Ketika itu, kami tanyakan apakah istilah pekerja seks dan pekerja seks komersial itu merupakan istilah resmi pemenntah untuk menggantikan istilah pelacur? Jawabnya adalah tidak . Dikatakannya bahwa istilah pekerja seks dan pekerja seks komersial sekarang sudah lazim dikatakan dan ditulis oleh banyak orang. Dua kata IN merupakan terjemahan dan sex worker yang dijumpai pada beberapa buku bacaannya . Istilah pelacur penting didiskusikan dalam parafrasenya dengan istilah lain . Mengapa penting? Jawabnya adalah bahwa istilah ini, menyangkut masalah stigma . Masalah stigma berkaitan erat dengan istilah pemahaman, pemaknaan, dan penerimaan sebuah istilah, perilaku, atau gejala perilaku tertentu. Oleh karena itu, mendiskusikan istilah pelacur dan istilah lain yang gayut dengannya menjadi sangat penting dan diperlukan. Pemberian arti dan makna sebuah istilah menjadi sangat penting manakala kita kemudian melihat dampak penlaku yang ditimbulkan oleh proses pemaknaan, pemahaman, dan penerimaannya . Untuk hal itu, tulisan ini menguraikan dan membahas berbagai istilah yang gayut dengan istilah pelacur, misalnya, wanita tuna sustla, pe- 30 PELACUR, WANITA TUNA SUSILA, PEKERJA SEKS, DAN "APA LAGI" : STIGMATISASI ISTILAH kerja seks, pekerja seks komersial, dan yang lainnya .
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/660
10.22146/jh.660
Humaniora; Vol 11, No 2 (1999); 30-33
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/660/1080
Copyright (c) 2012 Koentjoro Koentjoro, Sugihastuti Sugihastuti
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/661
2016-08-04T05:00:50Z
jurnal-humaniora:ART
REALISME DALAM JAGAT TEATER
Soemanto, Bakdi
Pada suatu senja tanggal 1 Maret 1923, di rumah Ang Jan-Goan di kawasan Jatinegara Jakarta tempo doeloe, berkumpul beberapa pemuda terpelajar . Kebanyakan mereka adalah pelajar AMS bagian A (Sastra Barat) dan B . Di samping itu, juga ada di antara mereka "mahasiswa" Sekolah Dokter Jawa . Jan-Goan menunjukkan kepada mereka hasil kerjanya yang terbaru, sebuah manuskrip terjemahan lakon dalam bahasa Melajoe Renda yang berjudul Moesoenja Orang Banjak' . Lakon ini adalah karangan seorang dramawan Norwegia, Henrik Ibsen (1828-1906) namanya, yang judul aslinya tidak pernah dikenal di Indonesia, En Folkefiende yang diselesaikan pads tahun 1882 . Diduga Jan-Goan tidak menerjemahkan lakon itu dan bahasa aslinya, tetapi lewat versi bahasa Belanda Een Volksvijand atau versi bahasa Inggris, An Enemy of the People . Sebagaimana pendahulunya, Kweek Tek-Hoay pada tahun 1919 yang menerjemahkan karya Philp Oppenheim dan Lauw Giok-Lan pads tahun 1909 menerjemahkan sejumlah lakon yang sexing dimainkan oleh rombongan toneel Belanda, Jan-Goan melanjutkan tradisi baru itu. Jakob Sumardjo2 mencatat bahwa apa yang dikerjakan oleh orang-orang Cina peranakan terpelajar itu tidak ada hubungannya dengan kegiatan teater komersial, misalnya rombongan Miss Riboet's Orion, Dardanella, dan sebagainya . Mungkin perlu ditegaskan bahwa kegiatan kaum terpelajar ini dapat dikatakan sebagai suatu counter culture terhadap mereka . Diduga kegiatan kaum 34 terpelajar ini memang tidak untuk mereka, bahkan tidak akan pemah untuk mereka, sebab kegiatan kaum terpelajar itu merupakan suatu antitesis terhadap kegiatan yang dilakukan oleh Orion, Dardanella, Bangsawan, Komedie Stamboel, dan sebagainya. Walaupun anggota kelompok sandiwara komersial itu tidak dapat dikatakan berbuta huruf, mereka hidup dan menjaga hidup terns dalam jagat pikir kebudayaan oral dan bukan kebudayaan tulis . Oleh karena itu, cara mereka bermain iebih loose dan bebas dan segala patokan main tidak seperti yang tampak pada teater Ibsen, George Bernard Shaw (1856-1950), George Jan Nathan (1882-1952), Konstantin Stanislavsky (1865- 1938), dan lain-lain, juga teknik staging yang dituntut oleh lakon yang diterjemahkan oleh Jan-Goan, Moesoenja Orang Banjak. Di Indonesia, Henrik Ibsen dikenal melalui lakon-lakon yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan versi bahasa Belanda atau Inggris, misalnya Gengangere (1881) yang dalam bahasa Inggris disebut Ghosts dan Vildanden (1884), yang sexing dikenal sebagai The Wild Duck. Pada tahun 1970-an, Vildanden sangat populer di kalangan para pecinta sandiwara radio berbahasa Jawa dengan judul Bekisar yang disiarkan setiap Minggu malam sesudah Warta Berita pukul 22.00 WIB . Sandiwara auditif IN tampil secara serial di RRI Nusantara Ii, Yogyakarta, dengan sutradara almarhum Sumardjono, dan dibintangi oleh tokoh-tokoh drama radio terkemuka, antara lain Mohamad Habib Bari dan Hastin Atas Asih
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/661
10.22146/jh.661
Humaniora; Vol 11, No 2 (1999); 34-51
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/661/507
Copyright (c) 2012 Bakdi Soemanto
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/662
2016-08-04T05:00:50Z
jurnal-humaniora:ART
Bukan Dua Sisi Dari Sekeping Mata Uang Pernaskahan dan Perteksan dalam Tradisi Sastra Melayu Klasik
Sudibyo, Sudibyo
Dalam tradisi kesusastraan Melayu klasik, jarang terjadi suatu teks muncul hanya dalam satu naskah. Pada umumnya, sebuah teks hadir melalui beberapa naskah dan dengan wajah yang berbeda-beda . Hal ini disebabkan oleh beberapa hal . Pertama, adanya keinginan yang kuat untuk menyebarkan informasi yang terkandung dalam teks yang dipandang penting yang menyebabkan teks periu ditransmisikan . Kedua, dalam perjalanannya, teks melintasi bates ruang dan waktu yang berakibat teks rentan terhadap perubahan. Perubahan ini terutama disebabkan oleh resepsi dan interpretasi dalam proses transmisi dengan tujuan menyesuaikan salinan dengan suatu kondisi tertentu. Ketiga, teks sendin kadang-kadang memuat imbauan agar dirinya direnovasi, dikoreksi, dan disempumakan (Kratz, 1981 : 233) . Keempat, adakalanya dalam proses transmisi dipergunakan referensi yang menyebabkan terjadinya percampuran tradisi (Teeuw, 1986: 7) . Semua ini dimungkinkan karena teks Nadir dalam onimitas (bdk. Genette, 1997 : 39) dan anonimitas (Braginsky, 1993 :2) . Dalam tradisi kesusastraan Melayu klasik, onimitas, dalam hal ini onimitas peran naratorial diwujudkan dengan penyebutan nama did, dalang, yang empunya cerita, paramakawi, 52 bujangga, dagang, gharib, musafir, dan faqir (Koster, 1997 : 54). Onimitas peran naratorial ini hampir selalu berhubungan dengan fungsi dan genre sastra tertentu . Dalang, misalnya, dapat dipastikan mengacu pada cerita-cerita yang berfungsi menghibur atau melipur . Wahananya berupa hikayat dan syair percintaan, keajaiban, dan petualangan, misalnya cerita Panji dan cerita wayang, baik berupa prosa maupun puisi . Dagang hanya muncul dalam cerita-cerita yang berfungsi memberi faedah atau member manfaat. Adapun genre yang menjadi medianya adalah cermin-cermin didaktis bagi para raja dan pegawai istana, antologi-antologi didaktis, dan kronik-kronik sejarah (lihat Braginsky, 1994 : 2). Gharib, musafir dan faqir hadir dalam cerita-cerita yang berfungsi menyucikan rohani atau hail nurani manusia . Genre yang menjadi wahananya ialah kitab-kitab agama, tasawuf, hagiografi, dan alegori-alegori sufi, balk berupa prosa maupun puisi .
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/662
10.22146/jh.662
Humaniora; Vol 11, No 2 (1999); 52-60
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/662/508
Copyright (c) 2012 Sudibyo Sudibyo
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/663
2016-08-04T05:00:50Z
jurnal-humaniora:ART
TENTANG HUKUM ESTETIKA
Marwata, Heru
Sekarang ini beredar buku- buku yang dapat dikatakan sebagai pemandu bagi para penulis pemula . Isi buku-buku seperti itu biasanya penjelaasan tentang bagaimana cara menulis, berisi teori dan sekaligus contoh pemraktekkannya . Dalam buku-buku itu tentu saja terdapat pula hal-hal yang disarankan untuk ditempuh dan hal-hal yang sebaiknya tidak dilakukan . Inilah yang menggelitik penulis untuk membahas hukum estetika, khususnya tentang hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam menulis .
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/663
10.22146/jh.663
Humaniora; Vol 11, No 2 (1999); 61-65
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/663/509
Copyright (c) 2012 Heru Marwata
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/664
2016-08-04T05:00:50Z
jurnal-humaniora:ART
SEMIOTIKA SEBAGAI TEORI MEMBACA DAN PROBLEMNYA ; SEBUAH CATATAN SINGKAT
Rokhman, Muhammad Arif
Definisi dalam Konteks Pembicaraan tentang semiotika2 akan sangat menarik karena, dalam kenyataannya, bidang tersebut tidak terbatas pada satu disiplin tertentu . Pada dasamya, semiotika adalah ilmu tentang tanda . Dalam contoh kehidupan sehari-hari, seseorang dapat diketahui sedang mempunyai perasaan tertentu, misalnya, dart gerak-gerak tubuh dan ekspresi wajahnya. Seseorang yang sedang gembira akan menunjukkan wajah yang ceria, mata yang berbinar, dan jika sangat intens, akan berbicara amat cepat. Sebaliknya, pada saat seseorang sedang merasa sedih, wajahnya, mimiknya, dan gerak tubuhnya akan menunjukkan gejala yang lebih lamban, muram, dan mungkin diam . Asal mula semiotik ini tidak banyak diketahui . Ilmu ini muncul dad usaha para ahli pengobatan pertama di dunia Barat untuk mengetahui bagaimana interaksi antara tubuh dan jiwa bekerja dalam lingkup budaya tertentu. Dalam kenyataannya, pada penggunaannya yang tertua, istilah semiotics 3 diterapkan pada studi tentang pola simtomsimtom fisik yang dapat diamati dan ditimbulkan oleh penyakit-penyakit tertentu . Hippocrates, bapak ilmu kedokteran, mengamati cara-cara yang ditunjukkan dan dihubungkan oleh seorang individu dengan simtomatologi yang berhubungan dengan penyakit sebagai dasar untuk melaksanakan diagnosis dan merumuskan prognosis yang sesuai . Ahli pengobatan lain, Galen dan Pergamum jugs menyebut diagnosis sebagai proses semiosis (Sebeok, 1994 : xi) Istilah semiotika (atau semiotics) kemudian menjadi istilah yang biasa digunakan untuk menunjuk studi tentang kapasitas bawaan manusia untuk memproduksi dan memahami tanda-tanda dad berbagai jenis (dart yang merupakan sistem penandaan fisiologi yang sederhana hingga yang mengungkapkan struktur simbolik yang sangat kompleks) . Asal-usul kata ini dapat dilacak dari kata Yunani, sema (tanda pemarkah), yang juga merupakan akar dari istilah yang berkaitan, semantics, studi tentang makna. Komponen-komponen primer dart proses mental dalam semiotika ini dilihat sebagai tanda (yakni suatu ikon atau image yang representative, kata, dan sebagainya), objek yang diacu (balk yang abstrak maupun kongkrit), dan makna yang muncul ketika tanda dan objek dihubungkan bersama-sama dengan asosiasi (Sebeok,1994 : )ii) .
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/664
10.22146/jh.664
Humaniora; Vol 11, No 2 (1999); 66-73
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/664/510
Copyright (c) 2012 Muhammad Arif Rokhman
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/665
2016-08-04T05:00:34Z
jurnal-humaniora:ART
STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS UNTUK ARKEOLOGI SEMIOTIK'
Ahimsa-Putra, Heddy Shri
Sebagaimana kita ketahui, kajian arkeologis tentang pola pemukiman merupakan salah satu cabang kajian yang sangat berkembang dalam apa yang kini dikenal sebagai New Archaeology atau Arkeologi Ba- Humaniora No . 12 September- Desember 1999 u. Arkeologi yang sangat sadar akan teori, etode, dan tujuan penelitiannya ini berupa menjelaskan dengan seksama berbagai Perubahan yang telah terjadi dalam masyarakat- masyarakat kuno di masa lampau, dan mencoba merumuskan "hukum-hukum" yang ada di balik berbagai perubahan tersebut . Epistemologi yang dianut oleh New Archaeology ini jelas-jelas merupakan epistemologi yang positivistik, yang memang paling sesuai untuk tujuan yang dirumuskan oleh arkeologi ini. Para pakar arkeologi penganut Arkeologi Baru ini sadar betul akan kedudukan arkeologi sebagai suatu science, suatu cabang ilmu pengetahuan yang nomothetis . Dalam arkeologi semacam ini keketatan pengertian sebuah konsep, ketelitian dalam merumuskan hipotesis, dan konsistensi dalam metode penelitiannya merupakan hal-hal yang tidak dapat diabaikan sama sekali . Semua harus diperhatikan dengan seksama. Demikian pula halnya dengan prosedur dalam operasionalisasi konsep, pengujian hipotesis, dan penarikan kesimpulan . Semua ini merupakan hal-hal yang dianggap sangat penting dan harus sangat jelas bagi orang lain agar pakar lain dapat menguji kembali hasil-hasil penelitian yang dikemukakan .
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/665
10.22146/jh.665
Humaniora; Vol 11, No 3 (1999); 5-14
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/665/511
Copyright (c) 2012 Heddy Shri Ahimsa-Putra
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/666
2016-08-04T05:00:34Z
jurnal-humaniora:ART
SANG HYANG WATU TEAS DAN SANG HYANG KULUMPANG : PERLENGKAPAN RITUAL UPACARA PENETAPAN SIMA PADA MASA KERAJAAN MATARAM KUNA
Haryono, Timbul
Tulisan ini menguraikan proses pelak- sanaan upacara sima beserta perlengkap- ama Kerajaan Mataram muncul per- an ritual yang disertakan . tama kali pada masa pemerintahan Raja Saiijaya yang memerintah se- jak tahun 717 Masehi, dengan gelar Rakai Mataram . Selama masa Kerajaan Mataram kuna telah banyak dikeluarkan prasasti yang dapat memberikan gambaran tentang keadaan masyarakat Jawa Kuno abad VIII-X dengan berbagai aspek sosial- ekonominya . Di antara prasasti-prasasti yang dikeluarkan selama itu adalah prasasti yang berisi tentang penetapan tanah per- dikan yang disebut dengan istilah 'sima'. Hampir 90% prasasti Jawa Kuna membi- carakan sima, yang diberikan kepada seseorang yang telah berjasa kepada raja atau diberikan kepada sekelompok ma- syarakat untuk mengelola bangunan ke- agamaan (Christie, 1977 ; 1983) . Prasasti tentang penetapan sima pada umumnya diawali dengan manggala yaitu seruan kepada dewa, yang dilanjutkan de- ngan penyebutan unsur-unsur penanggalan yang memuat keterangan tentang kapan prasasti dikeluarkan, keterangan tentang nama raja atau pejabat yang mengeluarkan prasasti, dilanjutkan dengan nama-nama pejabat yang menerima perintah .
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/666
10.22146/jh.666
Humaniora; Vol 11, No 3 (1999); 14-21
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/666/512
Copyright (c) 2012 Timbul Haryono
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/667
2016-08-04T05:00:34Z
jurnal-humaniora:ART
PETANI DAN BURUH TANI DI TANAH PARTIKELIR P en T, 1900-1930-an
Effendhie, Machmoed
Pada November 1813 dua buah persil nomor 3 dan 4 seluas 526 .100 acree atau kurang Iebih 2129,108 km 2 yang terletak di afdeeling Krawang, Jawa Barat telah dibeli oleh J. Shrapnell dan Ph . Skelton. Persil 3 dan 4 itu kemudian terkenal dengan nama tanah partikelir Pamanoekanen Tjiasemlanden atau sering disingkat P en T .' Wilayah ini sekarang menjadi Kabupaten Subang dengan batas-batas wilayah tetap sama seperti batas wilayah tanah partikelir P en T tempo doeloe, yakni di sebelah utara Laut Jawa, sebelah barat Sungai Cimalaya, sebelah selatan Gunung Tangkuban perahu, dan sebelah timur Sungai Sawu. Pada tahun 1858, penguasa baru tanah P en T, W. Hofland bersaudara, telah mengembangkan tanah-tanah yang semula tidak produktif menjadi tanah produktif untuk areal perkebunan baru .
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/667
10.22146/jh.667
Humaniora; Vol 11, No 3 (1999); 22-28
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/667/513
Copyright (c) 2012 Machmoed Effendhie
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/668
2016-08-04T05:00:34Z
jurnal-humaniora:ART
ASIMILASI, AKULTURASI, DAN INTEGRASI NASIONAL
Poerwanto, Hari
Sejak lama, para ahli antropologi tertarik pada peristiwa pertemuan dua kebudayaan atau Iebih, terutama sejauh manakah hal tersebut dapat menyebabkan perubahan, baik sosial maupun budaya. Sementara itu, juga disadari bahwa berubahnya unsur-unsur suatu kebudayaan tidak selalu dapat diartikan sebagai kemajuan, namun dapat pula dianggap sebagai kemunduran suatu masyarakat. Untuk memahami pertemuan dua kebudayaan atau lebih di kalangan suku-suku bangsa dan kebudayaan di Indonesia yang beranekawarna, perlu dikaji berbagai bentuk interaksi sosial mereka . Kelompok sosial dan lembaga kemasyarakatan di kalangan berbagai suku bangsa tersebut adalah bentuk struktural dari masyarakat, dan dinamikanya tergantung pada pola perilaku warganya dalam menghadapi suatu situasi tertentu .
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/668
10.22146/jh.668
Humaniora; Vol 11, No 3 (1999); 29-37
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/668/514
Copyright (c) 2012 Hari Poerwanto
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/669
2016-08-04T05:00:34Z
jurnal-humaniora:ART
MEMAHAMI KARAKTERISTIK UNCONSCIOUS FILOSOFI JAWA MELALUI TOKOH WAYANG BIMA
Udasmoro, Wening
Wayang memiliki cara tersendiri untuk mengungkapkan kandungan isinya . Ada dua unsur dasar dalam penampilan wayang yang keduanya menyimpan makna filosofis, yaitu unsur cerita dan unsur noncerita. Pada unsur cerita, seperti telah dijelaskan di atas, wayang memiliki perbedaan dengan cerita asalnya . Sebagai contoh, dalam cerita Mahabarata versi India tidak ditonjolkan peran anak keturunan Pandawa (Lal, 1992), sementara dalam cerita versi Jawa, dilakukan pengembangan cerita terhadap tokoh-tokoh keturunan Pahdawa yang tidak muncul dalam cerita sumbernya, seperti Gatotkaca, Antareja, Wisanggeni, dan sebagainya. Tokoh-tokoh Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan sejak abad XVII Bagong) yang muncul di pertengahan cerita dalam adegan gara-gara (kondisi dunia dalam keadaan kacau), dianggap betul-betul bersifat Jawa karena tidak terdapat dalam epos di India (Magnis-Suseno, 1993) .
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/669
10.22146/jh.669
Humaniora; Vol 11, No 3 (1999); 38-48
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/669/515
Copyright (c) 2012 Wening Udasmoro
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/670
2016-08-04T05:00:34Z
jurnal-humaniora:ART
PERANAN DAN FUNGI WANITA DALAM INDUSTRI LOGAM RADISIONAL DI YOGYAKARTA DAN JAWA TENGAH : STUDI ETNOARKEOLOGI
Dwiyanto, Djoko
Yuwono, J. Susetyo Edy
The research studies the role and function of woman labor in traditional metal ind stries. The industries used to be assumed as a field that was dominated by man 1 bor. Although socio-culturally women h ve some obstacles and absenteeism in orking in the industries, in fact women a so have a role in economic activities as a hole. To prove the assumption the study is conducted on metal industry sector in order to know whether there are chances for omen to get higher and to develop their tier in that field to increase woman's inome. The research problem is approached ased on the perception and attitude of t aditional society on employment woman 1 bor in a certain position in industrial sector or another sector as a comparison aproach
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/670
10.22146/jh.670
Humaniora; Vol 11, No 3 (1999); 49-55
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/670/516
Copyright (c) 2012 Djoko Dwiyanto, J. Susetyo Edy Yuwono
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/671
2016-08-04T05:00:34Z
jurnal-humaniora:ART
PERPINDAHAN PENDUDUK DAN EKONOMI RAKYAT JAWA, 1900-1980
Padmo, Soegijanto
Perpindahan penduduk ke atau dari Pulau Jawa telah terjadi sejak abad ke-18 Masehi atau bahkan abadabad sebelumnya . Asal usul suku-suku bangsa yang ada di Indonesia yang berasal dari Hindia Belakang serta dataran Indo- China menggarisbawahi suatu hipotesis yang menyatakan bahwa perpindahan penduduk merupakan salah satu ciri yang dijumpai dalam perkembangan peradaban umat manusia . Pada masa pascamasuknya agama Islam ketika peradaban umat manusia telah berkembang relatif maju, perpindahan penduduk masih terus berlangsung . Sudah barang tentu sifat atau faktor penyebab terjadinya pergerakan penduduk itu berbeda dari satu masa dengan masa yang lain .
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/671
10.22146/jh.671
Humaniora; Vol 11, No 3 (1999); 56-66
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/671/517
Copyright (c) 2012 Soegijanto Padmo
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/672
2016-08-04T05:00:34Z
jurnal-humaniora:ART
FEUDAL HERITAGE : SOURCE OF CORRUPTION, COLLUSION, AND NEPOTISM
Suhartono, Suhartono
The political development in Indonesia at the present time has been marked by a terminology of change, namely "reformation" which includes three main causes of the failure of the New Order led by President Soeharto . This phenomenon signifies that the New Order has been involved in practices of corruption, collusion, and nepotism (CCN). These practices have brought about instability in all sectors, and the most important is a sharp decrease in public welfare. During the New Order nobody would express their opinions frankly on Soeharto's involvement in CCN. He held the office of president for 32 years with an opresive bureaucracy that tended to perpetuate a system created by an absolute ruler . Student activists in several universities in Indonesia demanded reduction of soaring prices and asked Soeharto to step down . Their incessant demands for political economic reforms, were endorsed by university students of most universities in Indonesia . This was followed by mass demonstrations until the downfall of Soeharto in May 21, 1998 .
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/672
10.22146/jh.672
Humaniora; Vol 11, No 3 (1999); 15-20
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/672/518
Copyright (c) 2012 Suhartono Suhartono
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/673
2016-08-04T05:00:34Z
jurnal-humaniora:ART
A SEMIOTIC APPROACH ON INDONESIAN MEGALITHS STUDY
Sudarmadi, Tular
Megalithic structures in Indonesia have their own unique characteristics, compared with elsewhere, because of the influences of Indian, Arabic, and European cultures, as well as local developments . They exhibit great variation in shape, size and degree of complexity. Perry (1918), Hoop (1935), Geldern (1945), Heekeren (1958) and Soejono (1984) have identified stone tables (dolmen), slabs, coffins, menhirs, enclosures (watu kandang/- watu temu gelang), statues, pits (batu dakon), paved paths, upright statues, terraced platforms, jars, seats, elliptical coffins, rectangular coffins, chamber graves, cubic coffins (waruga), vat coffins and thrones (pelinggih) . Geldern (1945, p . 149) concluded that there were two main waves of megalithic culture in Indonesia . He connected the first wave, during the Neolithic period from 2500 to 1500 BC with Austronesian speakers, who utilized the quadrangular adze . These people constructed megalithic tables, menhir, terraced platforms, pits, and seats . The second wave, during the Bronze-Iron period from 300 to 100 BC, produced slab, elliptical, cubic and rectangular coffins, chamber graves and statues. While accepting Heine- Geldern's basic hypothesis, later researchers suggested that the two main waves of megalithic culture became intermingled and developed local variations (Heekeren 1958, p . 44) .
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/673
10.22146/jh.673
Humaniora; Vol 11, No 3 (1999); 73-81
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/673/519
Copyright (c) 2012 Tular Sudarmadi
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/674
2016-08-04T05:00:34Z
jurnal-humaniora:ART
NYAI DASIMA AND THE PROBLEM OF INTERPRETATION : INTERTEXTUALITY, RECEPTION THEORY, AND NEW HISTORICISM
Junus, Umar
Due to the prevalent concept of literature being a document, recording an incident, as well as the lack of proper historical documents, people tend to take for granted that the description of a society in a literary work as an authentic description of the society it describes . Sejarah Melayu "Malay Annals is then simply regarded as an authentic description of the Malay society in the Sultanate of Malacca . They never bother to questioning it although they know it was written more than 100 years after the fall of the Sultanate - for a further discussion please refer to Umar Junus, 1984 and Cheah Boon Kheng, 1998 . Accordingly, one might take the same attitude towards Cerita Njai Dasima "Nyai Dasima story" by G. Francis (1896) which relates an incident in 1813 . In this case, I agree with Kenji Tsuchiya (1991 :476) who reminds us about the time difference between the incident and the time the work, which reported it, was written and published which does not allow us to take it as an authentic description of the respective incident. It is quite possible that the incident did take place in 1813
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/674
10.22146/jh.674
Humaniora; Vol 11, No 3 (1999); 82-93
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/674/520
Copyright (c) 2012 Umar Junus
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/675
2016-08-04T05:00:34Z
jurnal-humaniora:ART
TOKOH DALAM FOLKLOR PERANCIS
Sastriyani, Siti Hariti
Dari semua bentuk atau genre folklor, yang paling banyak diteliti para ahli folklor adalah cerita prosa rakyat. Menurut William R . Bascom, Cerita prosa rakyat dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu mite, legende, dan dongeng: Mite ditokohi oleh para dewa atau mahkluk setengah dewa . Legende adalah prosa rakyat yang mempunyai ciriciri yang mirip dengan mite, dianggap pernah terjadi, tetapi tidak dianggap suci . Tokoh dalam legende adalah manusia yang ada kalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa dan dibantu makhluk-mahkluk ajaib . Dongeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita dan dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat (Danandjaja,1984 : 50).
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/675
10.22146/jh.675
Humaniora; Vol 11, No 3 (1999); 102-108
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/675/521
Copyright (c) 2012 Siti Hariti Sastriyani
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/676
2016-08-04T05:00:34Z
jurnal-humaniora:ART
PROBLEMA SEKSUAL DALAM PLESETAN PERIBAHASA
Wijana, I Dewa Putu
Peribahasa, menurut sebagian besar pakarbahasa dan sastra, adalah kalimat-kalimatpendek berkias yang tetap bentuknya .Ungkapan-ungkapan ini oleh masyarakatempunya dimanfaatkan untuk berbagai tujuan,seperti menyindir, menyerang lawanbicara, menasihati, atau sebagai pegangandan tuntunan dalam menghadapi berbagaipersoalan hidup sehari-hari .
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/676
10.22146/jh.676
Humaniora; Vol 11, No 3 (1999); 109-114
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/676/522
Copyright (c) 2012 I Dewa Putu Wijana
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/677
2016-08-04T05:00:34Z
jurnal-humaniora:ART
CIRI-CIRI MORFOLOGIS BAHASA ARAB SEBAGAI ANGGOTA RUMPUN BAHASA SEMIT
Ma'nawi, Arief
Sebagai salah satu anggota rumpun bahasa Semit, bahasa Arab mempunyai ciri khusus sebagaimana bahasabahasa. lain yang telah dikelompokkan dalam berbagai rumpun bahasa . Salah satu bahasa lain yang serumpun dengan bahasa Arab adalah bahasa Ibrani yang sekarang digunakan di Israel . Di antara ciri yang dapat dengan mudah diperhatikan adalah adanya perubahan kata-kata dalam tataran morfologi. Perubahan yang dimaksud adalah adanya satu kata yang menurunkan kata-kata baru balk, yang bermakna tetap maupun yang bermakna baru. Tulisan ini memaparkan bentuk-bentuk perubahan tersebut dengan pemerian pola morfologi bahasa Arab dan beberapa penjelasan dalam bahasa Ibrani yang sekarang dipakai sebagai bahasa hidup di Israel . Akan tetapi, contoh bahasa Ibrani yang dicantumkan dalam tulisan ini lebih mengarah pada bahasa Ibrani klasik .
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/677
10.22146/jh.677
Humaniora; Vol 11, No 3 (1999); 115-121
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/677/523
Copyright (c) 2012 Arief Ma'nawi
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/678
2016-08-04T05:00:34Z
jurnal-humaniora:ART
VARIASI BAHASA INGGRIS PADA KAWASAN PARIWISATA DI BALI
Beretha, NL Sutjiati
Sejalan dengan perkembagan kepariwisataan di Bali, ditemukan fenomena variasi bahasa Inggris di kawasan pariwisata di Bali. Variasi Bahasa Inggris yang muncul sering disebut pidgin, merupakan suatu istilah yang umum digunakan untuk suatu bahasa yang tidak memiliki penutur asli, dan berkembang sebagai suatu sarana komunikasi antara orang-orang yang tidak memiliki bahasa yang sama. Oleh sebab itu, muncullah sejumlah variasi bahasa yang dalam hal ini adalah variasi bahasa Inggris . Adanya variasi bahasa Inggris di Bali disebabkan oleh terjadinya kontak antara penutur bahasa daerah (Bali) atau Indonesia dengan orang asing (khususnya bagi mereka yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu) pada masyarakat Bali, terutama pada mereka yang berkecimpung di bidang kepariwisataan. Mereka memiliki intensitas hubungan yang sangat tinggi sehingga menggunakan variasi bahasa Inggris sebagai wahana komunikasi . Dalam interaksinya, mereka memasukkan unsurunsur bahasa Bali/Indonesia ke dalam bahasa Inggris sehingga menimbulkan fenomena pembentukan bahasa baru yang dapat dipahami bersama.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/678
10.22146/jh.678
Humaniora; Vol 11, No 3 (1999); 122-131
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/678/524
Copyright (c) 2012 NL Sutjiati Beretha
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/679
2016-08-04T08:26:18Z
jurnal-humaniora:ART
STATUS DAN AKOMODASI BAHASA Dl SEPANJANG BATAS LlNGUlSTlK JAWA - SUNDA DI KABUPATEN CILACAP
Supardo, Susilo
Kajian tentang sikap terhadap kontak bahasa dan dampaknya merupakan aspek yang sangat penting dalam penelitian tentang Bahasa Sunda yang digunakan di daerah KAbupaten Cilacap (Majenang, Ciguling, Karangpucung, Dayeuhluhur, Cimanggu, Patimuhan, dan Wanareja).
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/679
10.22146/jh.679
Humaniora; Vol 12, No 1 (2000); 1-8
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/679/525
Copyright (c) 2012 Susilo Supardo
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/680
2016-08-04T08:26:18Z
jurnal-humaniora:ART
PERBANDINGAN ARTIKEL BAHASA PRANCIS DENGAN BAHASA INDONESIA
Baskoro, BR Suryo
Artikel adalah kata yang ditempatkan di depan nomina (N) dan yang berfungsi untuk menunjukkan teridentifikasi/tidaknya N itu dalam wacana atau konteks (cf. Grevisse, 1975:278). Dalam bahasa seperti bahasa Prancis (bP), artikel terbagi atas article defini 'artikel definit' dan article indefini 'artikel takdefinit'. Artikel yang lain, article partitif 'artikel partitif' digolongkan sebagai varian dari artikel takdefinit.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/680
10.22146/jh.680
Humaniora; Vol 12, No 1 (2000); 9-21
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/680/526
Copyright (c) 2012 BR Suryo Baskoro
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/681
2016-08-04T08:26:18Z
jurnal-humaniora:ART
STRUKTUR PERAN KALIMAT TUNGGAL BER-P BERPENGlSl VERBA BERAFIKS MENG-I DALAM BAHASA INDONESIA
Jati Kesuma, Tri Mastoyo
Dalam artikel ini ditelaah kalimat tunggal dalam bahasa Indonesia yang fungsi predikatnya (P) diisi oleh verba berafiks meng-i. Tujuan telaah ini adalah untuk mengungkap aneka jenis struktur perannya. Tujuan itu diwujudkan dengan menempatkan verbal berafiks meng-i sebagai unsur sentral kalimat.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/681
10.22146/jh.681
Humaniora; Vol 12, No 1 (2000); 22-30
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/681/527
Copyright (c) 2012 Tri Mastoyo Jati Kesuma
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/683
2016-08-04T05:00:22Z
jurnal-humaniora:ART
MAKING AN OLD CITY A PLEASANT PLACE TO STAY FOR MENEER AND MEVROUW: SOLO, 1900-1915
Kuntowijoyo, .
In 1900 Solo was already a multiracial city, though the Javanese were dominating the scene . The whole population was 109,459 . out of which 1,973 were Europeans, 5,129 Chinese, 171 Arabs, 262 Other Foreign Easteners, and the rest 101,924 Javanese (RA, 1902) . Five years later in 1905 the population increased to 118,378, out of which 1,572 were Europeans, 6,532 Chinese, 337 Arabs. 413 Other Foreign Easteners, and 109,524 Javanese (RA, 1908) . The same sources showed that at these times the Javanese population of the whole Surakarta were respectively 1 .499,438 and 1,577,996, thus it was only about one fifteenth of the native lived in *!he capital city. The reverse was true to the foreigners. Numbers showed that in 1900 in the whole Surakarta there were 3,637 Europeans . 9,265 Chinese. 171 Arabs, and 262 Other Foreign Easteners : meanwhile in 1905 there were 3,335 Europeans, 10,971 Chinese, 337 Arabs . and 417 Other Foreign Easteners. These numbers meant that the Arabs and Other Foreign Easteners practically all lived in the capital city . The Dutch administration of the city divided the territory into several wijk (neighbourhood), each with its own wijkmeester (chief). After expansion, there were three wijk in 1915. First, the wijk of South-East. It was with the Pepe in the north, the Bengawan in the east, the end of the city in the South, and the street through the Pepe bridge and the Mangkunegaran palace to the south up to the southern end of the city . Second, the wijk of the North-East . It was with the northern end of the city in the north, the Bengawan in the east, the Pepe in the south, and the Pepe in the west. Third, the wO of the Westside . It was with the northern end of the city and the Pepe in the north, the Pepe and the road through the bridge of the Pepe to the south of the Mangkunegaran palace in the east, the end of 'the city in the south, and the west end of the city to the west (DNV, 3-9-1915) . The Chinese lived in their own wijk with a wijkmoester appointed by the colonial government (RA, 1906 : 272). Their kampongs were Jebres (Mesen), Kepatihan, Balapan, and houses along the streets in the Kasunanan part of the city . So did the Arabs who lived in their own wijk, Pasar Kliwon .
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/683
10.22146/jh.683
Humaniora; Vol 12, No 2 (2000); 139-146
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/683/529
Copyright (c) 2012 . Kuntowijoyo
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/684
2016-08-04T05:00:22Z
jurnal-humaniora:ART
JAVA AND THE MAKING OP THE NATION
Padmo, Soegijanto
Java, one out of 13.000 islands in Indonesia, is the most densely populated island . Compared to those of outer islands, the soil of Java Island is the most fertile one . It is due to the availability of mountains which provide ash to the soil and the avilability of rivers which spread all over the island . This geographical condition is associated with the fact that Java was and is the centre of human activities or socio-economics . a s well as political and cultural dynamics not only in Indonesia but also in Southeast-Asia (The description of this chapter is based on the account of Ricklefs, 1981 ; Anwar Harjono, 1997 ; Aqib Suminto, 1985 ; Kuntowijoyo, 1991 ; Usman Tampubolon, 1991 : Deliar Noer, 1988 ; Korver, 1985 except exclusively stated) . The Dutch who come to Indonesia during trse period from the 17th until 18th century. did not make any significant change because they were basically to follow the activities of local traders, namely the Javanese . Madurese, Bugenese, as well as other Sumatranese who were actively sailing traditional sea-route connecting towns and cities located along coastal areas of the islands of Sumatra, Java, Smaller Islands (Sunda Kecil), South Kalimantan, Sulawesi and Maluku (Sartono Kartodirdjo, 1987 see also van Leur, 1955 ; Meilink-Roelotsz, 1962 ; Day, 1966 ; Furnivall, 1939) . In this period, Java seems to be the centre of not only political activities to the traditional rulers in Indonesia, although there were also traditional rulers in other Humaniora Volume Xll. No . 2/2000 islands such as in Makasar and East Sumatra, but also to the European powers namely the Dutch and British . s The degradation of local rulers in Java was marked by the penetration of interfOrence of military units of the Dutch . Through the implementation of the policy the so called to divide and rule (devide et i1nperaj, the Javanese people were exploited and impoverished . In the process of mobilization and exploitation of any resourdes available in the colony, local rulers were also used as mediators . Consequently the backwardness and poverty occuring in the colony was caused by the exploitation carried out by the colonizers as well by the condition of traditional socio-economic tructure. Apart from the basic human right based on Islamic teaching, the backwardness and the poverty existing in the majority of the people in Indonesia was the main issue raised by the innitiators of nationalist movement in the early period. In the process of the development of national awareness among many sectarian organizations there were many factors that could be associated with, namely the common suffering shouldered by the majority of the Indonesian people for so long period of time, the common interest namely the ultimate goal ©f obtaining independence from the colonizers, and the same in common in the territory as a basis in building a nation (Abdullah, 1966).
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/684
10.22146/jh.684
Humaniora; Vol 12, No 2 (2000); 147-153
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/684/530
Copyright (c) 2012 Soegijanto Padmo
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/685
2016-08-04T05:00:22Z
jurnal-humaniora:ART
MANUSIA SUSILA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF FILOSOFIS
Surajiyo, .
Pancasila adalah dasar negara Indonesia. Semua kegiatan dan kehidupan negara dan bangsa harus didasarkan pada Pancasila . Di samping se_ bagai dasar, Pancasila juga merupakan pedoman yang menunjukkan arah dalam mencapai tujuan negara . Pendidikan, selain merupakan kegiatan dalam keluarga, masyarakat dan negara, secara logis Pancasila merupakan dasar dan sekaligus pedoman yang menunjukkan ke mana tujuan pendidikan nasional itu diarahkan. Penjabaran lebih konkret dan operasional dari Pancasila terdapat dalam UUD 1945 dan peraturan perundangan yang ada di bawahnya . Dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dinyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran . Ayat 2 berbunyi pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undangundang . Operasional febih lanjut tentang pendidikan diatur dengan undang-undang . UU RI No. 4 Tahun 1950 mengatur tentang Dasar-Dasar Pendidikan Pengajaran di Sekolah, diperkuat dengan Lembaran Negara No . 38/1950, dan diperkuat UU No . 12/1954 . Bab II Pasal 3 berisi tentang tujuan pendidikan yaitu membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air . Dalam UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa pendidikan nasional berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berda- 154 MANUSIA SUSILA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF FILOSOFIS Surajiyo* Doktorandus, Staf Pengajar IISIP, Jakarta sarkan Pancasila dan UUD 1945; berfungsi mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional . Dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 disebutkan dalam Bab 11, Kondisi Umum, bahwa di bidang pendidikan, masalah yang dihadapi adalah berlangsungnya pendidikan yang kurang bermakna bagi pengembangan pribadi dan watak peserta didik, yang berakibat hilangnya kepribadian dan kesadaran akan makna hakiki kehidupan . Matapelajaran yang berorientasi pada akhlak dan moralitas serta pendidikan agama kurang diberikan dalam bentuk latihan-latihan pengalaman untuk menjadi corak kehidupan sehari-hari . Karenanya, masyarakat cenderung tidak memiliki kepekaan yang cukup untuk membangun toleransi, kebersamaan, khususnya dengan menyadari keberadaan masyarakat yang majemuk . Seiring dengan kondisi umum tersebut. visi yang tertuang dalam Bab III adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia, yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi, dan berdisiplin .
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/685
10.22146/jh.685
Humaniora; Vol 12, No 2 (2000); 154-160
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/685/531
Copyright (c) 2012 . Surajiyo
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/686
2016-08-04T05:00:22Z
jurnal-humaniora:ART
PERANAN ELITE INTELEKTUAL DALAM DINAMIKA MASYARAKAT ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN
Putro, Bambang Dharwiyanto
Merujuk pada pendapat Keller, kaum elite adalah minoritas-minoritas yang efektif dan bertanggungjawab. lni artinya efektif melihat peaksanaan kegiatan kepenttingan dan perhatian kepada orang lain tempat golongan elit mi memberikan tanggapannya (Keller, 1995: 3). Sementara itu. Alatas (1988) melihat bahwa seseorang intelektual adalah orang yang memusatkan diri untuk memikirkan ide dan masalah nonmatenial dengan menggunakan kemampuan penalanannya. Menurut kaum intelektual menunjukkan ciri-ciri sosial. antara lain. sebagai berikut. Pertama. mereka direkrut dan segala kelas, sekalipun dalam proporsi yang berbeda-beda; Kedua. mereka dijumpai di kalangan pendukung atau penentang berbagai gerakan kebudayaan dan politik; Ketiga, bila dilihat dan pekerjaan, mereka pada umumnya bukanlab pekenja ta’gan dan bagian terbesar menjadi dosen, penyair, wartawan, dan sebagainya. Keempat, sampai pada batas tertentu mereka pada umumnya agak menjauh dan masyarakat selebihnya bergaul di dalam kelompoknya sendiri Kelima, mereka tidak hanya tertanik pada segi-segi pengetahuan teknis dan mekanis semata-mata. Ide-ide mengenai agama, seni, kebudayaan, rasa kebangsaan, ekonomi terencana, kehidupan yang lebih baik, dan sejenisnya termasuk dalam duni pemikirannya. Pada bagian lain, selanjutnya berbeda dengan spesiahs, kaum intelektual berusaha melihat hal-hal dalam perspektif yang lebih luas, yakni dalam bentuk sating hubungan dan secara total. Keenam, kelompok intelektual senantiasa merupakan bagian kecil dan mayarakat (Alatas, 1988: 12-13). mi berarti bahwa seorang intelektual memiliki pengetahuan dan wawasan yang kompleks untuk diabdikan kepada masyarakat.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/686
10.22146/jh.686
Humaniora; Vol 12, No 2 (2000); 161-169
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/686/532
Copyright (c) 2012 Bambang Dharwiyanto Putro
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/687
2016-08-04T05:00:22Z
jurnal-humaniora:ART
PERANAN INDUSTRI SENI KERAJINAN PERAK DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEBAGAI PENDUKUNG PARIWISATA BUDAYA
Daliman, A.
Sejak dahulu di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta telah berdiri pusatpusat kerajaan, silih berganti, yang sekaligus menjadi pusat-pusat kebudayaan, peradaban, dan seni . Peninggalan-peninggalan sejarah dan budayanya masih dapat disaksikan hingga sekarang ini seperti candi-candi, bangunan kraton, tata-upacara serta adat-istiadat, kesenian, dan kerajinan rakyat tradisional, yang sebagian besar masih lestari secara turun-temurun dan malahan berkembang sampai saat sekarang . Maka dari itu, adalah tepat dan sesuai dengan akar-akar historis dan kultural, apabila kebijakan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, yang lebih-lebih didorong oleh tidak mungkinnya lagi sektor pertanian menjamin kehidupan rakyat, kemudian mengembangkan program unggulan Yogyakarta sehagai pusat budaya dan tujuan wisata budaya dengan didukung industri seni kerajinan rakyat . Di antara industri-industri seni kerajinan rakyat Yogyakarta ini, yang menjadi primadona dan memberikan identitas kepada kota ini adalah industri seni kerajinan perak . Terkait dengan hal-hal tersebut di atas setelah secara selintas dikupas akar-akar sejarah dan profit industri seni kerajinan perak yang pada dasarnya memusat di kawasan Kotagede, dalam tulisan dikedepankan pula peranannya sebagai pendukung pariwisata budaya, strateginya dalam menanggulangi krisis ekonomi (1998-1999), beserta prospek dan tantangan global yang dihadapinya.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/687
10.22146/jh.687
Humaniora; Vol 12, No 2 (2000); 170-180
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/687/533
Copyright (c) 2012 A. Daliman
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/688
2016-08-04T05:00:22Z
jurnal-humaniora:ART
KABA AND NOVEL AND MINANGKABAU SOCIETY : HISTORY OF IDEAS'
Junus, Umar
It is assumed that a folktale is what we inherit from the past, narrating a remote or an a-historical past event . However, a kaba, a traditional Minang(kabau) storytelling 2. which is generally and generically classified as a folktale 3 . shows a different picture. Some kabas might be inherited from the past as they are available in manuscript form and/or are supposed to be recorded from an oral tradition, relating an event in a-historical past narrated by an anonymous storyteller. However, there are also kabas with different character. They are neither inherited from the past nor recorded from the traditional oral tradition . Some appeared, for the first time, in printed form while others were commercially published in audio-cassette - a new kind of orally transmitted storytelling, benefiting the introduction of the new technologies, the printing since 1920s and the audio since 70s - flourishing since 70s - respectively . Although some kabas in printed or audiocassette form might relate events supposed to take place in a remote past, re-narrating the story of old kabas, however most of them are relating contemporary or immediate past events . They are no longer author-less as authors' names - in kabas in audio-cassette it is replaced by the name of the storyteller - are printed on the cover of the printed kabas or on the label of audio cassettes . Although a kaba - its form resembles that of a pantun - is formally and stylistically a traditional literature . supposed to be inherited from the oral tradition - it is per- * Pakar Sastra . pernah menjadi guru besar di Universitas Malaya . Humaniora Volume Xll. No . 2/2000 petuated by kabas published in cassette form after an intermezzo with kabas in printed form - it however has an ability to express new ideas, relating either the contemporary or the past events . It is then proper to treat it, its history and its "message" 4 as the history of ideas of Minang intellectuals 5 . As they might also express their idea in Malay or Indonesian novels 6 , we can assume that there is a possible "confrontation" between the idea expressed in kabas and that in novels . However, nobody so far thought in that direction as they ,simply took for granted the presentness of a novel and the pastness of a kaba. A kaba is simply regarded as belonging to the past, dealing with a past phenomenon . A novel, on the other hand, is regarded as belonging 'to the present, dealing with a present phenomenon .
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/688
10.22146/jh.688
Humaniora; Vol 12, No 2 (2000); 181-188
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/688/534
Copyright (c) 2012 Umar Junus
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/689
2016-08-04T05:00:22Z
jurnal-humaniora:ART
SASTRA LOKAL, NASIONAL, ATAU GLOBAL?
Supriyadi, .
perkembangan teknologi yang demikian pesat menyebabkan munculnya nilai-nilai baru pada aspek-aspek lainnya (termasuk kebudayaan yang di dalamnya ada juga kesusastraan) . Adanya sarana informasi dan komunikasi yang canggih menyebabkan pula sulitnya perbatasan nilai-nilai yang sudah mapan, dan balk secara langsung maupun tidak, masyarakat dipaksa untuk mempertimbangkan nilai-nilai yang sudah mapan untuk dipertemukan atau dipertentangkan dengan nilai-nilai baru itu . Akan tetapi . sejauh ini teknologi dan kebudayaan Indonesia masih merupakan objek dari teknologi dan kebudayaan luar. Mesin-mesin industri, mobil, televisi, komputer, bahkan sampai jarum pentul merupakan sedikit bukti ketergantungan kita di bidang teknologi . Di bidang kebudayaan (kesenian), pengaruh itu tampak pada membanjirnya film-film luar, berbagai jenis aliran musik, bahkan sampai pada mode pakaian . Di bidang kesusastraan pengaruh dari India . Arab, Eropa (Barat), dan lainlainnya ternyata juga sangat dominan Usaha untuk mengkaji secara lebih mendalam mengenai sastra lokal perlu didukung untuk perkembangan kesusastraan Indonesia, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya, dalam rangka pengantisipasian terhadap perkembangan kesusastraan global. Usaha ini sebenarnya telah lama dilakukan, bahkan mungkin telah menjadi klasik atau bahkan klise sehingga sering terasa bombastis . Pada zaman Pujangga Baru, misalnya, telah terjadi polemik yang berke- Humaniora Volume XII . No. 2/2000 panjangan antara kelompok yang menerima teknologi dan kebudayaan Barat (STA) dan yang menolaknya (Sanusi Pane) . Dewasa ini muncul kembali usaha-usaha untuk '.membumikan" (mengindonesiakan) kesusastraan Indonesia dan teori-teori yang dipakai untuk menganalisisnya, dengan cara menolak pengaruh-pengaruh asing .
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/689
10.22146/jh.689
Humaniora; Vol 12, No 2 (2000); 189-194
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/689/535
Copyright (c) 2012 . Supriyadi
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/690
2016-08-04T05:00:22Z
jurnal-humaniora:ART
MISTIFIKASI DAN PENGAGUNGAN KEKUASAAN DALAM BABAD DAN HIKAYAT: KONTINUITASNYA DALAM SISTEM KEKUASAAN INDONESIA MODERN
Sudibyo, .
Hubungan tripartit antara derajat, harta, dan kehendak untuk dikeramatkan merupakan tiga hal yang integral dalam wacana kekuasaan . Derajat, kedudukan, atau status merupakan wujud nil kekuasaan. Harta adalah sarana untuk menegakkan dan memperluas kekuasaan, sedangkan kehendak untuk dikeramatkan adalah suatu cara untuk melanggengkan kekuasaan dengan menempatkannya di tempat yang tidak mudah dijangkau dan diselubungi oleh tabir misted . Meskipun demikian, kekuasaan tidak lantas dianggap abstrak. Kekuasaan itu ada, terlepas dari orang yang mungkin mempergunakannya . Kekuasaan bukan suatu anggapan teoretis melainkan suatu realitas yang benar-benar ada . Kekuasaan adalah daya bersifat ketuhanan yang menghidupkan seluruh alam semesta (lihat Anderson, 1986 : 51) . Karena ditempatkan dalam posisi seperti itu, kekuasaan cenderung menjadi tak terbagi dan absolut . Terjadilah kemudian Humaniora Volume X11. No . 2/2000 apa yang disebut pengagungan kekuasaan disertai dengan legitimasi geanologis yang biasanya menyatakan bahwa sang penguasa adalah sosok yang paling tepat sebagai pemegang kekuasaan karena is trahing kusuma, rembesing madu, wijiling naratapa, tedaking andana warih (keturunan bangsawan tinggi dan pertapa). Sehubungan dengan itu, is tidak dapat dipertanyakan dan ucapannya mempunyai kekuatan mengikat dan menekan secara moral dan etis karena sabda pandita pangandikaning ratu sepisan tan kena wola wali (sabda pendeta, ucapan raja, tak akan ditarik lagi) sehingga barang siapa mencoba menentangnya akan dihancurkan dan ditiadakan dengan kekerasan . Dalam historiografi tradisional Indonesia, fenomena kekuasaan seperti itu telah lama menjadi kanon penulisan sejarah suatu dinasti . Hal ini dapat dilihat dalam Nagara Krtagama, Pararaton, Babad Tanah Jawi, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Me/ayu, Hikayat Hang Tuah, dsb . Nagara Krtagama (Robson, 1995) melukiskan keagungan imperium Majapahit beserta daerah-daerah vasalnya dan sanjungan terhadap Sri Rajasanagara beserta leluhurnya. Pararaton (Brandes, 1920) memberi legitimasi mitis kepada Ken Arok sebagai inkarnasi Siva yang tidak dapat ditentang kehendaknya dan raja-raja besar Singasari,
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/690
10.22146/jh.690
Humaniora; Vol 12, No 2 (2000); 195-204
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/690/536
Copyright (c) 2012 . Sudibyo
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/691
2016-08-04T05:00:22Z
jurnal-humaniora:ART
STRUKTUR NARATIF: MASALAH-MASALAH PENDAHULUAN
Sugihastuti, .
Jika struktur-struktur pokok yang mendasari cerita fiksi serupa dengan struktur sejarah, biografi, artikel surat kabar, atau serupa dengan pengertian tentang pola dalam kehidupan kita, pertanyaan tentang bagaimana struktur itu dibuat merupakan perhatian baru . Istilah sastra dan struktur cerita dalam tulisan ini adalah plot . Sebagian besar dari apa yang dikatakan menurut tradisi kritis tentang plot didapat dari Poetics karya Aristoteles . Seperti diketahui bahwa plot dibentuk dari kombinasi urutan sementara dan hubungan sebabakibat. Plot merupakan rangkaian peristiwa yang bersifat logis dan kronologis yang membentuk konflik-konflik berdasarkan hubungan sebab-akibat . Plot merupakan rangkaian peristiwa yang disusun secara logis dan kronologis. saling berkait dan yang diakibatkan atau dialami oleh para pelaku (Luxemburg, 1992) . Ditegaskan oleh Oemarjati (1962) bahwa hubungan antarperistiwa ini hendaknya bersifat logis dalam jalinan kausal . Secara leksikai, plot atau alur adalah (a) rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama dan menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan selesaian ; (b) jalinan peristiwa dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu (pautannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal atau waktu dan oleh hubungan kausal atau sebab-akibat) . Seperti dikatakan oleh E .M. Forster, "Raja meninggal dan kemudian Ratu meninggal" adalah sebuah cerita . "Raja meninggal dan kemudian Ratu meninggal ka- Humaniora Volume Xll. No . 2/2000 rena kesedihannya" adaiah plot . Kita tahu bahwa plot disatukan, bergerak dari permulaan yang stabil melalui komplikasi ke titik keseimbangan lain pada akhir cerita . Dalam gambaran konvensionalnya, yang didapat dari kritikus Jerman
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/691
10.22146/jh.691
Humaniora; Vol 12, No 2 (2000); 205-211
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/691/537
Copyright (c) 2012 . Sugihastuti
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/692
2016-08-04T05:00:22Z
jurnal-humaniora:ART
EARLY DOWNHOME BLUES IN AMERICAN CULTURE
Muhni, Djuhertati Imam
People's traditional music and the way people behave when performing it are symbolic expressions of broad cultural pattern and social organization . In other words music is a part of men's learned heritage . Hence this study is about music in a given culture, specifically blues in American culture . Allen Trachtenberg stated that blues songs are inheritance from the American past for negotiating black people's lives as Americans . In the experience of blues the African-Americans find themselves caught up in questions of self identity, authority, definition, and nationality . In its origin the blues has been black's music, but in its diffusion, the blues addresses and implicates both whites and blacks . For whites, the experience of the music is a relationship, a form of interaction : for whites to fill and claim the blues as part of their own inheritance means to recognize the blacks as Americans and to confront the continuing presence of race-definition inequalities in the common culture (Trachtenberg, 1994 : xi-viii) . The blues urges all Americans to feel the rhythm, the lyric, and the innuendo and to learn their common paradoxical condition : the interchangeability of race and culture within the national identity . Ought's a ought, figger's a figger ; All for the white and none for the niger (White, 1965 :383) . Blues indicates American conflict and struggle : the racial issues that are never far 212 from the beat of the downhome blues are transposed into a new space of contest and challenge (Trachtenberg, 1994 : xii) . Scope and Approach of Discussion There are two major types of early blues songs, namely downhome and vaudeville blues. Downhome blues is mostly sung by men, while Vaudeville by women singers . Originally downhome blues is folk music, but since 1920 with the recording industry it has become pop music . Vaudeville, on the other hand, is pop music right from the start . Most downhome singers sing accompanied by his own guitar-playing, whereas Vaudeville singers almost always sing in front of a jazz group . Vaudeville singers were mostly black women with backgrounds in musical shows ; they were professionals taking pride in their ability to deliver any kind of songs . Vaudeville blues was popular music, not folk music, their lyrics were usually composed by professionals black musicians. Most vaudeville blues songs from the 1920s resembled that of today's musical comedies . Influenced by genteel white taste, vaudeville singers strove for dramatic delivery, enunciating the words of the lyrics in standard English pronunciation (Titon, 1994 : xvii) . Not minimizing the importance of vaudeville blues, this study will only concern with downhome blues, leaving the former for further study .
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/692
10.22146/jh.692
Humaniora; Vol 12, No 2 (2000); 212-218
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/692/538
Copyright (c) 2012 Djuhertati Imam Muhni
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/693
2016-08-04T05:00:22Z
jurnal-humaniora:ART
INTERFERENSI MORFOLOGIS PENUTUR BAHASA BUGIS DALAM BERBAHASA INDONESIA
Mokhtar, Masrurah
Di antara berbagai masalah bahasa yang dihadapi, yang akhir-akhir ini mendapat perhatian cukup besar dalam masyarakat, tetapi sampai kini belum diteliti secara sungguh-sungguh oleh para ahli bahasa di Indonesia, adalah peristiwa alternasi atau pemakaian bahasa secara silih berganti antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah dalam satu kalimat, paragraf, atau wacana . Kontak yang semakin intensif antara bahasa Indonesia selanjutnya disebut (BI) dan bahasa daerah (selanjutnya disebut BD) te- Iah membawa perubahan dalam Iingkup dan bentuk pemakaian kedua bahasa tersebut. Prestise dan daya guna BI yang terus meningkat telah mendorong penutur BD, termasuk bahasa Bugis (selanjutnya disebut BB), untuk menguasai bahasa Indonesia di samping bahasa ibunya . Dalam komunikasi sehari-hari kadang-kadang dapat disaksikan pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa Daerah seolah-olah dikacaukan . Sering terjadi BB atau bahasa Makassar (selanjutnya disebut BM) dan BI dipakai secara silih berganti dalam suatu wacana atau kalimat dalam penuturan . Tidak jarang dijumpai kalimat-kalimat dimulai dengan BI, tetapi di tengah-tengah terselip kata-kata BB atau BM atau diakhiri BI dan sebaliknya. Akibatnya, kalimat yang demikian seolaholah bukan kalimat BB atau BM dan bukan pula BI . 2. Metode Penelitian Penelitian "interferensi Morfologis BB oleh Masyarakat Bugis dalam ber-Berbahasa Indonesia" dilaksanakan dengan responden sebanyak 200 orang yang diambil berdasarkan pekerjaan (pegawai, guru, dosen, pedagang, petani, dan pelajar), umur (antara 18-22 tahun, 23-27 tahun, 28-32 tahun, 33-37 tahun, 38-42 tahun, 43-47 tahun), dan pendidikan (SLTA, SI, S2, dan S3). Penelitian ini berhasil mengumpulkan data sosiolinguistik dalam bentuk data morfologis sebanyak 109 buah, 39 yang diolah menurut sifat-sifat morfemnya, kemudian ditranskripsikan untuk menemukan ruas-ruas asainya . Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan situasi kebahasaan yang bersitat sosiolinguistik, yang merupakan salah satu gejala kebahasaan yang teriadi pada penutur BB dalam ber-BI serta menggambarkan kesalahan-kesalahan berbahasa yang terjadi dalam masyarakat yang dwibahasawan (bilingual) . Meskipun gejala interferensi antara bahasa-bahasa yang dipakai di Indonesia, misalnya antara BD satu dengan BD lainnya, atau antara BD dengan BI merupakan gejala yang umum, penelitian yang tuntas mengenai bentuk pemakaian bahasa ini, lebih-lebih penelitian yang memperhatikan kesalahan-kesalahan yang ada pada perilaku berbahasa seperti itu, boleh dikatakan masih sangat Iangka . Kalaupun ada, biasanya penelitian atau studi-studi itu hanya dipandang sebagai suatu peristiwa kebetulan atau ditelaah semata-mata dari sudut sosial atau fungsi-fungsi pragmatiknya
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/693
10.22146/jh.693
Humaniora; Vol 12, No 2 (2000); 219-224
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/693/539
Copyright (c) 2012 Masrurah Mokhtar
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/694
2016-08-04T05:00:22Z
jurnal-humaniora:ART
KLASIFIKASI FOLK BIOLOGI DALAM BAHASA JAWA SEBUAH PENGAMATAN AWAL
Suhandano, .
Salah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat untuk mengidentifikasikan dan- mengklasifikasikan benda-benda di lingkungan sekitar manusia . Demikianlah, misalnya, penutur bahasa Jawa mengidentifikasikan benda-benda di sekitarnya dengan kata-kata alang-alang 'ilalang' . teki 'teki' . tuton. kremah. krokot (untuk ketiga nama yang disebut terakhir ini penulis belurn menemukan nama padanannya dalam bahasa Indonesia) . dan sejenisnya, dan kemudian mengklasifikasikannya dengan kata suket 'rumput'. Mereka juga mengidentifikasikan benda-benda di sekitarnya dengan kata-kata wedus 'kambing' . pitik 'ayam' . sapi 'lembu' . kebo 'kerbau' . bebek 'itik', dan sejenisnya. dan kemudian mengkiasifikasikannya dengan kata ingon-ingon binatang piaraan' . Pengidentifikasian dan pengklasifikasian tersebut tidak hanya berlaku pada benda-benda hidup saja, tetapi juga pada benda-benda mati . Untuk bendabenda mati . penutur bahasa Jawa misalnya, mengidentifikasikan benda-benda tertentu dengan kata-kata kaos 'kaos', klambi 'baju' . sarung 'sarung', jarik Rain' . kathok Icelana', dan sejenisnya yang kemudian mengklasifikasikannya dengan kata sandangan pakaian' . Dalam hal fungsi bahasa sebagai alat untuk mengidentifikasikan benda-benda, sejauh ini dipaharni bahwa hubungan antara benda yang diidentifikasikan dengan kata atau bentuk bahasa yang digunakan untuk mengidentifikasikannya bersitat arbitrer . Jadi, tidak ada alasan mengapa benda yang sama dalam bahasa Jawa diidentifikasikan dengan kata klambi, tetapi dalam bahasa Indonesia diidentifikasikan dengan kata baju. Dalam hal fungsi bahasa sebagai alat untuk mengklasifikasikan benda-benda, sifat arbitrer tersebut memang masih berlaku. Sangat sulit mencari alasan, misalnya, mengapa dalam bahasa Jawa krokot, teki, kremah, alang-alang, tuton diklasifikasikan dengan kata suket bukan dengan kata lain. Akan tetapi, berkaitan dengan klasifikasi ini ada hal menarik yang perlu dikaji, misalnya, mengapa alang-alang, teki, kremah, krokot, tuton diklasifikasikan dalam satu kategori suket, sernentara sere 'serai', sledri 'seledri', bayem 'bayam', lompong 'batang daun keladi', dan sejenisnya yang dalam beberapa hal mirip dengan benda-benda dalarn kategori sukettidak termasuk di dalamnya. Persoalan klasifikasi ini lebih menarik lagi karena diketahui bahwa pengklasifikasian benda-benda tertentu ke dalam kategori tertentu berbeda dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Sebagai contoh, dalam bahasa Jawa ada kategori ingon-ingon yang anggotanya meliputi hewan-hewan sapi, kerbau, kambing, itik, ayarn, dan sejenisnya seperti dicontohkan di atas, tetapi dalam bahasa Inggris kategori semacam itu tidak ada. Memang dalam bahasa Inggris ada kategori pet 'binatang piaraan', tetapi kategori ini tidak sama dengan ingon-ingon; kerbau, misalnya, tidak termasuk dalam pet.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/694
10.22146/jh.694
Humaniora; Vol 12, No 2 (2000); 225-230
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/694/540
Copyright (c) 2012 . Suhandano
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/695
2016-08-04T05:00:22Z
jurnal-humaniora:ART
RECONSIDERING SOME CULTURAL CONSTRAINTS IN THE IMPLEMENTATION OF COMMUNICATIVE ENGLISH LEARNING
Nadar, FX
English is perhaps the most important foreign language in Indonesia . It is used for communication in business with other countries and studied in schools from junior high school to university level . People in Indonesia study English for different reasons . Many of them study English because if they understand English well they will be able to improve their general knowledge . Others particularly university students and lecturers study English because English may help them develop their academic achievement . Other people who are active in tourism and hotel industries need to study English because they have to communicate regularly with people from other countries . Despite the fact that English has been extensively studied, many learners feel they cannot use it for daily communication . This brief essay attempts to explore the constraints, particularly from the cultural views, which may have reduced the success of learning English . Approaches to language learning have undergone changes. Celce-Murcia (1991 :5- 8), for example, describes the stages of 20"-century approaches of language learning . In the sequence of approaches, communicative approach comes last . The origins of communicative language learning are to be found in the changes in the British language learning tradition dating from the late 1960's (Richards and Rogers, 1986 :64) which focus on the functional and communicative potential of the language . Richards and Rogers write (p .64) that with the interdependence of European countries 'the need to articulate and develop alternative methods of language learning was considered a high priority' . It seemed that since then the terms 'communicative' and also 'communication' became more and more popular (Atkinson, 1992 :6) . The implementation of communicative language learning in an EFL (English as a Foreign Language) context may cause problems . Paulston (1979 :3-4) describes the problems of non-native English teacher's imperfect proficiency, sociocultural values, class sizes, social behaviour, etc. which should all be taken into consideration . There may be constraints which reduce the effectiveness of its good values. This essay which views the possibility of implementing the communicative language learning and the likely cultural constraints in its implementation is divided into five main parts : firstly, the introduction; secondly, a glance at English learning in Indonesia; thirdly, communicative English learning ; fourthly, some constraints and how to minimize them ; and finally, the conclusion .
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/695
10.22146/jh.695
Humaniora; Vol 12, No 2 (2000); 231-238
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/695/541
Copyright (c) 2012 FX Nadar
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/696
2016-08-04T05:00:11Z
jurnal-humaniora:ART
ULAMA DAN HIKAYAT PERANG SABIL DALAM PERANG B LANDA DI ACEH
Abdullah, Imran T
Perang Belanda di Aceh pecah (April 1873) tidak lama setelah Traktat Sumatra (1 November 1871) ditandatangani antara Belanda dan Inggris untuk mengganti Traktat London (1824) yang menghormati kedaulatan Kerajaan Aceh . Traktat yang baru disahkan itu memberikan peluang besar bagi Belanda untuk menguasai Aceh, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1, "Inggris menghapus perhatiannya atas perluasan kekuasaan Belanda di mana pun di Pulau Sumatra" (Said, 1961 : 351) . Agresi pertama dapat dipatahkan oleh pasukan Aceh, pihak Belanda menderita banyak kerugian, bahkan Jenderal Kohler gugur beserta 8 opsir dan sejumlah prajurit . Agresi kedua (9 Desember 1873) terjadi di bawah pimpinan Letjen van Swieten . Keraton jatuh pada 31 Januari 1874, Sultan Mahmud Syah mengungsi ke Pagar Ayer dan meninggal di sana karena wabah kolera. Van Swieten memproklamasikan kemenangan karena dengan menduduki keraton dan menguasai sebagian kecil daerah Aceh Besar; is mengira seluruh wilayah Aceh akan menyerah . Ternyata perlawanan semakin meningkat, ulama yang kebanyakan pimpinan dayah (pesantren) ikut berpartisipasi bersama santri mereka .
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/696
10.22146/jh.696
Humaniora; Vol 12, No 3 (2000); 239-252
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/696/542
Copyright (c) 2012 Imran T Abdullah
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/697
2016-08-04T05:00:11Z
jurnal-humaniora:ART
AKRONIM DALAM BAHASA ARAB: PEMBAHASAN SEPUTAR PERKEMBANGAN MUTAKHIR DALAM BAHASA ARAB SERI IV
Hadi, Syamsul
Kita lihat jumlah Pembahasan akan mencakup pula peng- akronim tersebut dengan membandingkan gabungan dua buah kata (atau lebih) men- 1 mlah kamus yang ada di dalam bahasa jadi sebuah kata . Dalam bahasa Arab peng- rab . Menurut bibliografi perkamusan ber- gabungan dua buah kata ada yang meng- 1 dul Al-Mu jamatul-Arabiyyah Bibliyujrafiy- alami penanggalan huruf dan ada yang y h Syamilah Masyrufah yang disusun oleh tidak mengalami penanggalan huruf. Itulah ajdi Rizki Ghaly, diterbitkan oleh Haiatul- yang kemudian disebut dengan akronim . ishriyyah Al-Ammah Li't-Ta'lifi wa'n-Nasyr . Dalam bahasa Arab isim dan fill mem- airo (1071), ada 707 buah kamus . Se- punyai bentuk yang selalu mengacu kepada I bihnya, kamus istilah yang ada di dalam wazan-wazannya . Berkaitan dengan kedua ahasa Arab jumlahnya tidak kurang dari hal tersebut, jika ada lafal yang menyim- 200 buah . Betapa banyaknya kosakata dan pang dari wazannya, akan segera dapat i tilah yang termuat dalam berbagai kamus diketahui bahwa kemungkinan lafal tersebut t rsebut . Dengan demikian, jumlah sing- berasal dari bahasa asing . Namun, tidak katan dan akronim dalam bahasa Arab ter- selamanya demikian karena di dalam baha- sebut sangat sedikit . sa Arab sekarang terdapat banyak sekali nacht atau akronim yang mungkin tidak se- suai dengan wazan isim maupun fi'il. Jumlah singkatan dan akronim dalam bahasa Arab jika dibandingkan dengan yang ada dalam bahasa Indonesia masih sangat terbatas . Dalam bahasa Indonesia terdapat paling tidak 28 .000 kependekan kata . Hal tersebut merupakan jumlah yang sangat besar jika dibandingkan dengan entri yang ada pads Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang memuat 62 .100 buah kata . Buku yang'membahas singkatan dan akronim dalam bahasa Indonesia ada paling tidak 13 buah .
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/697
10.22146/jh.697
Humaniora; Vol 12, No 3 (2000); 253-260
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/697/543
Copyright (c) 2012 Syamsul Hadi
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/698
2016-08-04T05:00:11Z
jurnal-humaniora:ART
MAKNA DALAM BAHASA
Adenan, Ferry
Di negara-negara maju Systemic Functional Linguistics (SFL) banyak dimanfaatkan di dalam pengajaran dan pembelajaran bahasa Inggris . Di dalam SFL terdapat pengertian bahwa linguistic membedakan fungsi dalam konteks paradigma dan fungsi di dalam konteks sintakmatika. Yang disebut pertama umum dikenal sebagai sistem, sedang yang kedua dikenal sebagai struktur bahasa. Sistem menyebabkan orang dapat menginterpretasi hubungan paradigmatika sedangkan struktur bahasa memungkinkan orang menginterpretasi hubungan-hubungan sintakmatika. Systemic linguistics bukan sistem resmi bahasa, lebih tepat dikatakan sebagai suatu cara berpikir tentang bahasa dan lebih kena lagi dikatakan sebagai cara bertanya tentang bahasa sebagai objek . Pertanyaanpertanyaan itu terutama berupa pertanyaan tentang sifat dan fungsi bahasa .
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/698
10.22146/jh.698
Humaniora; Vol 12, No 3 (2000); 261-270
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/698/544
Copyright (c) 2012 Ferry Adenan
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/699
2016-08-04T05:00:11Z
jurnal-humaniora:ART
ANGKA, BILANGAN, DAN HURUF DALAM PERMAINAN BAHASA
Wijana, I Dewa Putu
Saya jadi teringat semasa kanak-kanak dahulu, seorang kawan sepermainan menyodorkan sebuah teka-teki kepada saya. l a menyuruh saya untuk menuliskan frase preposisional seperti Gareng ke dalam deretan kotak layaknya lajur TTS yang berjumlah lima buah . Tentu saja, saya jadi pusing tujuh keliling karena untuk menuliskan huruf-huruf yang menyusun frase itu, saya membutuhkan jumlah kotak yang lebih banyak, yakni 13 buah. Tujuh buah untuk menuliskan seperti dan 6 buah lainnya untuk Gareng, punakawan jenaka yang memiliki anggota tubuh yang serba panjang itu. Setelah saya menyatakan menyerah, dengan tenang bercampur sedikit mengejek, kawan sebaya saya memberikan solusinya. Dia menuliskan angka 1/3 (sepertiga) di sebuah kotak untuk mewakili bagian tuturan sepertiga dan bagian yang lain reng di empat kotak sisanya . Boleh juga akal kawan saya itu, pikir saya . Pengalaman yang kedua saya alami ketika saya dalam perjalanan pulang naik bus patas Surabaya-Yogya "Sumber Kencono" seusai memberikan kuliah tamu di Universitas Negeri Djember pada awal Desember 2000. Di depan Pabrik Gula Gondang, Klaten, secara kebetulan saya melihat di kaca belakang kendaraan umum berplat kuning yang akan didahului bus yang saya turnpangi ada tulisan yang berbunyi "ber-217- an". Bingung juga beberapa saat saya dibuatnya karena tidak dapat secara cepat menangkap maksud tulisan itu . Kebingungan ini disebabkan angka 217 pertama saya baca dua ratus tuju(h) belas.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/699
10.22146/jh.699
Humaniora; Vol 12, No 3 (2000); 271-277
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/699/545
Copyright (c) 2012 I Dewa Putu Wijana
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/700
2016-08-04T05:00:11Z
jurnal-humaniora:ART
STATUS INFORMASI DALAM KALIMAT DAN WACANA BAHASA PRANCIS
Sajarwa, .
Analisis kalimat dapat dilakukan berdasarkan pada tiga fungsi, yaitu fungsi sintaktis, fungsi semantis, dan fungsi pragmatis (Dik, 1981) . Ketiga analisis fungsional itu secara berturut-turut akan menghasilkan (1) struktur gramatikal kalimat, (2) struktur makna kalimat, dan (3) or ganisasi ujaran . Analisis terhadap organisasi kalimat disebut juga analisis perspektif kalimat fungsional atau analisis organisasi kontekstual (Suparno, 1993: 18) . Analisis organisasi ujaran ini merupakan analisis kalimat dalam fungsinya sebagai pembawa informasi . Informasi yang dimaksud adalah informasi pragmatik (pragmatic information) .
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/700
10.22146/jh.700
Humaniora; Vol 12, No 3 (2000); 279-284
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/700/546
Copyright (c) 2012 . Sajarwa
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/701
2016-08-04T05:00:11Z
jurnal-humaniora:ART
PERSONA KEDUA DALAM BAHASA JAWA : KAJIAN SOSIO INGUISTIK
Sukesti, Restu
Dalam komunikasi tersebut sering digunakan alat untuk menyebut pihak 0 1 , 02 , dan 03 . Salah satu alat itu ialah pronomina . Pronomina berfungsi menggantikan nomina pada yang dimaksud dalem tuturan (Kridalaksana, 1984 :138) . Pronomina pengganti 01 , dalam bahasa Indonesia, antara lain, saya, kami ; pengganti 02 , antara lain, kamu, ands, kalian ; pengganti 0 1 clan 02 ialah kita ; dan pengganti 03 ialah dia, ia, mereka (Alwi, 1998 :249). Namun, alat untuk menyebut pihak 0 1 , 02 , atau 03 tersebut dapat berwujud bukan hanya kata ganti (pronomina), tetapi dapat juga berwujud nama diri, nama panggilan, nama kedudukan, atau nama gelar, sejauh kata-kata itu untuk mengacu pihak 0 1 , 0 2 , atau 03 .
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/701
10.22146/jh.701
Humaniora; Vol 12, No 3 (2000); 285-294
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/701/547
Copyright (c) 2012 Restu Sukesti
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/702
2016-08-04T05:00:11Z
jurnal-humaniora:ART
REGISTER PEMANDUAN WISATA
Widodo, Pratomo
Dalam kaitannya dengan bahasa sebagai sistem tanda, Buhler, seperti dikutip oleh Pelz (1984), menggambarkan proses komunikasi sebagai segi tiga semiotik, segi yang pertama melambangkan pembicara sebagai penyampai pesan, segi yang kedua melambangkan pendengar sebagai penerima pesan, dan segi yang ketiga adalah lambang dari Gegenstand yang merupakan referensi dari realitas objek yang dibicarakan . Agar proses komunikasi tersebut berhasil, harus ada kegayutan clan ketiga elemennya . Apabila tidak ada kegayutan dari salah satu elemennya, niscaya proses komunikasi akan gagal . Berhasil atau tidaknya proses komunikasi, salah satunya ditentukan oleh pemahaman antara pembicara dan pendengar mengenai objek yang dibicarakan . Oleh sebab itu, referensi mengenai tuturan dalam suatu peristiwa komunikasi harus dipahami oleh kedua belah pihak, yaitu pembicara dan pendengar.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/702
10.22146/jh.702
Humaniora; Vol 12, No 3 (2000); 295-305
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/702/548
Copyright (c) 2012 Pratomo Widodo
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/703
2016-08-04T05:00:11Z
jurnal-humaniora:ART
DISINTEGRASI SOSIAL : SEBUAH TINJAUAN BUDAYA
Sairin, Sjafri
Akhir-akhir ini terlihat semacam isyarat yang mengarah kepada kemungkinan akan terjadinya disintegrasi dalam kehidupan bangsa . Isyarat ini semakin kuat denyutnya dalam detak jantung kehidupan politik bangsa Indonesia akhir-akhir ini . Sejumlah orang Aceh dan Papua secara transparan telah menunjukkan keinginannya untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, menjadikan negara mandiri yang merdeka, padahal dulu mereka sendiri turut mendukung berdirinya negara kesatuan Indonesia itu . Pada awal kemerdekaan dengan mengerahkan segala potensi yang ada padanya, masyarakat Aceh telah menunjukkan dukungan mutlak terhadap kemerdekaan yang diproklamasikan Bung Karno dan Bung Hatta, dengan mengumpulkan harta benda rakyat, membeli dan menyerahkan sebuah pesawat terbang yang diberi nama Seulawah menjadi milik negara yang baru merdeka itu . Ini adalah pesawat terbang pertama yang dimiliki negara ini . Begitu pula masyarakat Papua yang memilih menjadi bagian dari Republik Indonesia pada awal 1960 an . Namun, sekarang mereka seolah-olah merasa kecewa, dan ingin berdiri sebagai negara mandiri, lepas dari induknya, Republik Indonesia .
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/703
10.22146/jh.703
Humaniora; Vol 12, No 3 (2000); 306-312
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/703/549
Copyright (c) 2012 Sjafri Sairin
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/704
2016-08-04T05:00:11Z
jurnal-humaniora:ART
AKSES TERHADAP SPMBER DAYA DAN KEMISKINAN DI PEDESAAN JAWA : KASUS DESA SRIHAOJO, YOGYAKARTA
Kutanegara, Pande Made
Pada awal Repelita I, diperkirakan 70juta penduduk atau 60 persen dad totalpenduduk Indonesia termasuk dalam kategorimiskin (World Bank, 1990) . Angka tersebutmenurun menjadi 40 persen atau54,2 juta pada tahun 1976 dan menurunlagi secara drastis menjadi 14 persen atau25,9 juta pada tahun 1993 (BPS, 1994) .Pada tahun 1996, angka kemiskinan diperkirakantelah turun menjadi 22,6 juta atau12 persen (Tjiptoherijanto, 1997). Angkakemiskinan yang turun sedemikian cepatdan cukup tajam, tiba-tiba mengalami peningkatanpada saat krisis . Banyak perdebatanmuncul berkaitan dengan jumlah pendudukmiskin pada saat krisis . Proyeksiyang dibuat oleh ILO-UNDP pada akhirtahun 1998 menunjukkan bahwa pada tahun1998, sebanyak 48 persen (sekitar 90juta orang) penduduk Indonesia berada dibawah garis kemiskinan .
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/704
10.22146/jh.704
Humaniora; Vol 12, No 3 (2000); 313-323
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/704/550
Copyright (c) 2012 Pande Made Kutanegara
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/705
2016-08-04T05:00:11Z
jurnal-humaniora:ART
BUDAYA ARIF LINGKUNGAN DAN SOLIDARITAS SOSIAL : KONTEKS KONSERVASI SUMBER DAYA NONHAYATI
Soehardi, .
Dalam era kemajuan kini, sering kita menghadapi dilema terjadinya benturan antara pembangunan dengan keseimbangan lingkungan, balk Iingkungan fisik maupun sosial budaya . Tujuan pembangunan adalah jelas, yaitu untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan manusia secara lahir dan batin dengan cara mengolah lingkungannya . Aktivitas pembangunan ini menyebabkan terjadinya perubahan- perubahan lingkungan manusia . Perubahan itu memberikan fasilitas-fasilitas kemudahan kepada hidup manusia itu . "Pembangunan menuntut adanya dinamika kemajuan dan tidak mengenal berhenti, sedang Iingkungan bersifat berkembang, tidak statis (Soemantri, 1974) . Akan tetapi, seiring dengan proses pembangunan itu, sering tanpa disadari, timbul akibat-akibat samping yang mengganggu keseimbangan Iingkungan itu. Banyak contoh kasus kerusakan di Indonesia yang dapat disebut, seperti Iimbah industri, pencemaran udara dari emisi pabrik, kendaraan bermotor dan kebakaran hutan, kerusakan hutan dari penebangan berlebihan, kerusakan karang laut dan hutan bakau, dan pecahnya ikatan-ikatan solidaritas dalam komunitas desa
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/705
10.22146/jh.705
Humaniora; Vol 12, No 3 (2000); 324-332
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/705/551
Copyright (c) 2012 . Soehardi
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/706
2016-08-04T04:59:56Z
jurnal-humaniora:ART
Analisis Metalurgi: Peranannya dalam Eksplanasi Arkeologi
Haryono, Timbul
Ada tiga jenis bahan utama yang pada umumnya dipakai oleh manusia untuk pembuatan alat yaitu: tanah, batu, dan logam. Ketiga jenis bahan inilah yang seringkali mash bertahan menghadapi 'gigi waktu' sehingga dapat ditemukan oleh para penelki. Ketiga jenis bahan tersebut mempunyai proses teknologi yang berbeda. Jenis bahan logam memiliki proses yang lebih rumit dibandingkan dengan yang lain, yang kemudian melahirkan pengetahuan 'metalurgi'. Karena kerumitan itulah maka tidak mengherankan apabila pengetahuan metalurgi kernudian menjadi tolok ukur bagi munculnya peradaban (Childe, 1950). Pengetahuan metalurgi ituiah yang juga melahirkan craft specialization. Menurut V.G. Childe perubahan teknologi dan spesialisasi dalam kerajinan berhubungan erat dengan institusi sosial dan politik.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/706
10.22146/jh.706
Humaniora; Vol 13, No 1 (2001); 1-9
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/706/552
Copyright (c) 2012 Timbul Haryono
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/707
2016-08-04T04:59:56Z
jurnal-humaniora:ART
Makna Simbolik Nilai-nilai Kultural Edukatif Bangunan Kraton Yogyakarta: Suatu Analisis Numerologis & Etimologis
Daliman, A.
Sejarah perjuangan kraton dan masyarakat Yogyakarta yang senantiasa berpihak pada perjuangan rakyat dan bangsa sebagaimana tampak dalam menyelamatkan Republik Indonesia di masa revolusi kemerdekaan (1945—1949) serta perjuangan reformasi untuk memperbaharui dan meluruskan kembali kehidupan berbangsa dan bernegara (20 Mei 1998 — hingga kini), haruslah dipahami sebagai identifikasi dan aktualisasi kesetiaan terhadap tradisi dan ajaran-ajaran para pendahulu atau leluhur, sebagaimana divisualisasikan dalam simbol bentuk dan fungsi kraton
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/707
10.22146/jh.707
Humaniora; Vol 13, No 1 (2001); 10-21
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/707/553
Copyright (c) 2012 A. Daliman
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/708
2016-08-04T04:59:56Z
jurnal-humaniora:ART
Hikayat Amir Hamzah: Jejak dan Pengaruhnya dalam Kesusastraan Nusantara
Istanti, Kun Zachrun
Dalam kesusastraan Melayu klasik, terdapat sejumlah cerita yang dapat dikategorikan sebagai cerita pahlawan Islam, misalnya Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Amir Hamzah (selanjutnya disingkat HAH) dan Hikayat Muhammad Hanafiyyah (Winstedt, 1940: 63-68, Iskandar, 1995:127-148). Ketiga hikayat itu mempunyai struktur asasi sebuah hikayat Melayu sebagai berikut (Brakel, 1975: 76-77): tergolong sebagai karya sastra yang ditulis dalam huruf Jawi (huruf Arab, bahasa Melayu); pengarang tidak diketahui (anonim); menceritakan kisah-kisah yang menakjubkan; disalin dari satu naskah ke naskah lain; sewaktu menyalin si penyalin bebas mengubah, menambah, dan mengurangi hal-hal yang dianggapnya perlu. Ketiga hikayat itu dikategorikan sebagai hikayat pahlawan Islam karena berisi perjuangan tokoh utama yang mencurahkan hidupnya untuk menegakkan Islam (artinya ia turut serta dalam menyebarkan, menjaga, mempertahankan, dan membela agama Islam) (Dipodjojo, 1981: 122).
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/708
10.22146/jh.708
Humaniora; Vol 13, No 1 (2001); 22-29
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/708/554
Copyright (c) 2012 Kun Zachrun Istanti
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/709
2016-08-04T04:59:56Z
jurnal-humaniora:ART
Historisme Baru dan Kesadaran Dekonstruktif: Kajian Kritis terhadap Historiografi Indonesiasentris
Purwanto, Bambang
Ketika sastra dan sejarah dibicarakan secara bersama-sama, segera muncul pertanyaan, apakah ada fiksi di dalam sejarah dan apakah ada fakta di dalam sastra? Bagi sebagian orang, pertanyaan itu mungkin kedengaran agak aneh dan seolah-olah hanya dibuat-buat karena secara umum sastra selalu dikaitkan dengan fiksi, sedangkan sejarah tidak dapat dipisahkan dari fakta masa lalu. Hal itu berarti bahwa pernyataan di atas tidak memerlukan jawaban. Akan tetapi, persoalan menjadi lain ketika perbincangan tentang sastra dan sejarah memasuki dunia wacana dekonstruktif di samping rekonstruktif. Sebagai sebuah realitas, sejarah dan sastra sering dianggap berada dalam tataran yang sama. Fiksi dan sejarah tidak dapat begitu saja secara kaku diasosiasikan hanya dengan salah satu di antara keduanya, yaitu hanya berkaitan dengan sastra atau hanya dengan sejarah.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/709
10.22146/jh.709
Humaniora; Vol 13, No 1 (2001); 29-44
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/709/555
Copyright (c) 2012 Bambang Purwanto
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/710
2016-08-04T04:59:56Z
jurnal-humaniora:ART
Nama Diri Etnik Jawa
Wibowo, Ridha Mashudi
Dewasa ini bahan bacaan tentang daftar nama diri cukup banyak tersedia . Namun demikian masih sedikit dilakukan upaya ke arah deskripsi nama diri sebagai bagian dari struktur gramatikal bahasa. Beberapa masalah linguistik umum tertentu, seperti sifat semantis nama diri dan kedudukan nama diri terhadap nomina biasa, telah banyak menarik perhatian para ahli linguistik dan juga filsafat (Uhlenbeck, 1982:370). Akan tetapi, dasar empiris bagi pembahasan teoretis tentang masalah ini masih agak sempit dan kurang mantap. Bagi kebanyakan linguis kajian nama diri merupakan bidang penelitian yang tipis dan kurang memberikan harapan sehingga dengan perasaan lega diserahkan kepada ilmu onomastika
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/710
10.22146/jh.710
Humaniora; Vol 13, No 1 (2001); 45-55
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/710/556
Copyright (c) 2012 Ridha Mashudi Wibowo
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/711
2016-08-04T04:59:56Z
jurnal-humaniora:ART
Puisi Pujangga Baru: Konsep Estetik, Orientasi dan Strukturnya
Pradopo, Rahmat Djoko
Puisi merupakan struktur yang kompleks. Oleh karena itu, dalam penelitian puisi Pujangga Baru digunakan teori dan metode struktural semiotik. Kesusastraan merupakan struktur ketandaan yang bermakna dan kompleks, antarunsurnya terjadi hubungan yang erat (koheren). Tiap unsur karya sastra mempunyai makna dalam hubungannya dengan unsur lain dalam struktur itu dan keseluruhannya (Hawkes, 1978: 17—18). Akan tetapi, strukturalisme murni yang hanya terbatas pada struktur dalam (inner structure) karya sastra itu mengasingkan relevansi kesejarahannya dan sosial budayanya (Teeuw, 1983: 61). Oleh karena itu, untuk dapat memahami puisi dengan baik serta untuk mendapatkan makna yang lebih penuh, dalam menganalisis sajak dipergunakan strukturalisme dinamik (Teeuw, 1983: 62), yaitu analisis struktural dalam kerangka semiotik. Karya sastra sebagai tanda terikat kepada konvensi masyarakatnya. Oleh karena itu, karya sastra tidak terlepas dari jalinan sejarah dan latar sosial budaya masyarakat yang menghasilkannya, seperti telah terurai di atas.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/711
10.22146/jh.711
Humaniora; Vol 13, No 1 (2001); 55-63
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/711/557
Copyright (c) 2012 Rahmat Djoko Pradopo
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/712
2016-08-04T04:59:56Z
jurnal-humaniora:ART
Proses Terbentuknya Heterogenitas Etnis di Pontianak pada Abad ke-19
Hasanudin, .
Kristanto, Budi
Dari segi geografis, Pontianak terletak di antara jalur perdagangan Selat Malaka dan merupakan daerah transito perdagangan, baik dari timur maupun barat Nusantara, terutama hubungannya dengan Singapura sebagai pusat perdagangan setelah jatuhnya Malaka dan merupakan jalur pelayaran antara Cina dan India. Jalur inilah yang merupakan jalan dan kemudahan terpenting untuk menyelenggarakan transportasi dan komunikasi yang menarik berbagai etnis untuk berdatangan ke Pontianak, dan merupakan hal yang bersifat taktis dan strategis bagi suatu kerajaan untuk kepentingan politik, sosial ekonomi, kebudayaan dan militernya. Bahkan, kebesaran, kemegahan, dan kemasyhuran kerajaan pada umumnya tergantung pada ramainya lalu lintas perhubungan dan jenis-jenis alat yang digunakan pada masa itu.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/712
10.22146/jh.712
Humaniora; Vol 13, No 1 (2001); 64-81
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/712/558
Copyright (c) 2012 . Hasanudin, Budi Kristanto
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/713
2016-08-04T04:59:56Z
jurnal-humaniora:ART
Pendekatan Hermeneutik dalam Penafsiran Teks Sastra Islam Melayu
Suta Purwana, Bambang Hendarta
Sastra Islam Melayu atau sastra tentang orang Islam yang ditulis dalam bahasa Melayu mempunyai ciri-ciri sebagai berikut. (1) Sebagian besar dari sastra ini merupakan hasil terjemahan atau saduran yang berasal dari bahasa Arab atau Parsi. Terjemahan dan saduran itu dilakukan oleh dua kelompok orang, yaitu orang-orang Melayu Nusantara yang belajar di tanah Arab dan para pedagang dari India Selatan yang datang ke pelabuhan-pelabuhan Nusantara. Hasil karya kelompok pertama berupa kitab yang berunsur keagamaan, sedangkan hasil karya kelompok kedua berupa hikayat-hikayat yang bersifat hiburan. Ada yang berpendapat bahwa karya sastra dari kelompok penyadur kedua sastra Melayu ini disebut sastra dagang. (2) Hampir semua hasil karya Islam Melayu tidak diketahui nama pengarang atau tarikh penulisannya (Fang, 1991: 204). Naskah-naskah lama di Indonesia menyimpan sejumlah informasi masa lampau mengenai berbagai segi kehidupan. Di antara yang belum banyak mendapat sentuhan penelitian adalah naskah-naskah lama penyimpan ajaran agama, khususnya ajaran agama Islam.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/713
10.22146/jh.713
Humaniora; Vol 13, No 1 (2001); 82-89
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/713/559
Copyright (c) 2012 Bambang Hendarta Suta Purwana
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/714
2016-08-04T04:59:56Z
jurnal-humaniora:ART
Perdikan Cahyana
Priyadi, Sugeng
Bekas daerah Perdikan Cahyana berada di Kecamatan Karangmoncol dan Rembang, Purbalingga, Karesidenan Banyumas. Status perdikan itu dihapus oleh Pemerintah Republik Indonesia pada zaman Orde Lama. Berakhirnya kekuasaan 21 orang demang diyakini oleh masyarakat bahwa para demang telah melanggar piagam dan wewaler perdikan, tidak adil, serta memperkaya diri sehingga mereka harus diturunkan. Tanah-tanah perdikan dikuasai oleh para demang untuk kepentingannya sendiri sehingga rakyat hidup terbengkalai, padahal, rakyat yang mencetak sawah-sawah dan kebun-kebun, sedangkan demang hanya mengaku sebagai hak miliknya. Kejatuhan para demang itu sesuai dengan beberapa ramalan, seperti besuk selehe demang disondol bangkong, besuk ana bangke mili ngalor, dan besuk ana beslit padha dicanthelake gethek (Darmoredjo, 1986: 7 Terlepas dari masalah di atas, desa perdikan menyimpan potensi masalah pertanahan. Penghapusan desa-desa perdikan telah mengubah status tanah dari keputihan menjadi tanah pamajegan. Dengan kata lain, tanah-tanah tersebut menjadi tanah-tanah negara. Sebaliknya, para demang kehilangan hak atas tanah adat yang telah dimilikinya sejak lama. Tanah-tanah keputihan di daerah Perdikan Cahyana adalah tanah-tanah bebas pajak yang diluluskan oleh Sultan Demak dan dilestarikan oleh para raja Jawa sesudahnya dan pemerintah kolonial Belanda untuk pemeliharaan makam-makam orang-orang suci atau para wali lokal yang berjasa dalam penyebaran agama Islam.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/714
10.22146/jh.714
Humaniora; Vol 13, No 1 (2001); 89-100
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/714/560
Copyright (c) 2012 Sugeng Priyadi
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/715
2016-08-04T04:59:56Z
jurnal-humaniora:ART
Legenda dan Religi sebagai Media Integrasi Bangsa
Sudiro, .
Tengger adalah suatu daerah pegunungan dengan puncak-puncak Gunung Bromo, Gunung Widodaren, Gunung Batok, dan Gunung Ider-Ider, yang terletak pada empat daerah kabupaten: Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang. Gunung Bromo adalah gunung yang dianggap suci bagi masyarakat Tengger karena merupakan lambang tempat Dewa Brahma, tempat wisata terkenal di Jawa Timur yang dapat ditempuh lewat empat kabupaten tersebut. Kawasan Tengger, dengan masyarakat adat yang kuat dan kuatnya pula kepercayaan kepada Dewa tertinggi (Hyang Widiwasa), dapat menggambarkan masih berlakunya alam kosmogoni. Setiap desa mempunyai seorang dukun dan semua dukun di kawasan Tengger dipimpin oleh koordinator dukun (Sudjai) dari Desa Ngadisari. Para dukun itulah yang berperan sebagai pelestari adat di Tengger, memimpin segala upacara adat (kecuali upacara Sayud atau tujuh bulan kandungan oleh petugas tersendiri), dan penghubung antara masyarakat Tengger dengan Hyang Widi.Masyarakat Tengger yang lingkungannya berupa gunung-gunung, gua, laut-pasir, dan desa yang sebagian terpencil masih sangat akrab dengan alam, dewa, kepercayaan mitos dan simbol-simbol.Adapun simbol selain sebagai penggambaran spiritual masyarakatnya, juga menunjukkan kontinuitas antara struktur keberadaan manusia dengan struktur kosmis.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/715
10.22146/jh.715
Humaniora; Vol 13, No 1 (2001); 100-112
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/715/561
Copyright (c) 2012 . Sudiro
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/727
2016-08-04T04:59:33Z
jurnal-humaniora:ART
Implikatur Dalam Wacana Pokok
Wijana, I Dewa Putu
Pragmatik sebagai kajian struktur eksternal bahasa mengamati berbagai aspek pemakaian bahasa dalam situasi yang kongkret. Situasi yang kongkret dalam hal ini mengandaikan sebuah tuturan benar-benar dipandang sebagai produk sebuah tindak tutur yang jelas konteks lingual (kooteks) dan konteks ekstralingual (konteks)nya. Konteks ekstralingual digunakan untuk mengungkapkan maksud (makna penutur) yang tersembunyi di balik sebuah ujaran. Walaupun sering disinggung pentingnya peranan konteks esktralingual di dalam kajian cabang ilmu bahasa yang lain, pemanfaatannya agaknya memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Sesuai dengan judulnya, tulisan ini membahas implikatur wacana pojok yang terdapat pada harian Kedaulatan Rakyat (khususnya yang terbit pada Januari s.d. Oktober 2001) dan aneka tindak tutur yang dipergunakan untuk menyampaikannya
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/727
10.22146/jh.727
Humaniora; Vol 13, No 3 (2001); 215-220
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/727/573
Copyright (c) 2012 I Dewa Putu Wijana
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/728
2016-08-04T04:59:33Z
jurnal-humaniora:ART
Systemic Functional Linguistics: Meaning Carriers In Functional Grammar
Adenan, Ferry
Emeritus Professor M.A.K Halliday, founding Professor of Linguistics at the University of Sydney, Australia, is often regarded as the linguist responsible for the development of systemic functional linguistics. Systemic functional linguistics is a comprehensive descriptive model of language and language use which has been evolving for many years. It is still evolving as applied linguists continue to research and reflect on the way human beings use language to make meaning in social contexts. Educators and linguists are both concerned with SFL. Educators would like to know how people learning the language can follow native speakers of the language to use the language. Therefore, SFL is to build a discipline of educational linguistics. In practice educational linguistics may mean, “learning language, learning through language, learning about language”, (Cope, B. et. Al. 1993). Educational linguistics brings linguists and educators together to deepen their insight about language and language use and to easen their professional duties. SFL is ‘systemic’ because whenever a feature of language is described it is described as one choice from a set of possible choices within a particular language system which itself is part of a network of systems that make up the language. The systems are related in a kind of hierarchy making it possible to describe an aspect of language at whatever level of detail is the most useful. Language users are constantly making choices from the set of systems which make up the complete resource of language and then putting these choices into effect through the structure of the language they use. Understanding this process can provide very useful insight for language teachers and users.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/728
10.22146/jh.728
Humaniora; Vol 13, No 3 (2001); 221-232
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/728/574
Copyright (c) 2012 Ferry Adenan
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/729
2016-08-04T04:59:33Z
jurnal-humaniora:ART
Metafor Ricoeurian: Penerobosan Dunia Simbolik Cerpen "Rumah Yang Terbakar" Karya Kuntowijoyo
Ekasiswanto, Rudi
Cerpen Kuntowijoyo selama tiga tahun berturut-turut memperoleh predikat “Cerpen Terbaik Kompas”, tahun 1995 dengan cerpen “Laki-Laki yang Kawin dengan Peri”, tahun 1996 dengan cerpen “Pistol Perdamaian”, dan tahun 1997 dengan cerpen “Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan”. Ketiga cerpen itu kemudian dihimpun dalam kumpulan cerpen yang diberi judul Hampir Sebuah Subversi (Kuntowijoyo, 1999). Kriteria pemilihan terbaik itu bukan tanpa alasan. Ketiganya memakai gaya bahasa yang bersahaja. Unsur permainan dan bermain-mainnya dengan kata tidak terlalu kentara. Hal ini sangat membantu kemungkinan terbangunnya seni wantah oleh Kuntowijoyo. Dalam “Pengantar Penulis”, Kuntowijoyo menulis, “Secara jujur harus dikatakan bahwa saya menulis begitu saja, yang saya rasa baik, tanpa resep-resep” (1999: xii). Kuntowijoyo hampir selalu menggunakan ciri simbolis dalam karya-karyanya, dan berusaha mengangkat realitas kehidupan ke dalam cerita yang tampaknya biasa. Judul-judul cerpennya telah menyiratkan tema yang diangkat ke dalam karya-karyanya. Namun, judul-judul itu pun simbolis sehingga mengandung pemaknaan yang sangat dalam, begitu juga cerpen “Rumah Yang Terbakar” yang terdapat dalam kumpulan cerpen Hampir Sebuah Subversi. Cerpen “Rumah Yang terbakar” sebagai salah satu cerpen pilihan Kompas yang dibukukan bersama 24 cerpen lainnya selama 1994 - 1998 sangat sarat dengan unsur simbolisasi. Namun, semuanya itu merupakan representasi dari potret masyarakat Indonesia masa Orde Baru yang berhasil digambarkan oleh Kuntowijoyo. Secara simbolis pula makna yang dikandungnya dikemas dalam gaya bahasa yang sederhana, menarik, pas, dan enak dibaca.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/729
10.22146/jh.729
Humaniora; Vol 13, No 3 (2001); 233-239
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/729/575
Copyright (c) 2012 Rudi Ekasiswanto
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/730
2016-08-04T04:59:33Z
jurnal-humaniora:ART
Sastra Dan Perkembangan Politik Di Jawa Abad XVIII
Sudewa, Alex
Zoetmulder (1983 : 182 ) di dalam bukunya Kalangwan, yang membuai karena datanya yang lengkap dan bahasanya yang indah dan menarik, mengajak pembacanya bertamasya menelusuri taman keindahan sastra Jawa Kuna. Secara tidak terasa, pembaca diajak menelusuri dunia sastra budaya Jawa Kuna secara menyeluruh. Di sela-sela panduan wisata sastranya itu, sang mahaguru kerapkali menyisipkan tantangan yang halus menggelitik agar pembacanya tertarik kepada masalah sejarah sastra yang belum terpecahkan. Salah satu masalah yang dirumuskannya ialah di antara syair-syair Jawa Kuna yang diselamatkan bagi kita tak ada satu pun yang dapat membanggakan seorang raja atau pangeran sebagai penciptanya, berlainan dengan sastra Jawa di kemudian hari, yaitu dari periode Surakarta (akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19) yang dapat menunjukkan raja-raja di antara para penyairnya seperti Pakubuwana III dan IV serta Mangkunegara IV. Tampilnya tokoh raja atau kerabat kraton sebagai penulis karya sastra berarti bahwa kewibawaan para pujangga yang di zaman Jawa Kuna bertindak sebagai pendeta magi bahasa, yang dibutuhkan untuk mendukung kewibawaan raja, telah didesak bahkan direbut oleh kekuasaan militer politik kraton. Dengan demikian, kraton telah merupakan pemusatan kekuasaan militer politik dan kekuasaan intelektual religius. Sudah barang tentu perkembangan semacam itu, selain timbulnya didorong oleh suatu sebab yang signifikan di dalam sejarah budaya Jawa, akan juga besar pengaruhnya di dalam perkembangan kehidupan sosial budaya di masa yang akan datang, Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Pemusatan dua macam kekuasaan itu dalam diri raja – kraton – perlu dilacak; faktor-faktor yang menjadi pendorongnya serta bagaimana proses terjadinya.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/730
10.22146/jh.730
Humaniora; Vol 13, No 3 (2001); 240-251
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/730/576
Copyright (c) 2012 Alex Sudewa
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/731
2016-08-04T04:59:33Z
jurnal-humaniora:ART
Karya Sastra Perancis Abad ke-18 Madame Bovary dan Resepsinya di Indonesia
Sastriyani, Siti Hariti
Masuknya karya-karya sastra Perancis pada abad ke-19 mendapatkan sambutan dan tanggapan di Indonesia masa kini. Sambutan dan tanggapan tersebut berupa adanya pembaca Indonesia yang merespons karya-karya sastra Perancis melalui hasil karya terjemahan, kritik-kritik, ataupun pengaruh terhadap lahirnya karya-karya sastra Indonesia. Karya sastra Perancis pada abad ke-19 yang berjudul Madame Bovary mendapat sambutan dan tanggapan-tanggapan di Indonesia. Sambutan dan tanggapan-tanggapan terhadap karya sastra tersebut merupakan hal yang perlu dibahas. Tujuannya ialah untuk mengungkapkan bagaimana resepsi masyarakat Indonesia terhadap karya sastra Madame Bovary dan peran teks karya sastra Perancis tersebut dalam sejarah perkembangannya.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/731
10.22146/jh.731
Humaniora; Vol 13, No 3 (2001); 252-259
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/731/577
Copyright (c) 2012 Siti Hariti Sastriyani
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/732
2016-08-04T04:59:33Z
jurnal-humaniora:ART
Tradisi Mantra Kelompok Etnik Using Di Banyuwangi
Saputra, Heru SP
Secara empiris, pemetaan kebudayaan dan tradisi di wilayah Jawa Timur dapat dipilah menjadi enam variasi regional kebudayaan, yaitu: (1) kebudayaan Arek, (2) kebudayaan Tengger, (3) kebudayaan Madura, (4) kebudayaan Mataraman, (5) kebudayaan Pendalungan, dan (6) kebudayaan Using.1 Tiap-tiap variasi regional kebudayaan tersebut memiliki ciri khas sesuai dengan dinamika dan dialektika historis dan geografis wilayah budayanya. Namun, peta budaya seringkali melampaui batas wilayah peta geografis sehingga batas geografis peta budaya cenderung tidak dapat ditetapkan secara tegas. Salah satu variasi regional kebudayaan Jawa Timur yang kini menarik perhatian adalah kebudayaan Using. Daya tarik itu setidak-tidaknya dipicu oleh rasa keingintahuan tentang eksistensi budaya Using, terutama setelah terjadinya heboh kasus pembantaian orang-orang yang diduga sebagai dukun santet di Banyuwangi, Oktober 1998. Kasus tersebut seakan-akan melegitimasi bahwa wilayah yang terletak di daerah “tapal kuda” itu menjadi salah satu basis utama perdukunan di Jawa Timur. Tulisan berikut mengkaji tradisi mantra Using. Dalam kajian ini juga dideskripsikan karakteristik budaya Using, keunikan jenis magi, kekuatan mistik, unsur religiositas, moralitas, dan pranata sosial tradisional.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/732
10.22146/jh.732
Humaniora; Vol 13, No 3 (2001); 260-267
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/732/578
Copyright (c) 2012 Heru SP Saputra
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/733
2016-08-04T04:59:33Z
jurnal-humaniora:ART
Tradisi Macapatan Di Boyolali
Santosa, Djarot Heru
Kekayaan kebudayaan nasional Indonesia akan berkembang manakala kita mau berpartisipasi dalam ikut serta mengungkap unsur-unsur pendukungnya. Unsur-unsur itu di antaranya adalah kebudayaan lokal atau daerah yang bisa meliputi kesusastraan dan keseniannya. Kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan universal memiliki bermacam-macam jenis, antara lain seni, musik, seni suara, seni tari, seni pedalangan, dan lain-lain. Kesenian juga merupakan kesanggupan akal manusia untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi. Seni tradisi macapatan merupakan salah satu bentuk penyajian sastra lisan di Jawa yang termasuk dalam gradasi pembacaan sastra murni. Tradisi macapatan ini di samping mengandung unsur seni sastra, juga nilai-nilai, isi, dan makna yang bernilai tinggi bagi masyarakat. Bahkan, nilai itu menjadi pedoman bagi masyarakat pendukungnya untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan fungsi bagi kehidupan budaya masyarakat pendukungnya. Sentuhan tradisi seperti ini dalam kehidupan masyarakat pada saat sekarang merupakan hal yang menarik untuk dikaji.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/733
10.22146/jh.733
Humaniora; Vol 13, No 3 (2001); 268-274
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/733/579
Copyright (c) 2012 Djarot Heru Santosa
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/734
2016-08-04T04:59:33Z
jurnal-humaniora:ART
Urbanisasi Dan Dampaknya Terhadap Lingkungan
Ischak, .
Melihat gemerlapnya cara hidup orang kota dan kehidupan kota, menarik minat orang desa untuk pergi ke kota. Mereka, orang desa, ingin pergi ke kota karena di kota banyak hiburan, banyak lapangan kerja, dan kelihatan mudah mencari uang. Kepergian penduduk desa ke kota untuk mengadu nasib tidaklah menjadi masalah manakala mereka mempunyai keterampilan tertentu yang dibutuhkan di kota. Namun, kenyataannya ialah banyak di antara mereka yang datang ke kota tanpa keterampilan kecuali bertani. Oleh karena itu, sulit bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Terpaksa mereka bekerja sebagai buruh harian, penjaga malam, pembantu rumah tangga, tukang becak, dan pekerjaan lain yang sejenis. Bahkan, mereka yang gagal memperoleh pekerjaan sejenis itu menjadi tunakarya, tunawisma, dan tunasusila. Hal itu mendorong mereka melakukan perbuatan yang kurang benar. Misalnya, mendirikan gubuk-gubuk liar di tepi jalur kereta api, di daerah-daerah jalur hijau, dan di daerah-daerah bantaran sungai. Di sisi lain, urbanisasi menyebabkan pertambahan penduduk kota semakin cepat. Hal itu mendorong dibukanya pusat-pusat perdagangan, pusat-pusat industri, dan dikembangkannya fasilitas transportasi, komunikasi, kesehatan, dan pendidikan. Dari gambaran di atas tidaklah salah apabila dikatakan bahwa urbanisasi mempunyai dampak positif dan negatif terhadap lingkungan. Sebelum dibahas dampak positif maupun negatif urbanisasi terhadap lingkungan.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/734
10.22146/jh.734
Humaniora; Vol 13, No 3 (2001); 275-283
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/734/580
Copyright (c) 2012 . Ischak
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/735
2016-08-04T04:59:33Z
jurnal-humaniora:ART
Bioarkeologi: Integrasi Dinamis Antara Antropologi Biologis dan Arkeologi
Indriati, Etty
Artikel ini bertujuan untuk menguraikan informasi biologis yang terkandung dalam rangka dan gigi manusia dari situs arkeologis. Uraian substansi biologis dalam rangka penting sebagai bagian integratif antropologi biologis dan arkeologi untuk merekonstruksi budaya masyarakat lampau. Pada penggalian situs arkeologis, seringkali temuan artifak disertai temuan tulang dan gigi. Temuan tulang ini, oleh antropologi biologis (antropologi ragawi) acapkali dipublikasikan terpisah dari laporan arkeologi, yang publikasi ini seringkali tidak terbaca oleh arkeologi. Dengan demikian, penelitian antropologi biologis menjadi out of context dari arkeologinya. Sebaliknya, arkeolog mempublikasikan hasil penelitian artifaknya terpisah dari pemeriksaan tulang temuan meskipun keduanya digali dari situs yang sama. Alat-alat seperti gerabah, alat batu, perunggu, dan besi dari situs arkeologis tidak ada dengan sendirinya, tetapi dibuat oleh manusia. Oleh karenanya, analisis produk budaya dan produktornya harus terintegrasi bila kita berupaya mempelajari budaya mereka. Pendekatan terintegrasi ini sekarang lazim dikenal dengan istilah bioarkeologi. Bioarkeologi pertama kali diperkenalkan di kalangan akademik pada tahun 1977 oleh Jane E. Buikstra pada simposium yang didesain untuk meningkatkan komunikasi dan kerja sama antara antropologi biologis dan arkeologi di Amerika Serikat bagian Tenggara yang kaya akan situs arkeologis. Simposium ini melahirkan buku Biocultural Adaptation in Prehistoric America, diterbitkan oleh University of Georgia Press (Blakeley et.al., 1977). Dalam bioarkeologi, data rangka manusia penting untuk menjawab pertanyaan kunci mengenai perkembangan budaya, misalnya efek perkembangan populasi menuju ke organisasi sosial yang kompleks, dan terminasi kultural karena penyakit endemik, dan adanya endogami atau exogami yang diperiksa dengan ciri metrik dan nirmetrik pada rangka.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/735
10.22146/jh.735
Humaniora; Vol 13, No 3 (2001); 284-291
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/735/581
Copyright (c) 2012 Etty Indriati
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/736
2016-08-04T04:59:33Z
jurnal-humaniora:ART
Gawai Dayak Dan Fanatisme Rumah Panjang Sebagai Penelusuran Identitas
Ivo, Herman
Gawai Dayak merupakan satu-satunya peristiwa budaya Dayak yang dilaksanakan secara rutin setiap tahun di kota Pontianak, Kalimantan Barat. Dalam gawai, selain acara inti yakni nyangahathn (pembacaan mantra), juga ditampilkan berbagai bentuk budaya tradisional seperti berbagai upacara adat, permainan tradisional, dan berbagai bentuk kerajinan yang juga bernuansa tradisional. Penyajian berbagai unsur tradisional, selama Gawai Dayak, menjadikannya sebagai event yang eksotis di tengah masyarakat perkotaan yang modern. Gawai Dayak bukanlah peristiwa budaya yang murni tradisional, baik dilihat dari tempat pelaksanaan maupun isinya. Gawai Dayak merupakan perkembangan lebih lanjut dari acara pergelaran kesenian Dayak yang diselenggarakan pertama kalinya oleh Sekretariat Bersama Kesenian Dayak (Sekberkesda) pada tahun 1986. Perkembangan tersebut kuat dipengaruhi oleh semangat upacara syukuran kepada Jubata yang dilaksanakan masyarakat Dayak Kalbar setiap tahun setelah masa panen. Upacara adat syukuran sehabis panen ini dilaksanakan oleh masyarakat Dayak dengan nama berbeda-beda. Orang Dayak Hulu menyebutnya dengan Gawai, di Kabupaten Sambas dan Bengkayang disebut Maka’ Dio, sedangkan orang Dayak Kayaan, di Kampung Mendalam, Kabupaten Putus Sibau menyebutnya dengan Dange.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/736
10.22146/jh.736
Humaniora; Vol 13, No 3 (2001); 292-298
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/736/582
Copyright (c) 2012 Herman Ivo
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/737
2016-08-04T04:59:33Z
jurnal-humaniora:ART
Isi Pesan Simbol-Simbol Slametan Suran (Studi Kasus Di Dusun Soropaten Ringinharjo Bantul Yogyakarta)
Rajiyem, .
Setiap orang pada hakikatnya merupakan bagian dari budaya tertentu di suatu lingkungan tempat ia tinggal. Budaya itu berpengaruh terhadap sikap dan perilakunya serta akan membentuk kepribadiannya. Pola perilaku ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tersebut dan terkait erat dengan pandangan orang Jawa. Pandangan itu umumnya menekankan pada kerukunan dan kebersamaan, juga menjaga ketenangan, ketenteraman, dan kesadaran hidup, baik terhadap diri sendiri, masyarakat sekitar, maupun lingkungan, lebih-lebih dalam menjaga hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa demi keselamatan hidup mereka. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui simbol dan mitos yang terkandung dalam slametan suran, dan untuk mengetahui makna pesan dalam simbol-simbol slametan suran. Penelitian ini merupakan studi kasus di Dusun Soropaten, Ringinharjo, Bantul, Yogyakarta sebab di wilayah ini banyak penduduk memiliki kelahiran bulan Sura dan masih tetap melakukan upacara tradisi slametan suran ini.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/737
10.22146/jh.737
Humaniora; Vol 13, No 3 (2001); 299-311
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/737/583
Copyright (c) 2012 . Rajiyem
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/739
2016-08-04T04:59:22Z
jurnal-humaniora:ART
Konsep Martabat Tujuh Dalam At-Tuchfatul-Mursalah Karya Syaikh Muhammad Fadhlullah Al-Burhanpuri: Kajian Filologis Dan Analisis Resepsi
., Sangidu
Naskah at-tuchfatul-mursalah ilâ rûchinnabî shallal-Lâhu ‘alaihi wa sallam (selanjutnya disebut Tuchfah) yang dijadikan objek material di dalam penelitian ini ada dua buah, yaitu naskah Tuchfah bernomor MINA 6 (Manuskrip Islam Nurdin AR, Nomor 6) dan MINA 7. Kedua naskah tersebut terdapat di perpustakaan pribadi Drs. Nurdin AR, M.Hum. di Banda Aceh dan merupakan warisan dari leluhurnya yang telah diwariskan melalui Tgk. Muhammad Arsyad bin Tgk. Ibrahim (kakak kandung ayahnya) bin Tgk. Muhammad Mas‘ud bin Tgk. Di Tunong Arsyad kepada Nurdin AR. Naskah tersebut telah menjadi koleksi pribadi Drs. Nurdin AR., M.Hum sejak tahun 1976 dan telah diinventarisasi sejak tahun 1985 setelah menyelesaikan pendidikan S-1-nya di Fakultas Sastra UGM, Bulaksumur, Yogyakarta. Untuk mempermudah mendeskripsikan kedua naskah tersebut, naskah bernomor MINA 6 disebut naskah Tuchfah A dan naskah bernomor MINA 7 disebut naskah Tuchfah B. Kedua naskah tersebut merupakan naskah berbahasa Arab karangan Syaikh Muhammad Fadhlullah Al-Burhanpuri (selanjutnya disebut Fadhlullah).
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/739
10.22146/jh.739
Humaniora; Vol 14, No 1 (2002); 1-11
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/739/584
Copyright (c) 2012 Sangidu .
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/740
2016-08-04T04:59:22Z
jurnal-humaniora:ART
Konsep Pengobatan Tradisional Menurut Primbon Jawa
Sudardi, Bani
Sistem pengobatan dapat dimasukkan ke dalam unsur sistem pengetahuan suatu bangsa yang dalam realisasinya dapat dimasukkan ke dalam unsur teknologi. Kebudayaan Jawa mempunyai sistem pengetahuan pengobatan yang sudah ratusan tahun digunakan oleh masyarakat Jawa, yakni sebelum masuknya teknikteknik kedokteran modern. Sistem pengobatan tersebut disebut sebagai sistem pengobatan tradisional. Tulisan ini membatasi pada obat-obat tradisonal yang terdapat dalam primbon mengingat bahwa primbon sampai dewasa ini masih fungsional. Di samping itu, beberapa primbon sampai saat ini belum memasyarakat karena ditulis dalam huruf yang sudah digunakan secara luas (huruf Jawa) dalam jumlah eksemplar yang terbatas dan hanya tersimpan di museum tertentu. Di samping itu, bagi kebanyakan bangsa Indonesia, bahasa primbon sukar dipahami karena menggunakan bahasa daerah.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/740
10.22146/jh.740
Humaniora; Vol 14, No 1 (2002); 12-19
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/740/585
Copyright (c) 2012 Bani Sudardi
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/741
2016-08-04T04:59:22Z
jurnal-humaniora:ART
Kontroversi Tentang Naskah Wangsakerta
Lubis, Nina H
Pada awal tahun 2002, di surat kabar terbesar di Jawa Barat, muncul perdebatan tentang Naskah Wangsakerta. Perdebatan ini muncul ketika naskah ini dijadikan rujukan untuk menentukan Hari Jadi Provinsi Jawa Barat oleh seorang pakar filologi, Edi S. Ekadjati (selanjutnya disingkat ESE). Penulis, sebagai seorang sejarawan, mempertanyakan keabsahan penggunaan naskah ini sebagai sumber sejarah mengingat kontroversi tentang naskah ini. Pada akhir tahun 1980-an, terjadi polemik di surat kabar, majalah, antara para sejarawan, arkeolog, dan filolog tentang naskah ini. Seminar dan diskusi juga telah mengangkat masalah naskah ini ke percaturan nasional.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/741
10.22146/jh.741
Humaniora; Vol 14, No 1 (2002); 20-26
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/741/586
Copyright (c) 2012 Nina H Lubis
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/742
2016-08-04T04:59:22Z
jurnal-humaniora:ART
The Pursuit Of Happiness In American Mind And In Javanese Thought
Muhni, Djuhertati Imam
society has a concept of happiness and has a way to pursue it. This essay tries to bring out some of these concepts and its pursuits as seen in two different societies, namely American and Javanese. The discussion is more of a vision on the theme rather than a comparative study. The essay falls into two sections: the first describes some important facts about American pursuits of happiness and the second discusses the pursuit of happiness in one small part of the Javanese thoughts or Kejawen, namely Soerjomentaram’s philosophy of Ngelmu Beja.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/742
10.22146/jh.742
Humaniora; Vol 14, No 1 (2002); 27-33
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/742/587
Copyright (c) 2012 Djuhertati Imam Muhni
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:jurnal.ugm.ac.id:article/743
2016-08-04T04:59:22Z
jurnal-humaniora:ART
Mitos Menstruasi: Konstruksi Budaya Atas Realitas Gender
Abdullah, Irwan
Rahim merupakan sumber dari berbagai persoalan yang dihadapi perempuan yang memiliki implikasi yang luas dalam penataan sosial (Lupton, 1994). Karena memiliki rahim, perempuan harus menghadapi menstruasi, kehamilan, melahirkan, bahkan menopause. Fakta biologis ini secara langsung membedakan perempuan dengan laki-laki yang bersifat kodrati. Persoalan yang dihadapi perempuan dan laki-laki kemudian menjadi sangat berbeda karena alasan laki-laki tidak memiliki rahim. Adanya rahim ini menyebabkan perempuan memiliki cacat bawaan karena ia membawa serta serangkaian “penyakit” yang harus diderita kaum perempuan yang oleh Morris (1993: 104) dikatakan menyebabkan terjadinya histeria yang merupakan gangguan terhadap keseluruhan pengaturan suhu tubuh dalam proses biologisnya. Penyakit semacam ini telah membentuk dikotomi yang tegas antara “penyakit perempuan” dan “penyakit laki-laki” Tulisan ini merupakan usaha untuk mengkaji bagaimana mitos tentang menstruasi yang terkait dengan kultur suatu masyarakat memiliki implikasi yang luas dalam penataan sosial, khususnya dalam pembentukan dan pelestarian hubungan gender dalam masyarakat. Apakah, misalnya, menstruasi dapat menjadi tanda dari adanya negosiasi kekuasaan yang berlangsung dalam suatu setting sosial tertentu dan bagaimana proses dekonstruksi terhadap realitas seksual itu dapat terjadi.
Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
2012-08-03
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/743
10.22146/jh.743
Humaniora; Vol 14, No 1 (2002); 34-41
2302-9269
0852-0801
eng
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/743/588
Copyright (c) 2012 Irwan Abdullah
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
304af4389c1a7d51d21d78624e9074d0